Diskriminasi Pelayanan Wisata di Bali: Perspektif Anggota DPD
Isu mengenai dugaan diskriminasi dalam pelayanan pariwisata di Bali, di mana wisatawan mancanegara (wisman) disebut mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa dibandingkan wisatawan domestik, telah menjadi sorotan. Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, angkat bicara mengenai fenomena ini dan memberikan pandangannya yang komprehensif.
Menurut Rai Mantra, framing atau cara pemberitaan mengenai isu diskriminasi ini perlu dicermati secara mendalam. Ia mengakui bahwa persepsi adanya perbedaan perlakuan antara turis asing dan lokal memang ada. “Diskriminasi masalah layanan tamu di Bali, melihat framingnya ya. Jadi kalau orang lokal dilayani dengan tidak baik, kalau orang asing dilayani dengan baik. Itu sebenarnya kita gak sadar sebenarnya di framing,” ujar Rai Mantra saat ditemui pada Kamis, 25 Desember 2025.
Namun, Rai Mantra juga menekankan bahwa narasi tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan realitas di lapangan. Ia berpendapat bahwa tidak sedikit wisatawan asing yang juga mengalami perlakuan kurang menyenangkan, seringkali karena perilaku mereka sendiri yang kurang pantas. “Sebenarnya tidak sedikit orang asing itu mendapatkan perlakuan yang tidak baik karena mereka juga tidak baik,” jelasnya.
Lebih jauh, Rai Mantra menilai bahwa isu diskriminasi antara wisatawan asing dan lokal ini lebih merupakan cerminan dari persaingan yang terjadi di tingkat lokal. Ia menyoroti pergeseran tren pariwisata di Indonesia, di mana Bali kini berada di peringkat keempat setelah Yogyakarta, Bandung, dan destinasi lainnya yang semakin populer. “Seperti sekarang Yogyakarta ini penuh, Bali ada di destinasi keempat setelah Yogyakarta, Bandung dan sebagainya sekarang (Bali) keempat. Artinya kan dalam hal ini tidak begitu reaktif, cuma kita juga harus bisa melihat sesuatu ini dengan secara proaktif kita gak sadar bahwa ini ada satu persaingan global,” ungkapnya.
Peran Imigrasi dan Pemberitaan Global
Terkait dengan peran Imigrasi dalam menjaga ketertiban di lapangan, Rai Mantra mengakui bahwa operasi kontrol yang dilakukan oleh Imigrasi memang cukup memberikan pengaruh. Keberadaan petugas Imigrasi dapat menimbulkan kekhawatiran, terutama jika wisatawan yang menjadi sasaran operasi adalah mereka yang sebenarnya tidak melakukan pelanggaran. Gangguan terhadap kenyamanan mereka bisa berujung pada cerita yang berbeda.
“Kecuali kalau yang tertangkap memang melanggar seperti Bonnie Blue. Termasuk juga masalah berita banjir, ada bencana berita banjir di Bali itu, saya nonton sendiri itu masuk di berita dunia. Jadi gak main-main masalah Bali saya nonton sendiri, jadi isu itu juga harus dipikirkan masalah kemacetan juga,” terangnya.
Rai Mantra juga menyoroti bagaimana pemberitaan global mengenai isu-isu negatif di Bali, seperti bencana alam atau kemacetan, dapat memengaruhi citra pariwisata pulau dewata tersebut. Ia menegaskan bahwa masalah-masalah ini tidak bisa dianggap remeh karena dapat terekspos secara luas di media internasional.
Menepis Narasi “Anti-Lokal”
Mengenai isu diskriminasi pelayanan secara spesifik, Rai Mantra menegaskan bahwa hal tersebut tidak serta merta terjadi secara luas. Ia berargumen bahwa banyak juga masyarakat lokal Bali yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik, sama halnya dengan tidak semua wisatawan asing mendapatkan perlakuan yang istimewa.
“Masalah diskriminasi pelayanan, Rai Mantra menegaskan, tidak juga banyak terjadi, sebab banyak juga orang lokal Bali yang tidak mendapatkan pelayanan dengan baik. Dan juga tidak semua orang asing mendapatkan pelayanan baik,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa narasi mengenai diskriminasi ini, meskipun mungkin berakar dari beberapa kejadian spesifik, telah berhasil menciptakan persepsi yang keliru. “Tapi framing tersebut berhasil untuk membuat kita di Bali itu seolah-olah anti lokal. Seolah seperti itu sebenarnya enggak seperti itu,” tutup Rai Mantra.
