JAKARTA — Kinerja neraca perdagangan Indonesia hingga Oktober 2025 mengalami penurunan akibat kinerja ekspor yang mengalami kontraksi secara bulanan maupun tahunan. Tren ini bisa menjadi indikasi buruk di tengah upaya pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada tahun ini. Terlebih, pada kuartal III/2025 lalu, ekspor menjadi motor utama pertumbuhan dengan angka sebesar 2,9%.
Dalam laporan Bisnis, penurunan kinerja ekspor terjadi karena pelambatan bahkan kontraksi di tiga sektor utama penopang ekspor, terutama ekspor nonmigas. Industri pengolahan, yang berkontribusi sebesar 80,25% dari total ekspor nonmigas pada Oktober senilai US$24,2 miliar, mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan tahun lalu. Pada Oktober 2024, ekspor industri pengolahan mencapai 12,04% secara bulanan dan 14,41% secara tahunan.
Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor industri pengolahan pada Oktober 2025 hanya naik 0,33% secara bulanan dan 6,06% secara tahunan. Tren serupa juga terjadi di sektor pertanian, yang jauh melambat dibandingkan Oktober 2024. Kinerja sektor ini bahkan terkontraksi 5,05% secara tahunan atau tumbuh tipis di angka 0,73% secara bulanan pada Oktober 2025.
Sementara itu, sektor pertambangan yang kontribusinya semakin menyusut dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada Oktober 2025, kontribusi sektor pertambangan ke total ekspor hanya mencapai 12,5%. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, kontribusi sektor ini bisa mencapai 17,82%. Penurunan kontribusi pertambangan itu sejalan dengan pertumbuhannya yang terkontraksi 30,92% secara tahunan dan 13,08% secara bulanan.
Ekspor Batu Bara Tersungkur
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya serta besi dan baja mengalami kenaikan pada Januari—Oktober 2025. Di sisi lain, batu bara justru menjadi satu-satunya komoditas yang mengalami penurunan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menyatakan bahwa nilai ekspor beberapa komoditas unggulan Indonesia mengalami kenaikan sepanjang Januari—Oktober 2025, kecuali batu bara. “Nilai ekspor besi dan baja naik 12,12% secara kumulatif, kemudian nilai ekspor CPO dan turunannya naik 25,73% secara kumulatif, dan nilai ekspor batu bara turun 20,25% secara kumulatif,” kata Pudji dalam Rilis BPS, Senin (1/12/2025).
Data BPS menunjukkan bahwa besi dan baja (HS 72) menjadi salah satu andalan ekspor nonmigas yang naik 12,12% menjadi US$23,58 miliar pada Januari—Oktober 2025 dari periode yang sama tahun lalu US$21,03 miliar. Dari sisi volume, ekspor besi dan baja juga meningkat 13,04% menjadi 19,50 juta ton dari sebelumnya 17,25 juta ton, dengan pangsa sebesar 10,57% dari total ekspor nonmigas.
Setali tiga uang, nilai ekspor CPO dan turunannya (HS 1511) juga mencatat pertumbuhan signifikan, yakni naik 25,73% menjadi US$20,20 miliar dari US$16,07 miliar pada Januari—Oktober 2024. Sejalan dengan peningkatan ekspor, BPS mencatat volume CPO meningkat 7,83% menjadi 19,49 juta ton dari sebelumnya 18,08 juta ton. Adapun, pangsa ekspor dari CPO dan turunannya adalah 9,05%.
Di sisi lain, batu bara (HS 2701) menjadi satu-satunya komoditas unggulan yang mengalami koreksi. Nilai ekspornya turun 20,25% menjadi US$20,09 miliar dari US$25,19 miliar pada periode sama tahun lalu. Sementara itu, volumenya juga menurun 4,10% menjadi 320,47 juta ton dari sebelumnya 334,19 juta ton. Adapun, pangsa untuk komoditas ini adalah 9% dari total ekspor nonmigas.
Secara kumulatif, BPS mencatat ketiga komoditas tersebut menyumbang sekitar 28,62% dari total ekspor nonmigas Indonesia pada Januari—Oktober 2025.
Peningkatan Domestic Demand?
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai pembukuan surplus yang lebih rendah itu menjadi tanda bahwa permintaan domestik membaik. Sebaliknya, surplus neraca dagang yang terlalu besar, di mana berarti nilai ekspor melambung tinggi, dinilai olehnya menjadi tanda-tanda bahwa permintaan domestik buruk.
“Kalau surplusnya kegedean, tandanya apa? Permintaan domestik kan jelek. Kalau surplusnya menyusut tetapi masih surplus, artinya ada tanda-tanda perbaikan di domestic demand. Jadi Anda enggak bisa terjemahkan langsung satu titik aja,” terangnya kepada wartawan saat ditemui usai Rapimnas Kadin 2025, Park Hyatt, Jakarta, Senin (1/12/2025).
Menurut Purbaya, perlu untuk melihat seperti apa perkembangan neraca perdagangan Indonesia ke depan. Dia memperkirakan apabila kinerja surplus perdagangan membaik, maka bisa jadi menjadi tanda bahwa ekonomi domestik membaik. “Kita lihat beberapa bulan ke depan seperti apa. Kalau balik ke normal, artinya ekonomi domestik mulai normal lagi dengan permintaan yang lebih bagus dibanding sebelum-sebelumnya,” jelasnya.
Momentum Tetap Terjaga
Di sisi lain, Kementerian Keuangan alias Kemenkeu meyakini momentum pertumbuhan ekonomi nasional terus terjaga menjelang tutup tahun 2025. Optimisme ini didukung oleh indikator manufaktur yang kian ekspansif, surplus neraca perdagangan yang solid, serta laju inflasi yang bergerak melandai.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan bahwa bauran kebijakan fiskal yang terarah, termasuk stimulus pada kuartal IV/2025, menjadi kunci dalam menjaga daya beli dan produktivitas. “Kita terus memperkuat pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan yang terarah, termasuk stimulus kuartal IV/2025, sekaligus mendorong ekspor yang bernilai tambah dan menjaga ketahanan sektor padat karya untuk mengoptimalkan kontribusi pada ekonomi nasional,” ujar Febrio melalui keterangannya, Selasa (2/12/2025).
Kemenkeu mencatat aktivitas manufaktur Indonesia menunjukkan tren penguatan selama empat bulan berturut-turut. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada November 2025 bertengger di level ekspansif 53,3. Angka ini mencerminkan kuatnya permintaan domestik yang mendorong peningkatan produksi dan penyerapan tenaga kerja. Posisi Indonesia ini sejalan dengan tren ekspansi di negara mitra dagang utama seperti India (57,4) dan Amerika Serikat (51,9), serta negara tetangga Thailand (56,8) dan Vietnam (53,8).
Dari sisi eksternal, neraca perdagangan Indonesia kembali mencetak kinerja impresif. Sepanjang Januari–Oktober 2025, surplus neraca perdagangan menembus angka US$35,9 miliar. Capaian ini tumbuh signifikan sebesar 44,1% secara kumulatif (cumulative to cumulative/ctc) apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
“Optimisme ini diperkuat oleh pertumbuhan sektor-sektor kunci, di mana ekspor nonmigas hasil industri pengolahan naik 15,8% dan ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan melonjak 28,6%,” jelasnya.

















