Diskusi ringan di sebuah kedai kopi di bilangan Kwitang, Jakarta Pusat, memantik sebuah refleksi mendalam mengenai hubungan antara demokrasi, pengelolaan sumber daya alam, dan bencana yang melanda negeri. Duduk mengelilingi meja jati berukir, terlintas sebuah pertanyaan: apakah keindahan serat kayu yang membentuk meja ini berasal dari hutan-hutan yang kini rentan terhadap bencana? Dan sejauh mana alam berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia?
Pertanyaan ini kemudian berlanjut pada inti permasalahan: bagaimana hubungan antara alam dengan demokratisasi kepemimpinan di Indonesia? Demokrasi, yang seharusnya menjadi teropong aspirasi kedaulatan rakyat dan panglima suara mereka, diharapkan mampu mengantarkan kesejahteraan melalui pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana. Namun, ironisnya, rakyat seolah terperangkap dalam pusaran tiga kekuatan destruktif: kerakusan, kerusakan, dan kerasukan. Benarkah demikian?
Pusaran Tiga Kekuatan Destruktif
Ketika berbicara tentang kerakusan, sifat ini memang merupakan naluri alami manusia. Namun, tanpa benteng moral yang kuat, kerakusan dapat menjerumuskan manusia ke dalam kubangan dosa sosial. Hal ini seringkali muncul ketika ambisi material melampaui batas kebutuhan, seperti terlihat dalam ketimpangan penguasaan kekayaan alam, di mana segelintir penduduk mengendalikan sebagian besar aset nasional.
Fenomena ini memicu eksploitasi sumber daya alam secara masif, yang berujung pada hilangnya jutaan hektar hutan untuk perkebunan dan pertambangan. Dalam konteks demokrasi, pusaran masalah ini bermula ketika proses politik elektoral mulai terganggu oleh kepentingan ekonomi sempit, yang seringkali mengorbankan kesejahteraan bersama.
Pusaran ini tidak berhenti di situ. Ia terus berlanjut, menyebabkan kerusakan lingkungan, budaya, dan sosial. Belum lagi, negara dan rakyat terus menerus dirugikan oleh praktik korupsi bernilai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. Korupsi ini memperlemah redistribusi kekayaan alam dan memicu konflik agraria di tengah masyarakat.
Selanjutnya, persoalan ketahanan pangan juga menjadi isu krusial. Dari Sabang hingga Merauke, upaya pemenuhan pangan belum sepenuhnya maksimal, bahkan beberapa kebutuhan pangan harus diimpor, mengancam kemandirian para petani lokal. Padahal, narasi tentang pemerataan pembangunan dan penciptaan jutaan lapangan kerja seringkali digaungkan untuk menutupi ketidakseimbangan keadilan yang dirasakan rakyat.
Oleh karena itu, jika dicermati, berbagai peristiwa tersebut, ditambah lagi dengan minimnya pengawasan yang kuat, berisiko menjadikan demokrasi sebagai alat pembenaran atas kerusakan, bukan sebagai penyeimbang ekologi dan penguat ketahanan pangan. Puncak dari semua ini adalah kerusakan yang lebih parah, di mana kerakusan dapat menjelma menjadi “kerasukan” kolektif yang didorong oleh nafsu sesaat, menguasai dan mendegradasi akal sehat.
Jika potensi ini terwujud dalam kebijakan yang kontradiktif, privatisasi berlebihan, dan beban utang negara yang memberatkan rakyat serta membebani generasi mendatang, maka situasi tersebut sudah masuk dalam mode “peringatan” atau warning.
Menuju Demokrasi yang Berimbang: Solusi Holistik
Rakyat membutuhkan langkah-langkah cepat dan solutif untuk keluar dari pusaran masalah ini dan mewujudkan demokrasi yang berimbang. Diperlukan beragam pendekatan holistik untuk mencapai tujuan tersebut.
