Indonesia, sebuah negara yang sering digembar-gemborkan memiliki kekayaan alam melimpah dan potensi besar menjadi kekuatan ekonomi dunia, justru menghadapi kenyataan pahit. Bagaimana mungkin Indonesia dapat melampaui negara-negara maju jika praktik korupsi justru tumbuh subur di hampir seluruh lini kekuasaan?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi sekadar perilaku menyimpang bagi para pejabat. Korupsi telah menjelma menjadi sebuah “pertandingan senyap” di antara para “tikus serakah berperut buncit”, yang berlomba-lomba menjarah uang negara. Siapa yang paling lihai dalam aksinya, dialah sang pemenang, meskipun mata hukum mengincar kebebasan mereka.
Untuk menutupi kesan kejahatan yang telah mereka lakukan, muncul dalih klasik yang sering terdengar, “tidak merugikan pribadi, hanya negara.” Padahal, negara tidak memiliki uangnya sendiri. Setiap rupiah yang beredar berasal dari keringat rakyat dan seharusnya kembali untuk kesejahteraan rakyat pula.
Kasus Pertamina: BUMN Menjadi Sarang Koruptor dengan Rekor Kerugian Negara
Kemarahan rakyat Indonesia kembali memuncak ketika mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga periode 2021–2023, Alfian Nasution, didakwa merugikan keuangan negara hingga mencapai angka fantastis Rp285,18 triliun. Dakwaan ini dibacakan dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, Andi Setyawan, mengungkapkan bahwa Alfian diduga melakukan atau turut serta dalam perbuatan melawan hukum yang melibatkan tiga tahapan penting dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang selama periode 2013–2024.
Ketiga tahapan krusial tersebut meliputi:
- Pengadaan sewa terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh Pertamina.
- Pemberian kompensasi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) dengan RON 90 pada tahun 2022–2023.
- Penjualan solar nonsubsidi selama periode 2020–2021.
Jaringan Elite Perampok di Tubuh Pertamina
Dakwaan yang dibacakan menyebutkan bahwa perbuatan melawan hukum ini dilakukan secara bersama-sama dengan sejumlah pejabat dan petinggi perusahaan. Jaringan ini melibatkan berbagai tingkatan, mulai dari jajaran direksi Pertamina lintas periode, hingga pihak swasta baik nasional maupun internasional. Beberapa nama yang disebut dalam dakwaan antara lain Hasto Wibowo, Toto Nugroho, Hanung Budya Yuktyanta, Dwi Sudarsono, serta pihak-pihak terkait dari PT Pertamina International Shipping (PIS) dan perusahaan mitra.
Dalam skema pengadaan sewa Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Merak, para terdakwa diduga telah memperkaya pihak tertentu hingga mencapai Rp2,9 triliun. Sementara itu, dalam pemberian kompensasi JBKP RON 90, nilai yang mengalir ke pihak yang tidak berhak mencapai Rp13,12 triliun. Adapun dalam kasus penjualan solar nonsubsidi, PT Adaro Indonesia disebut-sebut menerima keuntungan sekitar Rp630 miliar dari praktik ini.
Secara keseluruhan, total kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara ini mencapai Rp285,18 triliun, dengan rincian sebagai berikut:
- Kerugian keuangan negara: senilai 2,73 miliar dolar AS dan Rp25,44 triliun.
- Kerugian perekonomian negara: sebesar Rp171,99 triliun.
- Keuntungan ilegal: yang diperoleh mencapai 2,62 miliar dolar AS.
Dampak dari kemahalan harga BBM yang disebabkan oleh manipulasi pengadaan ini secara langsung membebani ekonomi masyarakat, memicu inflasi, serta melemahkan daya beli rakyat.
Regulasi Dilanggar Demi Kepentingan Segelintir Orang
Jaksa juga mengungkap adanya dugaan praktik penunjukan langsung yang jelas-jelas melanggar prosedur. Selain itu, terjadi pula manipulasi dalam formula Harga Indeks Pasar (HIP) untuk Pertalite RON 90. Bahkan, persetujuan harga jual solar nonsubsidi dilakukan dengan mengabaikan prinsip bottom price dan profitabilitas sehat, sebagaimana seharusnya diatur dalam pedoman internal Pertamina.
Perbuatan-perbuatan ini menegaskan sebuah fakta yang menyakitkan: korupsi tidak terjadi karena lemahnya aturan, melainkan karena kesengajaan untuk melanggar hukum demi memperkaya diri sendiri dan kelompok mereka.
Undang-undang dasar telah dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, realitas yang terjadi justru berkata lain. Ketika hasil bumi, energi, dan sumber daya penting negara justru menjadi ladang pendapatan bagi para elite, maka sangat wajar jika sebagian besar rakyat merasa kehilangan kesejahteraan, bahkan kehilangan kepercayaan terhadap negara. Mereka mungkin merasa ingin “merdeka di negeri sendiri”.
Korupsi bukan hanya sekadar kejahatan hukum, melainkan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi yang berujung pada penderitaan rakyat. Selama praktik ini terus dibiarkan atau hanya diselesaikan dengan cara-cara yang dangkal, maka mimpi Indonesia untuk dapat sejajar dengan negara-negara maju akan tetap menjadi sekadar “omon-omon” atau impian kosong.
Berkaca dari kasus besar yang menjerat para petinggi Pertamina ini seharusnya menjadi sebuah peringatan keras bagi seluruh penyelenggara negara. Jika tidak ada keberanian untuk melakukan “pembersihan” sistem secara menyeluruh, maka dapat dipastikan para koruptor akan terus menggerogoti fondasi dan tubuh bangsa ini.
Indonesia memang memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun krisis moral di tubuh kekuasaan adalah musuh terbesar yang dihadapi rakyat.
Pertanyaan sederhana yang kini menggantung adalah: benarkah negara benar-benar berpihak pada rakyat, atau justru terus membiarkan uang rakyat dirampok atas nama jabatan?

















