Peraturan Kepolisian Baru Dianggap Sah dan Memperjelas Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebuah pandangan menarik muncul dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (PP HIMMAH), Abdul Razak Nasution, mengenai Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025. Menurut Razak, peraturan baru ini tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Justru sebaliknya, Razak menilai Perpol ini sah dan berfungsi untuk memperjelas pelaksanaan putusan MK yang telah ada sebelumnya.
“Perpol ini sah dan justru memperjelas pelaksanaan putusan MK ditambah lagi sebelum mengesahkan perpol,” ujar Razak kepada awak media pada Rabu (17/12). Pernyataan ini memberikan perspektif baru terkait interpretasi hukum yang seringkali menjadi subjek perdebatan publik.
Latar Belakang Putusan Mahkamah Konstitusi
Untuk memahami posisi Razak, penting untuk meninjau kembali Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan ini pada intinya membatalkan sebagian dari penjelasan Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Frasa yang dibatalkan adalah “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
Razak menjelaskan bahwa pembatalan ini tidak serta merta menghapus seluruh ketentuan terkait penugasan anggota Polri di luar institusi kepolisian. Ia menggarisbawahi bahwa frasa lain dalam penjelasan pasal yang sama, yaitu “jabatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepolisian”, tidak dibatalkan oleh MK.
“Artinya, masih ada ruang konstitusional bagi anggota Polri untuk bertugas di luar institusi kepolisian sepanjang penugasannya memiliki keterkaitan dengan tugas dan fungsi Polri,” tegas Razak. Hal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak menutup total kemungkinan anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar struktur kepolisian, asalkan ada benang merah yang jelas dengan tugas pokok dan fungsi kepolisian itu sendiri.
Tugas Pokok dan Fungsi Polri dalam Konstitusi
Razak kemudian mengaitkan argumennya dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 30 Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini secara gamblang menyebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Berdasarkan pemahaman ini, Razak berpendapat bahwa selama penugasan anggota Polri di luar organisasi induknya masih berada dalam koridor yang diatur oleh Undang-Undang, maka penugasan tersebut tidak dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi maupun putusan MK.
“Sepanjang penugasan itu berkaitan dengan perlindungan masyarakat, pemeliharaan keamanan dan ketertiban, serta penegakan hukum, maka jelas memiliki sangkut paut dengan kepolisian,” papar Razak. Dengan kata lain, jika penugasan di luar institusi kepolisian tetap berorientasi pada tujuan utama Polri seperti yang tertuang dalam UUD 1945, maka hal tersebut dianggap sah dan konstitusional.
Perpol 10/2025 sebagai Penegasan Kepastian Hukum
Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 hadir sebagai respons terhadap dinamika hukum pasca putusan MK. Menurut Razak, peraturan ini justru memberikan kepastian hukum yang lebih jelas setelah adanya putusan MK.
“Perpol ini mengatur secara tegas bahwa penugasan harus berdasarkan penugasan Kapolri dan hanya pada lembaga yang relevan,” ujar Razak. Ini berarti Perpol 10/2025 menetapkan mekanisme yang lebih terstruktur dan akuntabel terkait penugasan anggota Polri di luar institusi.
Perpol Nomor 10 Tahun 2025 secara spesifik mengatur penempatan anggota Polri di 17 kementerian dan lembaga. Razak melihat pembatasan ini bukan sebagai bentuk larangan, melainkan sebagai upaya penegasan untuk mencegah terjadinya multitafsir dalam pelaksanaan aturan.
“Ini bentuk kepastian hukum dan implementasi dari tugas Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ayat 4 UUD 1945,” ucapnya. Dengan adanya daftar lembaga yang jelas, diharapkan setiap penugasan dapat dilakukan secara transparan dan sesuai dengan tujuan pembentukan peraturan tersebut.
Menjaga Prinsip Kepastian Hukum
Razak juga mengingatkan bahwa salah satu pertimbangan utama Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan sebagian penjelasan Pasal 28 Ayat 3 UU Polri adalah adanya potensi ketidakjelasan norma yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Perpol ini merupakan penterjemahan dari spirit dan mandat putusan MK agar prinsip kepastian hukum sebagaimana Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 dapat terwujud,” pungkas Razak. Prinsip kepastian hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945, menjadi landasan penting dalam setiap pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian, Perpol 10/2025 dianggap sebagai langkah maju dalam mewujudkan prinsip tersebut.

















