Mengungkap Realitas Kekerasan Berbasis Gender di Kawasan Industri Ekstraktif: Sebuah Dialog Publik Menuntut Solusi Struktural
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) merupakan isu kompleks yang kerap kali tersembunyi di balik gemerlap industri ekstraktif. Sebuah dialog publik yang diselenggarakan oleh LBH APIK NTB bersama Asosiasi LBH APIK Indonesia di Mataram pada Senin, 15 Desember lalu, menjadi arena penting untuk membongkar realitas tersebut. Acara yang berlangsung dari pagi hingga sore hari ini dihadiri oleh 31 peserta dari berbagai latar belakang, menunjukkan komitmen bersama untuk mengatasi permasalahan krusial ini. Kehadiran lintas sektor ini menggarisbawahi bahwa penanganan KBG di wilayah industri ekstraktif bukanlah sekadar persoalan individu, melainkan isu struktural yang memerlukan perhatian dan intervensi kebijakan yang serius.
Akar Permasalahan dan Bentuk Kekerasan yang Ditemukan
Khotimun Sutatuti dari Asosiasi LBH APIK Indonesia membuka forum dengan menekankan pentingnya kolaborasi multipihak. Beliau menegaskan bahwa isu KBG di kawasan pertambangan tidak boleh lagi dipandang sebagai masalah domestik semata, melainkan sebagai masalah struktural yang memerlukan solusi kebijakan yang komprehensif.
Pendiri LBH APIK NTB, Beauty Erawati, menambahkan bahwa penelitian yang menjadi dasar dialog ini merupakan langkah strategis untuk mengungkap dampak nyata industri ekstraktif terhadap kehidupan dan keamanan perempuan. Temuan penelitian ini, yang dipaparkan oleh Direktur LBH APIK NTB, Nuryanti Dewi, menunjukkan bahwa bentuk KBG yang terjadi sangat beragam. Mulai dari kekerasan fisik, seksual, psikologis, hingga kekerasan ekonomi dan struktural.
Nuryanti Dewi mengidentifikasi beberapa akar utama dari permasalahan ini, yaitu:
* Perubahan sosial-ekonomi yang drastis: Kehadiran industri ekstraktif seringkali mengubah tatanan sosial dan ekonomi masyarakat secara fundamental, menciptakan ketidakseimbangan baru.
* Maskulinisasi ruang kerja tambang: Lingkungan kerja yang didominasi laki-laki dapat menciptakan budaya dan dinamika yang rentan terhadap kekerasan terhadap perempuan.
* Degradasi lingkungan: Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh industri ekstraktif berdampak langsung pada sumber daya alam yang vital bagi perempuan, seperti air dan tanah.
* Terpinggirkannya suara perempuan: Dalam proses pengambilan keputusan terkait industri ekstraktif, suara dan perspektif perempuan seringkali tidak terakomodasi.
Dampak dari akar permasalahan ini berujung pada berbagai kerentanan bagi perempuan, termasuk hilangnya akses terhadap tanah dan air bersih, menurunnya ketersediaan sumber pangan, meningkatnya beban kerja domestik, serta kerentanan yang lebih tinggi terhadap berbagai bentuk kekerasan.
Penguatan Bukti Melalui Perspektif Lokal dan Akademis
Situasi di lapangan diperkuat oleh Surya Jaya, seorang peneliti lokal. Ia menggambarkan kondisi sosial di sekitar lingkar tambang Maluk yang mengalami dampak signifikan, seperti migrasi massal penduduk, perubahan mata pencaharian yang drastis, dan melemahnya sistem sosial kemasyarakatan.
Diskusi semakin kaya dengan beragam perspektif dari narasumber lain. Direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin, menyoroti keterkaitan erat antara kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri ekstraktif dengan meningkatnya kerentanan gender. Beliau mendorong agar analisis gender diintegrasikan secara mendalam dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan seluruh kebijakan terkait pertambangan.
Dari sudut pandang akademis, Prof. Dr. Ir. Ruth Stella memberikan pandangannya yang berharga. Beliau menekankan bahwa keadilan ekologis dan keadilan gender merupakan dua pilar yang tidak terpisahkan dari pemenuhan hak asasi manusia secara menyeluruh.
Testimoni Langsung: Suara Perempuan Terdampak
Salah satu momen paling menggugah dalam forum ini adalah sesi testimoni langsung dari perwakilan kelompok perempuan yang terdampak di Maluk. Mereka berbagi pengalaman nyata dalam menghadapi KBG, mengungkapkan rasa takut yang mendalam terhadap keamanan diri, serta kesulitan yang mereka hadapi dalam mengakses keadilan. Kesaksian ini memberikan gambaran yang sangat konkret dan menyentuh mengenai dampak sosial industri ekstraktif di tingkat akar rumput, yang seringkali luput dari perhatian publik.
Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis
Dalam sesi diskusi yang dipandu oleh Muhammad Shaleh, penulis policy brief, berbagai masukan berharga diberikan oleh peserta terhadap rekomendasi kebijakan yang telah disusun. Beberapa poin penting yang mengemuka dalam diskusi antara lain:
- Perlunya indikator kebijakan yang terukur: Agar setiap kebijakan yang dikeluarkan dapat dievaluasi efektivitasnya secara objektif.
- Mekanisme pengaduan yang aman dan ramah korban: Memastikan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan merasa aman dan didukung saat melaporkan kejadian.
- Pelibatan media dalam upaya advokasi dan pengawasan: Memanfaatkan kekuatan media untuk meningkatkan kesadaran publik dan mengawasi implementasi kebijakan.
Melalui forum ini, dirumuskan sejumlah rekomendasi strategis yang ditujukan kepada berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, perusahaan tambang, lembaga masyarakat sipil, serta untuk penguatan forum-forum lanjutan. Rekomendasi tersebut mencakup:
- Penguatan regulasi dan kelembagaan: Memastikan adanya peraturan yang memadai dan lembaga yang kuat untuk menangani kasus KBG.
- Penerapan kebijakan internal perusahaan yang sensitif gender: Mendorong perusahaan tambang untuk memiliki kebijakan internal yang melindungi perempuan dan mencegah kekerasan.
- Pemberdayaan perempuan melalui program CSR: Memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk program-program yang secara spesifik memberdayakan perempuan di wilayah terdampak.
- Penguatan peran paralegal dan komunitas: Meningkatkan kapasitas individu di tingkat komunitas untuk memberikan pendampingan hukum dan dukungan kepada korban.
Partisipasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) NTB dalam kegiatan ini menunjukkan komitmen mereka terhadap pembinaan hukum yang responsif gender di wilayah Nusa Tenggara Barat. Materi dan hasil diskusi yang diperoleh dari dialog publik ini diharapkan dapat menjadi masukan yang sangat berharga dalam perumusan kebijakan serta program kerja ke depan, khususnya dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di kawasan industri ekstraktif, demi terciptanya lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua.

















