Kecerdasan Buatan dan Ancaman Baru: Melindungi Anak dari Penyalahgunaan AI
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) atau akal imitasi semakin pesat, mampu meniru manusia dengan tingkat akurasi yang luar biasa, mulai dari wajah, suara, hingga gaya bicara. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan kemudahan dan efisiensi dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, di sisi lain, AI juga membuka celah bagi kejahatan baru yang sangat mengkhawatirkan, terutama yang menyasar kelompok rentan seperti perempuan, anak perempuan, dan anak-anak.
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan sebagai bagian dari kampanye global 16 Hari Aktifisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender oleh Program Kemitraan Australia-Indonesia, terungkap betapa pentingnya membangun ruang digital yang aman dan inklusif. Mengingat ancaman yang semakin nyata, penting bagi orang tua dan masyarakat untuk memahami cara mencegah anak menjadi korban penyalahgunaan AI.
Deepfake: Ancaman Nyata yang Belum Diatur
Salah satu bentuk penyalahgunaan AI yang paling meresahkan adalah deepfake. Teknologi ini memungkinkan pembuatan konten intim palsu dengan cara menempelkan wajah seseorang ke tubuh orang lain, menciptakan ilusi yang sangat meyakinkan. Ironisnya, Indonesia saat ini belum memiliki undang-undang khusus yang secara eksplisit mengatur dan memberikan sanksi bagi pelaku pembuatan deepfake.
Ketiadaan regulasi yang jelas membuat korban deepfake seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, sementara pelaku sulit untuk dijerat hukum. Fenomena ini menjadi sinyal kuat bagi para pembuat kebijakan di Indonesia akan tanggung jawab negara dalam melindungi warganya, termasuk pejabat publik, dari risiko yang muncul akibat kemajuan teknologi digital.
Syamsul Tarigan, perwakilan dari Gender Equality and Social Inclusion UNDP Indonesia, menyoroti tantangan ini. “Kita belum punya secara eksplisit peraturan tentang AI dan ini menjadi tantangan besar jangan sampai multitafsir. Bagaimana aparat penegak hukum mau menangani dengan baik apabila tidak ada klausul AI atau akal imitasi dalam undang-undang. Selama ini, penanganannya menggunakan UU 44/2008 tentang Pornografi, UU TPKS, UU ITE, dan Pelindungan Data Pribadi,” jelasnya.
Dualitas AI: Ancaman Tersembunyi bagi Kelompok Rentan
Kecerdasan buatan memang membawa efisiensi yang luar biasa di era modern. Namun, di balik manfaatnya yang tampak, tersimpan sisi gelap yang berpotensi membahayakan kelompok rentan, terutama perempuan, anak perempuan, dan anak-anak.
Salah satu kasus yang mencuat terjadi di Universitas Udayana, di mana seorang mahasiswa diduga menggunakan AI untuk membuat konten seksual palsu dari foto-foto mahasiswi. Dengan bantuan AI, pelaku memanipulasi foto-foto tersebut, dan dilaporkan lebih dari 35 orang menjadi korban. Dalam hitungan detik, martabat seseorang dapat direkayasa, sementara dampak psikologis dan reputasi korban bisa bertahan lama.

Di balik layar, pelaku seringkali berlindung di balik anonimitas digital, sementara payung hukum yang ada belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan. Kesenjangan ini membuat korban merasa terombang-ambing tanpa perlindungan yang memadai. Penting untuk digarisbawahi bahwa ini bukanlah kesalahan perempuan, anak perempuan, maupun anak yang menggunakan media sosial. Kesalahan sepenuhnya terletak pada pelaku penyalahgunaan teknologi. Teknologi tidak seharusnya menjadi alat untuk merugikan orang lain, dan kelompok rentan berhak mendapatkan perlindungan penuh dari negara, platform digital, dan masyarakat.
Komitmen Pemerintah dalam Perlindungan Digital
Menyadari risiko yang semakin serius, pemerintah Indonesia tengah berupaya menyiapkan landasan hukum mengenai AI. Draf peraturan ini ditargetkan akan diundangkan pada tahun 2026, dengan harapan dapat menjadi payung hukum yang kuat bagi korban deepfake dan kejahatan berbasis teknologi lainnya, memastikan mereka mendapatkan keadilan, perlindungan, dan pendampingan.
Mediodecci Lustarini, Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi RI, yang akrab disapa Ibu Ides, mengungkapkan, “Komdigi sedang menyiapkan national roadmap penggunaan yang etis, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dalam draft peraturan tentang akal imitasi yang targetnya selesai pada 2026.”

