Upaya Revitalisasi Musik Wayang Sasak: Menjaga Nada Tradisi di Era Modern
Suara suling yang merdu dan nyaring mengalun di Sanggar Tari Taman Budaya Nusa Tenggara Barat, membangkitkan nuansa tradisi yang perlahan tergerus oleh arus zaman. Di tengah alunan tersebut, seorang seniman sepuh, Amaq Su, dengan cekatan memainkan suling Wayang Sasak berukuran sekitar 70 sentimeter. Jemarinya yang keriput menari di atas lubang suling, mengiringi lantunan tembang dari Dalang Wayang Sasak, Safwan, dalam sebuah forum bertajuk “Memetakan Nada Nada Musik Wayang Sasak dengan Sistem Pelarasan Microtones”.
Amaq Su adalah salah satu personel senior dari kelompok musik Wayang Sasak Lombok. Puluhan tahun ia mengabdikan diri di balik layar pertunjukan, menjaga keberlangsungan seni pertunjukan tradisional ini. Namun, sore itu terasa berbeda. Ia tampak sedikit canggung saat mencoba menyelaraskan suara suling tradisionalnya dengan iringan gitar modern yang dimainkan oleh Adya Amru Hidayat, seorang peneliti musik yang tengah mempresentasikan hasil risetnya.
Perpaduan antara suling Wayang Sasak dan gitar modern pada awalnya terdengar asing. Namun, seiring berjalannya waktu, kedua instrumen tersebut menemukan harmoni. Mereka seolah saling mencari, berdialog, hingga akhirnya menemukan keselarasan yang memukau. “Pengalaman yang berbeda main suling Wayang Sasak dengan dijelaskan tangga nada,” ujar Amaq Su, mengenakan capuk, ikat kepala khas Lombok.
Selama ini, Amaq Su mengaku bermain musik hanya mengandalkan naluri, rasa, dan pendengarannya. Ia mengikuti isyarat dari pemain lain tanpa pernah memahami sistem nada secara tertulis. “Biasanya cuma dengar, lalu mengisi (filling),” jelasnya. Ia menyimpan harapan besar, “Semoga dengan ada anak-anak yang belajar musik ini, musik Wayang Sasak bisa lebih cepat dipahami.”
Ancaman Kepunahan Generasi dan Hilangnya Jejak Tradisi
Kekhawatiran akan hilangnya warisan budaya ini bukan tanpa alasan. Generasi pemain instrumen Wayang Sasak semakin menyusut. Salah satu kendala utama adalah sulitnya mencari nada baku yang standar. Hingga kini, musik Wayang Sasak belum memiliki notasi tertulis yang dapat dipelajari secara kolektif. Di sisi lain, generasi muda semakin terpapar dengan musik industri modern, yang secara tidak langsung menjauhkan mereka dari akar tradisi.
Kegelisahan inilah yang mendorong Adya Amru Hidayat untuk melakukan penelitian mendalam mengenai nada musik Wayang Sasak. Tujuannya adalah agar seni ini dapat diwariskan secara turun-temurun kepada generasi mendatang. “Anak-anak muda sekarang itu sudah terdistorsi sama alat musik barat,” ujarnya prihatin.
Amru sangat khawatir, sebelum pengetahuan dan keahlian para maestro tradisi sempat diwariskan, mereka akan pergi selamanya. “Kita enggak punya jejak. Takutnya 30 tahun ke depan, saya cuma bisa cerita ke anak-cucu kalau dulu ada musik ini, tapi tidak bisa disuarakan lagi. Rasa-rasa itu, tradisi lisan itu, hilang,” ungkapnya dengan nada sedih.
Pendekatan Ilmiah untuk Melestarikan Nada Wayang Sasak
Dalam presentasinya, Amru memaparkan konsep microtones dalam penelitiannya. Microtones adalah nada-nada yang berada di antara nada-nada standar, dengan interval yang lebih kecil dari semitone (setengah nada). Musik mikrotonal umumnya menciptakan warna musik dan ekspresi yang khas, sering ditemui dalam musik seperti gamelan Jawa atau musik India.
Amru juga memaparkan analisis pitch atau tinggi-rendah nada musik Wayang Sasak dalam hitungan akademis di hadapan para musisi tradisional dan modern. “Lebih pada Pitch-nya tapi di sini tidak saklek. Bukan berarti pemain harus persis di satu titik nada,” jelasnya. Ia mengibaratkan pendekatan ini seperti membuat “penggaris” bagi para musisi, agar mereka memiliki acuan yang jelas dalam memainkan jarak nada atau interval.
