Aceh dan Sumatra: Duka Tsunami 2004 Bergaung di Tengah Bencana Hidrometeorologi 2025
26 Desember 2025—Di tengah dinginnya udara akhir tahun, masyarakat Aceh kembali merenungi tragedi yang tak terlupakan. Tepat 21 tahun yang lalu, gelombang raksasa tsunami menghantam pesisir Serambi Mekkah, meninggalkan luka mendalam yang hingga kini masih terasa di hati setiap warganya. Namun, peringatan kali ini memiliki nuansa yang lebih kelabu. Saat Aceh berduka mengenang bencana dahsyat tahun 2004, daratan Sumatra kembali dilanda kepedihan akibat serangkaian bencana hidrometeorologi yang menerjang sepanjang akhir tahun 2025.
Mengenang Tragedi, Memperkuat Kesiapsiagaan
Lebih dari dua dekade telah berlalu sejak gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang dasar Samudra Hindia, memicu tsunami yang meluluhlantakkan pesisir pantai. Peringatan yang digelar setiap tahun ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah pengingat kuat akan pentingnya kesiapsiagaan dan kewaspadaan. Setiap tahun, di kompleks pemakaman massal Ulee Lheue, para peziarah datang dengan mata berkaca-kaca, menaburkan bunga dan mengirimkan doa bagi ratusan ribu jiwa yang direnggut oleh bencana tersebut.
Pengalaman pahit tsunami 2004 telah mengajarkan banyak hal kepada masyarakat Aceh dan pemerintah. Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) yang kini menjadi salah satu yang terbaik di dunia adalah bukti nyata pelajaran berharga dari tragedi tersebut. Namun, alam memiliki caranya sendiri untuk menguji ketahanan manusia, dan kini, Sumatra kembali dihadapkan pada ujian yang berbeda.
Bencana Sumatra 2025: Luka Baru di Tanah Swarnadwipa
Sebuah ironi yang memilukan, peringatan 21 tahun tsunami Aceh kali ini bertepatan dengan masa pemulihan pasca-bencana besar yang melanda Sumatra sejak November 2025. Banjir bandang dan tanah longsor telah menerjang sejumlah wilayah, meninggalkan jejak kehancuran dan duka yang mendalam.
Berdasarkan data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per tanggal 25 Desember 2025, jumlah korban jiwa akibat rentetan bencana hidrometeorologi ini telah menembus angka 1.135 orang. Tiga provinsi utama yang paling terdampak adalah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kondisi di lapangan menunjukkan urgensi yang sama seperti pasca-tsunami 2004, di mana kebutuhan akan bantuan dan pemulihan sangat tinggi.
Beberapa poin krusial yang perlu dicermati dari situasi bencana Sumatra 2025 adalah:
- Pengungsian Masif: Lebih dari 489.000 jiwa terpaksa mengungsi dari rumah mereka dan kini bertahan di posko-posko pengungsian. Kebutuhan akan pangan, air bersih, sanitasi, dan perlindungan bagi para pengungsi menjadi prioritas utama.
- Kerusakan Infrastruktur: Data mencatat sedikitnya 157.838 rumah warga dilaporkan rusak, baik ringan, sedang, maupun berat. Kerusakan ini tidak hanya merenggut tempat tinggal, tetapi juga memperlambat proses rehabilitasi ekonomi di wilayah-wilayah terdampak, karena banyak sarana produksi dan akses transportasi yang terganggu.
- Aceh Kembali Terdampak: Wilayah Aceh Utara, yang pernah menjadi salah satu pusat terdampak tsunami 2004, kini kembali menjadi salah satu titik terparah akibat banjir dan longsor. Dengan korban tewas mencapai 205 jiwa di wilayah ini, bencana kali ini membangkitkan kembali trauma masa lalu bagi masyarakat setempat, mengingatkan mereka pada kedahsyatan yang pernah mereka alami.
Relevansi Mitigasi: Belajar dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Kaitan antara peringatan Tsunami Aceh dan bencana Sumatra 2025 sangat jelas, yaitu pada satu kata kunci yang krusial: Mitigasi. Jika bencana tsunami dahsyat tahun 2004 mendorong lahirnya sistem peringatan dini tsunami yang canggih dan meningkatkan kesadaran publik akan bencana geologi, maka bencana banjir dan longsor yang terjadi di akhir tahun 2025 ini seharusnya menjadi titik balik dalam pengelolaan tata ruang dan pelestarian lingkungan di sepanjang bentangan Bukit Barisan yang subur namun rentan.
Para ahli kebencanaan semakin menekankan bahwa perubahan iklim yang ekstrem kini menjadi ancaman nyata yang setara dengan ancaman tektonik. Pola curah hujan yang tidak menentu, peningkatan intensitas badai, dan kenaikan suhu global berkontribusi pada meningkatnya frekuensi dan keparahan bencana hidrometeorologi. Oleh karena itu, pendekatan mitigasi harus mencakup aspek adaptasi terhadap perubahan iklim.
Pembangunan hunian tetap (huntap) bagi para korban banjir 2025 harus benar-benar belajar dari kegagalan dan keberhasilan rekonstruksi Aceh pasca-tsunami dua dekade silam. Prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat harus menjadi landasan utama. Hindari pembangunan di zona merah rawan bencana dan pastikan infrastruktur yang dibangun tahan terhadap potensi bencana di masa depan.
Penutup: Harapan untuk Masa Depan Sumatra yang Lebih Aman
Peringatan Hari Tsunami Aceh tahun 2025, yang berlangsung di tengah hiruk-pikuk bencana hidrometeorologi di Sumatra, seharusnya menjadi momentum bagi kita semua untuk berhenti sejenak. Ini adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi kembali hubungan kita dengan alam, serta mengkaji kembali kebijakan yang telah dan akan diambil oleh pemerintah.
Sumatra, tanah yang kaya akan sumber daya alam dan keindahan budaya, tidak hanya membutuhkan doa dari seluruh penjuru negeri. Lebih dari itu, Sumatra membutuhkan kebijakan nyata yang berpihak pada keselamatan warganya dari ancaman bencana yang terus berulang. Investasi dalam sistem peringatan dini yang komprehensif, penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan, serta edukasi kebencanaan yang berkelanjutan bagi masyarakat adalah langkah-langkah krusial yang harus segera diambil. Dengan pembelajaran dari masa lalu dan kesadaran akan masa kini, kita dapat membangun masa depan Sumatra yang lebih aman dan tangguh menghadapi segala bentuk bencana.





