Terjebak dalam Keterisolasian: Kisah Kampung Omon, Papua yang Terlupakan
Di jantung Kabupaten Jayapura, di balik hamparan hutan tropis yang lebat di Distrik Gresi Selatan, tersembunyi sebuah permata yang tersembunyi: Kampung Omon. Keberadaannya mungkin mengejutkan, mengingat lokasinya yang tidak berada di daerah pegunungan terpencil atau gugusan pulau terluar Papua. Sebaliknya, Kampung Omon justru terletak relatif dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten. Namun, ironisnya, keseharian warganya masih diwarnai perjuangan tanpa adanya layanan dasar negara yang memadai.
Jerat Akses: Rintangan Utama Pembangunan
Salah satu kendala terbesar yang menghambat kemajuan Kampung Omon adalah minimnya akses transportasi. Perjalanan dari Kota Sentani menuju pusat distrik saja sudah memakan waktu sekitar enam jam melalui jalur darat. Setelah itu, perjuangan belum berakhir. Penduduk harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama kurang lebih tujuh jam lagi untuk mencapai kampung mereka.
Jalan setapak yang dilalui bukanlah jalur yang mulus. Lumpur tebal, hutan belantara yang tak berujung, sungai dengan arus deras yang berbahaya, serta jembatan kayu yang rapuh dan curam menjadi saksi bisu perjuangan harian warga. Jika diakumulasikan, total waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Kampung Omon bisa mencapai sekitar 13 jam. Keterbatasan akses inilah yang secara efektif mengisolasi kampung tersebut dari dunia luar dan pembangunan.
Bertahun-tahun Hidup Tanpa Sentuhan Pembangunan
Akibat sulitnya akses, Kampung Omon seolah terputus dari denyut pembangunan yang seharusnya dirasakan oleh seluruh penjuru negeri. Selama bertahun-tahun, warga hidup tanpa tersentuh layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar, maupun dukungan sosial dari pemerintah.
Frans Tabisu, Kepala Kampung Omon, menggambarkan keprihatinan yang mendalam atas kondisi ini. “Sejak Indonesia merdeka, saya melihat kampung-kampung lain sudah banyak mengalami perubahan. Mereka punya jalan, puskesmas, listrik, dan sekolah. Tapi di kampung ini tidak ada perubahan sama sekali, seolah kami ini bukan bagian dari negara Indonesia,” tuturnya dengan nada getir.
Ia menambahkan, banyak warganya, terutama kaum perempuan, yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Kota Jayapura atau merasakan sensasi menaiki kendaraan bermotor, semata-mata karena tidak adanya akses jalan yang memadai. “Untuk keluar kampung saja butuh sekitar enam jam berjalan kaki menuju distrik. Itulah sebabnya kami sangat membutuhkan pembangunan jalan,” tegasnya.
Generasi Tanpa Sekolah, Tragedi Pernikahan Dini
Dampak paling memilukan dari ketiadaan fasilitas dasar adalah pada masa depan anak-anak Kampung Omon. Tanpa adanya sekolah, pendidikan formal menjadi sebuah kemewahan yang tak terjangkau. “Kami sangat membutuhkan sekolah. Sejak dulu sampai sekarang tidak ada warga Kampung Omon yang pernah mengenyam pendidikan formal hingga menjadi pejabat. Bahkan saat ini pun anak-anak kami tidak ada yang bersekolah,” ujar Frans dengan suara lirih.
Kondisi tanpa pendidikan ini secara ironis berujung pada fenomena pernikahan usia dini yang marak terjadi. Anak-anak di kampung tersebut terpaksa menikah di usia yang sangat muda, bahkan ada yang baru berusia sekitar 10 tahun. “Dampaknya sangat mengerikan. Banyak ibu meninggal saat proses melahirkan. Ada juga anak-anak yang lahir dalam kondisi stunting. Ini adalah siklus yang terus berulang,” jelasnya.
Perjalanan Berobat Penuh Risiko, Nyawa Dipertaruhkan
Kondisi kesehatan warga Kampung Omon pun tak kalah memprihatinkan. Tanpa adanya puskesmas maupun tenaga medis yang siap siaga, setiap warga yang sakit harus menempuh perjalanan kaki sejauh kurang lebih 14 kilometer menuju pusat distrik untuk sekadar mendapatkan pelayanan kesehatan dasar.