Prinsip-prinsip etis yang akan diadaptasi dalam draf peraturan AI tersebut meliputi:
* Keamanan dan Keselamatan
* Akuntabilitas
* Transparansi
* Integritas
* Keadilan
* Pelindungan data biometrik
* Penilaian dampak pelindungan data
Selain itu, pemerintah juga menekankan pentingnya kepatuhan platform atau Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dalam menyisir risiko terhadap pengguna. Hal ini mencakup kajian mendalam terhadap aspek konten, anak sebagai konsumen, ancaman terhadap data pribadi anak, risiko kecanduan, hingga potensi gangguan psikologis dan biologis pada anak.
Internet untuk Anak: Akses yang Aman, Bukan Pemblokiran
Muncul pertanyaan, jika media sosial dapat berbahaya, mengapa negara tidak memblokirnya untuk anak-anak? Internet pada dasarnya memang tidak dirancang khusus untuk anak-anak. Namun, Indonesia memiliki aturan yang jelas melalui Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak (PP TPKS) dan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Anak (PP Tunas).
Aturan ini menempatkan tanggung jawab perlindungan digital pada tiga pihak utama:
1. Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE): Termasuk platform digital, aplikasi, dan media sosial.
2. Orangtua dan Pendidik: Sebagai pendamping anak dalam dunia digital.
3. Negara: Sebagai pelindung.
Kategori PSE ini sangat luas, mencakup perusahaan teknologi besar seperti Google, Meta, dan TikTok; platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee; layanan perbankan dan fintech; transportasi online seperti Gojek dan Grab; serta berbagai layanan jasa lainnya.
Anak-anak memiliki hak untuk mengakses informasi, termasuk informasi yang tersedia di ruang digital. Oleh karena itu, solusi yang tepat bukanlah membatasi akses, melainkan memastikan bahwa internet menjadi ruang yang lebih aman bagi mereka.
“Maka kita tidak bisa melakukan over censorship karena anak-anak tetap berhak mengakses internet. Senjata yang bisa kita lakukan adalah kewajiban moderasi konten, fitur-fitur perlindungan, dan mempertegas efektivitas know your customer. Ruang digital kita sangat beragam. Kalau semuanya diblokir, justru menimbulkan kontroversi. Indonesia punya kompleksitas besar, sehingga pengaturannya tidak bisa hanya menyasar satu jenis layanan digital. Seluruh PSE wajib memberikan perlindungan terhadap risiko digital karena layanan mereka digunakan oleh semua orang,” jelas Ibu Ides.
Layanan Pengaduan dan Perlindungan Korban
Jika anak atau perempuan mengalami ancaman, pemerasan, atau penyebaran konten palsu, ada layanan yang siap membantu. Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) adalah salah satu upaya pemerintah untuk memberikan layanan perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender. Setiap provinsi, kabupaten, dan kota didorong untuk memiliki unit ini.

Segera hubungi:
* Layanan 129: Call center nasional perlindungan perempuan dan anak.
* UPT PPA di daerah masing-masing: Untuk mendapatkan bantuan yang lebih spesifik di wilayah Anda.
Fungsi utama layanan UPTD PPA meliputi:
* Pengaduan Masyarakat
* Penjangkauan Korban
* Pengelolaan Kasus
* Penampungan Sementara
* Pendampingan Korban
UPTD PPA berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di tingkat daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Peran Kunci Orang Tua dalam Ekosistem Digital
Dalam ekosistem digital yang semakin kompleks, orang tua memegang peranan paling krusial dalam membentuk cara anak berinteraksi dengan teknologi.

Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan orang tua:
* Memberikan Contoh Perilaku Digital yang Sehat: Orang tua adalah model utama bagi anak.
* Menetapkan Batasan Waktu Layar: Mengatur durasi penggunaan perangkat digital.
* Mendampingi Anak Memahami Risiko dan Etika Digital: Membekali anak dengan pengetahuan tentang bahaya dan cara berperilaku aman di dunia maya.
Dengan pendampingan yang hangat, konsisten, dan penuh kesadaran, anak dapat tumbuh menjadi pengguna digital yang cerdas, kreatif, dan terlindungi. Memahami cara mencegah anak menjadi korban penyalahgunaan AI adalah langkah awal yang sangat penting dalam menghadapi tantangan era digital ini.
Meresahkan! Video 18+ Berbentuk Kartun Beredar di Media Sosial
Game Online dan Media Sosial Jadi Sarana Rekrutmen Terorisme pada Anak, Waspada!
Pembatasan Media Sosial untuk Anak, Konten Apa yang Harus Dihindari?

