Beberapa strategi yang dapat diimplementasikan antara lain:
Penguatan Moral Individu:
Hal pertama yang krusial adalah memperkuat fondasi moral individu. Kampanye tentang “zuhud” (menjauhi duniawi secara berlebihan) dan “mujahadah” (berjuang) untuk membangun integritas pemilih dan calon pemimpin, terutama di momentum Pemilu dan Pilkada, sangatlah penting. Tujuannya adalah melahirkan pemimpin berkualitas yang tidak hanya dekat dengan rakyat, tetapi juga tunduk pada aturan Tuhan dan hukum alam semesta.Reformasi Institusi:
Diperlukan reformasi institusi yang signifikan. Ini mencakup penerapan kebijakan pajak progresif bagi individu superkaya, serta upaya nasionalisasi bertahap terhadap sumber daya strategis. Semua ini harus dilakukan dengan transparansi yang berbasis digital pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), misalnya melalui teknologi blockchain, alih-alih menjadikan pajak sebagai alat pemerasan terhadap rakyat kecil.Peningkatan Peran dan Partisipasi Rakyat:
Dalam urusan kebijakan negara, peran dan partisipasi aktif rakyat sangatlah penting. Mengingat semua keputusan politik pada akhirnya bermuara pada kepentingan rakyat, diperlukan pemahaman progresif yang diberikan kepada masyarakat. Model pendidikan politik, literasi, dan demokrasi perlu digalakkan di ruang-ruang komunitas berbasis kewargaan. Tujuannya adalah agar rakyat memahami kebijakan yang dikeluarkan negara, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam seperti pertambangan dan lingkungan.Penguatan Pengawasan Global dan Lokal:
Sektor pengawasan, baik di tingkat global maupun lokal, memegang peranan yang sangat penting. Diperlukan kolaborasi dengan berbagai lembaga, baik lokal, nasional, maupun internasional, untuk melakukan audit independen. Selain itu, posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai benteng anti korupsi perlu terus diperkuat.
Dengan pemikiran dan langkah-langkah tersebut, diharapkan di masa depan, demokrasi tidak lagi menjadi pusaran kehancuran, melainkan menjadi sebuah aliran yang mengalirkan kemakmuran berkelanjutan bagi seluruh bangsa.
Refleksi Bencana dan Pesan Moral
Bukankah fakta-fakta bencana alam di Aceh dan berbagai wilayah lain yang disiarkan oleh media sudah cukup menjadi bukti? Longsor yang memporak-porandakan perkampungan dan merenggut hak hidup warga, bisa jadi merupakan dampak dari kerakusan terhadap sumber daya alam. Eksploitasi hutan yang berlebihan dan perubahan tata guna lahan telah menyebabkan hilangnya penyangga ekosistem.
Jika kita mau jujur, bukankah dampak tersebut telah melahirkan kerusakan ekologis yang dahsyat, akibat dari rusaknya area Daerah Aliran Sungai (DAS) dari hulu ke hilir yang mencapai puluhan ribu hektare? Ironisnya, kerusakan dan ketimpangan ini diperburuk oleh ulah oknum dan korporasi yang serampangan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).
Fakta-fakta ini, bolehkah disebut sebagai sebuah “kerasukan” yang muncul ketika akal sehat terganggu oleh kepentingan sempit, diperparah oleh lambatnya penanganan awal yang kerap dikritik oleh koalisi masyarakat sipil dan pemerhati lingkungan hidup?
Kita mungkin teringat akan pesan mendiang Gus Dur, yang pernah menegaskan, “Demokrasi bukan sekadar pemilu, tapi bagaimana kita menjaga kemanusiaan agar tidak dimakan nafsu serakah duniawi.” Guru bangsa itu mengingatkan bahwa tanpa moralitas sumber daya manusia (SDM) terhadap sumber daya alam (SDA), dan demokrasi yang tanpa arah yang tepat, justru akan mempercepat kehancuran tatanan alam dan masyarakat.
Oleh karena itu, ke depan, mungkin diperlukan solusi-solusi holistik yang berbasis kerakyatan, sebagai upaya penguatan pencegahan yang terintegrasi dengan literasi lingkungan dalam pendidikan demokrasi kita.

