Perjalanan yang seharusnya menjadi upaya penyelamatan nyawa ini, seringkali justru berubah menjadi pertaruhan nyawa itu sendiri. “Jika ada warga yang sakit, mereka harus ditandu dengan jarak tempuh sekitar enam jam ke distrik. Seringkali terjadi, warga meninggal di tengah perjalanan lalu jenazahnya dibawa pulang kembali ke kampung untuk dimakamkan,” ungkap Frans dengan nada sedih.
Selain layanan kesehatan, Kampung Omon juga belum tersentuh oleh aliran listrik maupun jaringan komunikasi. Akibatnya, warga selalu tertinggal dalam menerima informasi terkini. “Tidak ada listrik dan jaringan. Saya sebagai kepala kampung baru bisa mengakses informasi pemerintahan ketika sudah sampai di distrik,” katanya.
Frans menambahkan bahwa berbagai usulan pembangunan telah disampaikan secara berjenjang melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), mulai dari tingkat kampung hingga kabupaten. Namun, ironisnya, seluruh usulan tersebut hingga kini belum pernah membuahkan hasil. “Kami mengusulkan pembangunan jalan, puskesmas, sekolah, dan listrik setiap tahun, tapi tidak pernah ada tindak lanjut yang nyata. Tahun ini saya bahkan berpikir untuk tidak lagi berpartisipasi dalam Musrenbang,” sesalnya.
Janji Politik Tanpa Realisasi: Luka yang Terus Menganga
Di tengah keterisolasian yang mendalam, warga Kampung Omon kerap menjadi sasaran empuk janji-janji politik setiap kali momentum pemilihan umum tiba. Para calon pemimpin datang dengan membawa harapan pembangunan, namun janji-janji manis tersebut seolah menguap begitu saja setelah pesta demokrasi usai.
“Setiap kali pemilihan, mereka datang berjanji akan membuka jalan, membangun sekolah, dan mendirikan puskesmas. Tapi setelah itu, tidak pernah ada bukti nyata yang mereka tunjukkan,” keluh salah seorang warga Kampung Omon, Sepi Tabisu.
Kekecewaan mendalam juga dirasakan oleh Yafet Teet, yang harus kehilangan empat anggota keluarganya akibat sulitnya akses terhadap layanan kesehatan. “Bapak, ibu, adik, dan paman saya meninggal saat kami berusaha membawa mereka ke puskesmas. Mereka meninggal di jalan dan harus ditandu kembali ke kampung,” kenangnya dengan suara bergetar menahan haru.
Sebagai bentuk protes dan ekspresi duka yang mendalam, Yafet bahkan pernah menuliskan keluhannya dan menempelkannya di sebuah pohon sebagai pengingat. “Kami adalah bagian dari Kabupaten Jayapura. Kami menderita di jalan ini dari tahun ke tahun, korban terus berjatuhan, namun kami tidak pernah diperhatikan,” ucapnya penuh kepedihan.
Harapan Sederhana: Kehadiran Negara yang Sesungguhnya
Meskipun telah berulang kali dilanda kekecewaan, semangat dan harapan warga Kampung Omon belum sepenuhnya padam. Mereka hanya mendambakan satu hal: kehadiran negara melalui penyediaan layanan dasar yang layak dan manusiawi.
“Harapan saya yang paling utama adalah jalan segera dibuka, puskesmas dan sekolah segera dibangun agar anak-anak kami bisa mengenyam pendidikan dan kami tidak perlu lagi berjalan jauh hanya untuk berobat,” ujar Yuliana Teet, mewakili suara hati banyak warganya.
Warga Kampung Omon berharap agar pemerintah dapat membuka mata dan hati mereka, serta segera menghadirkan layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan layanan sosial yang memadai. Dengan demikian, Kampung Omon tidak lagi hidup dalam isolasi yang menyakitkan, dan benar-benar dapat merasakan menjadi bagian integral dari pembangunan Papua dan Indonesia secara keseluruhan.

















