Renungan Pergantian Tahun: Memilih Hening di Tengah Duka Saudara
Malam pergantian tahun selalu menjadi momen yang dinanti, sebuah jembatan antara tahun yang akan berlalu dan tahun yang baru saja menyapa. Biasanya, kita membayangkan momen ini sebagai simfoni cahaya di langit, sebuah pesta warna yang meledak di tengah kegelapan malam. Namun, di balik kemegahan visual yang sekejap itu, ada sebuah jeda yang patut direnungkan. Sebuah ajakan untuk merangkul kesunyian, meniadakan dentuman kembang api, demi sesuatu yang lebih mendalam dari sekadar perayaan kasat mata.
Langit yang Sama, Duka yang Berbeda: Sebuah Panggilan Empati
Saat kita bersiap menghitung detik menuju perubahan angka di kalender, mari sejenak menoleh ke arah barat dan berbagai penjuru negeri. Di sana, di tanah Aceh, di sudut-sudut Sumatera Utara, hingga ke pelukan alam Sumatera Barat dan wilayah lainnya, saudara-saudari kita sedang berdiri di atas puing-puing dan genangan air. Bencana alam telah meluluhlantakkan sebagian kehidupan mereka, meninggalkan jejak kesedihan dan perjuangan.
Betapa tidak elok rasanya jika kita menyulut api ke langit dalam bentuk kembang api, sementara mereka tengah berjuang keras membersihkan lumpur dari dalam rumah mereka. Betapa pedih jika suara tawa kita yang riuh, diiringi dentuman kembang api, justru menenggelamkan isak tangis mereka yang baru saja kehilangan harta benda, atau bahkan orang-orang tercinta akibat musibah alam yang tak terduga.
Larangan menyalakan kembang api di momen pergantian tahun ini bukanlah sekadar aturan birokrasi. Ini adalah sebuah bentuk solidaritas tanpa suara. Ini adalah cara kita berkata kepada mereka yang sedang berduka: “Kami merasakan luka kalian. Kami tidak sedang berpesta sementara kalian sedang berduka.”
Mengapa Kita Memilih Hening? Lebih dari Sekadar Aturan
Keputusan untuk menahan diri dari kemeriahan yang berlebihan, khususnya dengan menghindari penggunaan kembang api, adalah sebuah manifestasi kasih sayang. Ini adalah penghormatan tertinggi bagi saudara-saudari kita yang sedang tertimpa musibah. Energi yang kita miliki, yang mungkin akan tersalurkan dalam dentuman dan kilatan kembang api, alangkah baiknya jika dialihkan menjadi doa yang tulus, atau uluran tangan yang nyata. Bukan menjadi asap yang menguap sia-sia di udara.
Di balik dinding rumah sakit dan tenda-tenda pengungsian, ada jiwa-jiwa yang membutuhkan ketenangan. Suara ledakan kembang api yang keras dan tiba-tiba hanya akan menambah kecemasan bagi mereka yang sedang trauma akibat bencana. Trauma yang mungkin masih membekas kuat dalam ingatan mereka.
Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan dampak terhadap hewan peliharaan dan satwa liar. Mereka seringkali mengalami trauma hebat akibat suara ledakan yang memekakkan telinga. Ketakutan mereka adalah jeritan sunyi yang kerap kali kita abaikan dalam hiruk pikuk perayaan. Dengan tidak menyalakan kembang api, kita juga memberikan kado berharga berupa udara yang lebih bersih untuk menyambut fajar pertama di tahun yang baru. Kado yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup.
Mencari Cahaya dalam Diri: Introspeksi dan Empati
Mari kita ubah paradigma perayaan pergantian tahun. Dibandingkan dengan membakar materi menjadi asap dalam hitungan detik, alangkah lebih indahnya jika percikan cahaya itu kita nyalakan di dalam hati. Dalam bentuk empati yang tulus dan kepedulian yang mendalam.
Pergantian tahun adalah momen emas untuk introspeksi diri. Kita bisa mengganti dentuman kembang api dengan doa yang tulus bagi keselamatan bangsa dan negara. Atau, merayakannya dengan makan malam hangat yang sederhana bersama keluarga terkasih. Sekadar duduk bersyukur atas keselamatan dan kesehatan yang masih kita nikmati, sementara sebagian saudara kita sedang berjuang menghadapi cobaan.
Biarlah langit malam tetap gelap dan tenang. Agar bintang-bintang yang berkelip di kejauhan terlihat lebih terang. Bintang-bintang itu mengingatkan kita bahwa di tengah kegelapan musibah sekalipun, selalu ada harapan yang bersinar. Setiap ledakan kembang api yang tidak kita sulut adalah sebuah penghormatan bagi ketenangan sesama. Ini adalah bentuk nyata empati kita bagi saudara-saudari yang sedang berduka.
Biarlah malam pergantian tahun nanti menjadi malam yang teduh. Sebuah malam di mana kita tidak merayakan pergantian angka dengan kebisingan yang sia-sia, melainkan dengan kedamaian yang meresap hingga ke kalbu. Sebuah kedamaian yang lahir dari kesadaran akan kondisi saudara kita.
Kepada Saudara Kami, Para Penjual Kembang Api dan Petasan
Kami memahami sepenuhnya bahwa di balik dagangan kembang api dan petasan yang Bapak dan Ibu jual, ada keringat, jerih payah, dan harapan untuk keluarga. Ada impian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, dengan segala kerendahan hati, kami memohon: Maukah sejenak menahan diri untuk tidak menjualnya di tengah suasana duka yang masih menyelimuti sebagian saudara kita?
Menahan diri dari berjualan kembang api dan petasan di momen ini bukanlah berarti memutus rezeki. Sebaliknya, ini adalah sebuah kesempatan untuk menjemput keberkahan yang lebih besar. Mari kita pastikan bahwa rezeki yang kita bawa pulang ke rumah tidak menyisakan rasa perih atau duka bagi mereka yang sedang trauma akibat musibah.
Percayalah, Tuhan Yang Maha Esa tidak akan menutup satu pintu rezeki tanpa membuka seribu pintu kebaikan lainnya bagi mereka yang memiliki empati dan kepedulian.
Karena pada akhirnya, perayaan yang paling sejati bukanlah yang terlihat oleh mata dunia dengan gemerlap dan kebisingan. Melainkan perayaan yang dirasakan dengan penuh syukur oleh jiwa, dan diwujudkan melalui kepedulian serta kasih sayang terhadap sesama.
Selamat menjemput tahun baru dalam keheningan yang penuh doa, refleksi, dan solidaritas.

