Kepala Sekolah Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS), Safwan, memberikan apresiasi tinggi terhadap langkah Amru. Ia menilai penelitian ini sangat penting untuk didokumentasikan dan dijadikan referensi bagi generasi mendatang. “Ini masih berproses, belum tuntas. Kita belum mengambil kesimpulan. Semoga tangga nada yang dijelaskan tadi bisa menjadi acuan bersama memainkan musik Sasak,” kata Safwan.
Safwan mengakui bahwa selama ini, para pemain musik Wayang Sasak belajar secara turun-temurun di sanggar tanpa adanya buku panduan baku. “Belum ada. Masih kita tanamkan kepada mereka yang bertalenta saja,” ujarnya. Ia menilai riset Amru sebagai langkah awal yang strategis untuk membumikan Wayang Sasak. Meskipun penelitian ini baru mengambil sampel nada dari instrumen suling, Safwan menegaskan bahwa Wayang Sasak memiliki perangkat musik yang jauh lebih kompleks.
Instrumen pada musik Wayang Sasak meliputi gong, gendang, lanang, wadon, knot, kajar, dan rincik. Semua instrumen ini memerlukan penentuan tangga nada yang akurat agar dapat menghasilkan orkestra yang harmonis. Ia juga mencatat bahwa perkembangan seni Wayang Sasak masih berjalan stagnan. Pada tahun 2022, jumlah dalang Wayang Sasak di Pulau Lombok tercatat sebanyak 46 orang, namun hanya belasan yang masih aktif hingga kini.
Pendiri SPWS, Fitri Rachmawati, mengungkapkan bahwa riset Amru telah berjalan selama lima tahun, dan semakin intensif dalam dua tahun terakhir melalui kolaborasi dengan SPWS. Salah satu bentuk kolaborasi tersebut adalah dalam pertunjukan teater Wayang Sasak berjudul “Pertale Gumi atau Bumi Dalam Lipatan”. “Dari sana Amru menyampaikan kegelisahannya, ingin menemukan nada-nada musik Wayang Sasak dalam hitungan yang pasti, dengan ilmu fisika dan matematika yang ia kuasai,” ujar Fitri.
Menurut Fitri, upaya Amru ini merupakan langkah maju yang sangat penting untuk menegaskan identitas musik Wayang Sasak sebagai musik otentik milik masyarakat Sasak Lombok. “Bukan milik Bali, bukan juga Jawa,” tegasnya. SPWS, kata Fitri, memfasilitasi diskusi dan presentasi awal riset Amru secara swadaya. Hasil penelitian ini dinilai krusial untuk memperkuat posisi Wayang Sasak sebagai Warisan Budaya Takbenda yang memiliki kekhasan musikalitasnya sendiri, berbeda dari Wayang Bali maupun Wayang Jawa. “Selain itu, Amru adalah bagian dari SPWS, dan yang paling membanggakan, dia putra asli Sasak,” tambahnya dengan bangga.

Dukungan Pemerintah Daerah untuk Pelestarian Budaya
Di tengah upaya pelestarian yang digalakkan dari tingkat akar rumput, angin segar juga datang dari pemerintah daerah. Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, telah menyampaikan komitmennya untuk mengembangkan kebudayaan dengan membentuk Dinas Kebudayaan tersendiri pada tahun 2026. “Salah satunya, tahun depan mulai Januari akan ada Dinas Kebudayaan secara terpisah, khusus memikirkan dan mengembangkan kebudayaan yang beraneka ragam,” kata Iqbal.
Menurutnya, pembentukan dinas ini merupakan wujud nyata dari pengarusutamaan budaya dalam kebijakan pemerintah daerah. “Budaya bukan hanya dalam arti tradisi, tetapi budaya tidak bisa dipisahkan dari semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,” ujarnya.
Di ruangan sanggar itu, diskusi ditutup dengan alunan suling Amaq Su yang berpadu harmonis dengan petikan gitar Amru. Perpaduan ini seolah menjadi simbol kecil dari harapan besar bahwa musik Wayang Sasak tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga menemukan kembali relevansinya di tengah kemajuan pesat musik digital modern.

