Pernyataan Rai Mantra ini memberikan perspektif yang lebih seimbang terhadap isu diskriminasi pelayanan pariwisata di Bali. Ia mengajak semua pihak untuk melihat fenomena ini secara lebih kritis, mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhinya, termasuk persaingan global, dampak pemberitaan, dan dinamika perilaku wisatawan itu sendiri.
Analisis Lebih Dalam: Mengapa Framing Itu Penting?
Framing, atau cara sebuah isu dibingkai dan disajikan kepada publik, memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk opini. Dalam kasus dugaan diskriminasi pelayanan di Bali, framing yang menekankan perbedaan perlakuan antara turis asing dan lokal dapat menimbulkan beberapa implikasi:
- Dampak pada Citra Bali: Jika masyarakat luas, baik domestik maupun internasional, meyakini bahwa Bali memang diskriminatif, hal ini dapat merusak citra pariwisata Bali secara keseluruhan. Wisatawan domestik mungkin merasa enggan untuk berkunjung, sementara wisatawan asing yang peduli terhadap isu kesetaraan dapat memboikot destinasi tersebut.
- Menimbulkan Polarisasi: Framing semacam ini dapat memicu polarisasi di kalangan pelaku pariwisata dan masyarakat lokal. Bisa jadi ada pihak yang merasa bersalah dan ingin memperbaiki, sementara pihak lain mungkin merasa tersudutkan atau menolak tuduhan tersebut.
- Mengaburkan Akar Masalah Sebenarnya: Dengan terlalu fokus pada narasi diskriminasi, akar masalah yang mungkin lebih kompleks, seperti kurangnya pelatihan sumber daya manusia, standar pelayanan yang bervariasi, atau bahkan masalah ekonomi yang dihadapi oleh pelaku usaha lokal, bisa terabaikan.
Rai Mantra dengan tepat menggarisbawahi bahwa persepsi ini perlu dikelola dengan hati-hati. Upaya edukasi dan komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan untuk meluruskan narasi yang keliru dan membangun pemahaman yang lebih utuh.
Tantangan Bali di Era Persaingan Global
Pernyataan Rai Mantra mengenai posisi Bali yang kini berada di peringkat keempat destinasi pariwisata di Indonesia menandakan adanya pergeseran lanskap pariwisata. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap hal ini antara lain:
- Munculnya Destinasi Baru yang Menarik: Yogyakarta, Bandung, dan daerah lain terus berinovasi dan menawarkan pengalaman wisata yang unik, menarik, dan seringkali lebih terjangkau bagi wisatawan domestik.
- Perubahan Preferensi Wisatawan: Wisatawan kini mencari pengalaman yang lebih otentik, petualangan, dan destinasi yang menawarkan nilai lebih dari sekadar pemandangan indah.
- Infrastruktur dan Aksesibilitas: Peningkatan infrastruktur dan aksesibilitas ke destinasi-destinasi baru juga menjadi faktor penarik.
Bali, sebagai destinasi yang sudah mapan, perlu terus beradaptasi dan berinovasi agar tetap relevan dan kompetitif. Ini tidak hanya berarti menjaga kualitas pelayanan, tetapi juga mengembangkan produk pariwisata yang lebih beragam, berkelanjutan, dan sesuai dengan tren global.
Kesimpulan
Isu diskriminasi pelayanan di Bali, seperti yang diungkapkan oleh Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, adalah sebuah fenomena yang kompleks dan memerlukan analisis yang mendalam. Sementara persepsi adanya perbedaan perlakuan memang ada, penting untuk tidak terjebak dalam framing yang menyederhanakan masalah. Upaya untuk memahami akar permasalahan, mengelola citra pariwisata secara proaktif, dan terus berinovasi adalah kunci bagi Bali untuk mempertahankan posisinya sebagai destinasi pariwisata kelas dunia di tengah persaingan global yang semakin ketat.

















