Warga Aceh Tengah Bertaruh Nyawa Menyeberangi Sungai Akibat Jembatan Rusak
Penderitaan warga di Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, masih terus berlanjut. Sebulan pasca bencana banjir bandang dan tanah longsor, akses utama berupa jembatan yang menghubungkan beberapa kampung kini hanya menyisakan puing-puing. Akibatnya, seribuan warga dari tiga kampung terpaksa menggunakan cara yang sangat berbahaya untuk sekadar menyeberangi sungai. Mereka mengandalkan sisa-sisa kabel listrik dan batang bambu sebagai penyangga, sebuah tindakan nekat demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kondisi ini telah melumpuhkan total mobilitas warga di Kampung Bergang, Karang Ampar, dan Kampung Pantan Reuduek (atau Peuteng). Jembatan darurat darurat yang membentang lebih dari 50 meter dengan ketinggian sekitar 10 meter di atas sungai menjadi satu-satunya pilihan terakhir bagi mereka untuk bisa beraktivitas.
Setiap hari, pemandangan memilukan terlihat jelas. Para ibu, remaja, bahkan anak-anak harus berjalan perlahan di atas kabel dan bambu yang rapuh, membawa barang-barang di punggung mereka. Ketakutan jelas terpancar di wajah mereka, namun harapan untuk bertahan hidup membuat mereka harus nekat melintasi rintangan berbahaya ini. Warga sangat berharap pemerintah segera membangun kembali akses jembatan yang layak agar aktivitas ekonomi dapat kembali berjalan normal tanpa harus mempertaruhkan nyawa.
Harapan Tergantung pada Jembatan Layak
Latifah Nyakcut, seorang warga Kampung Pantan Reuduek, menceritakan rasa takutnya saat menyeberang menggunakan kabel listrik. Namun, keterpaksaannya demi memenuhi kebutuhan pokok membuatnya harus melakukan hal tersebut. Ia mengakui adanya bantuan dari pemerintah, tetapi jumlahnya dirasa sangat tidak mencukupi.
“Mau bagaimana lagi, demi memenuhi kebutuhan. Bantuan ada, tapi tidak cukup. Terpaksa kami menyeberang ke Reronga (Bener Meriah) untuk berbelanja,” ungkapnya dengan nada sedih.
Satu harapan besar yang ia titipkan kepada pemerintah adalah pembangunan jembatan yang layak secepatnya. Dengan jembatan yang memadai, warga akan lebih mudah berbelanja kebutuhan pokok dan mengangkut hasil pertanian mereka.
“Satu saja harapan kami, jembatan yang layak secepatnya dibangun. Banyak hasil kebun di seberang sana tidak bisa diangkut. Kalau ada jembatan dan hasil kebun bisa diangkut, kami cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari,” paparnya dengan mata berkaca-kaca.
Selain jembatan darurat dari kabel listrik dan bambu, terdapat pula beberapa gantungan kabel atau sling lain yang juga digunakan warga untuk menyeberang. Lokasi ini berada di Kampung Simpang Rahmat, Kecamatan Gajah Putih, Bener Meriah, yang merupakan jalur penghubung antar kampung di wilayah Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Hasil Kebun Terancam Rusak, Harga Anjlok Drastis
Rusaknya akses jembatan tidak hanya menyulitkan warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga berdampak buruk pada sektor pertanian dan perkebunan. Warga di Kampung Bergang, Karang Ampar, dan Kampung Pantan Reuduek merasakan imbas langsung dari kesulitan mendistribusikan hasil panen mereka.
Contoh nyata terlihat pada harga buah durian. Buah yang biasanya dijual antara Rp 20.000 hingga Rp 40.000 per buah, kini anjlok drastis menjadi hanya Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per buah.
“Harganya sudah tidak sesuai lagi. Sekarang harus ada ongkos tambahan untuk menyeberangkan. Dari sebelah sungai dibayar ongkos lagi menuju Ronga-Ronga, sehingga di tingkat petani harganya anjlok sekali. Tak karuan lagi harga durian kami sekarang,” keluh M. Yasin, seorang petani.
Ia dan warga lainnya sangat berharap adanya bantuan dari pemerintah daerah, khususnya dalam hal perbaikan akses jalan. Perbaikan jalan akan memungkinkan mereka untuk segera memasarkan hasil bumi ke luar daerah sebelum musim panen berakhir.
“Terpenting sekali, kami butuh jalan segera diperbaiki agar hasil keringat kami tidak terbuang sia-sia. Masih banyak hasil kebun kami di seberang sungai yang belum terambil. Kalau jalan sudah bisa dilalui, urusan kebutuhan pokok dapat kami upayakan sendiri,” pungkasnya, penuh harap.

















