Gubernur Sulawesi Tengah Turun Langsung Atasi Konflik Lahan di Lore Raya
POSO – Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, melakukan kunjungan mendadak ke wilayah Lore Raya, Kabupaten Poso, pada Minggu (21/12/2025). Langkah ini diambil sebagai respons langsung terhadap lonjakan pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan sengketa lahan dengan Badan Bank Tanah (PT BBT). Kunjungan terfokus di Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, menjadi ajang dialog antara pemimpin daerah dan warganya.
Di hadapan masyarakat Desa Watutau, Anwar Hafid menegaskan bahwa persoalan konflik lahan di Lore Raya menjadi prioritas utama pemerintah. Ia mengungkapkan bahwa sejak 14 Juli 2025, pihaknya telah melayangkan surat resmi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk meminta peninjauan kembali atas pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada Badan Bank Tanah di desa tersebut.
“Saya meminta agar pemberian HPL Bank Tanah di Watutau ditinjau kembali. Awalnya, hanya wilayah ini yang masuk dalam kajian. Namun, melihat perkembangan dan meluasnya persoalan ini, saya merasa tidak dapat mengambil keputusan tanpa melihat langsung kondisi di lapangan,” ujar Anwar Hafid dalam keterangannya pada Senin (22/12/2025).
Pria kelahiran 14 Agustus 1969 ini menekankan bahwa keterlibatannya dalam isu agraria ini merupakan manifestasi dari tanggung jawab moral dan konstitusionalnya sebagai kepala daerah. Anwar Hafid sengaja menjadwalkan kunjungan di tengah hari libur karena menyadari betapa krusialnya persoalan agraria bagi hajat hidup masyarakat di wilayah tersebut.
Temuan Lapangan: Ketidaksesuaian Data dan Realitas
Hasil peninjauan langsung di lapangan dan dialog mendalam dengan warga Desa Watutau membawa Gubernur Anwar Hafid pada kesimpulan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara informasi yang diterima oleh pemerintah pusat dengan kondisi faktual di lapangan. Ia menggarisbawahi bahwa tujuan pembentukan Badan Bank Tanah, yaitu untuk mengamankan tanah negara yang berasal dari bekas Hak Guna Usaha (HGU) agar tidak dikuasai secara sepihak oleh oknum pejabat atau pengusaha, sejatinya merupakan niat yang baik.
“Bank Tanah itu lahir untuk melindungi tanah negara agar tidak jatuh ke tangan spekulan. Tanah bekas HGU yang tidak diolah dan tidak dikuasai masyarakat seharusnya dikelola negara. Namun, jika di lapangan tanah itu telah digarap selama puluhan tahun, terdapat kebun, rumah, kandang, dan telah menjadi ruang hidup masyarakat secara turun-temurun, maka itu harus dihormati,” tegas Anwar Hafid.
Ia memberikan analogi praktik pengakuan terhadap padang penggembalaan dan lahan kolektif masyarakat adat di wilayah lain di Sulawesi Tengah yang selama ini telah mendapatkan perlindungan dari negara. Menurut pandangannya, prinsip-prinsip hukum agraria tidak boleh mengabaikan fakta penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh rakyat yang telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
Ajakan untuk Tetap Bersatu dan Berjuang Tertib
Gubernur Anwar Hafid juga menyerukan kepada seluruh masyarakat Lore Raya untuk tetap bersatu padu dan memperjuangkan hak-hak mereka dengan cara yang tertib dan bermartabat. Ia secara tegas meminta warga untuk tidak melakukan tindakan anarkis maupun perusakan. Sambil memberikan jaminan, pemerintah daerah bersama aparat keamanan akan berupaya keras menjaga situasi tetap kondusif.
“Rakyat tetap tenang, jangan anarkis. Tetap berkebun seperti biasa, jangan diganggu. Negara hadir dan kami yang akan mengurus ini. Percayakan kepada kami,” ujar Gubernur, memberikan penegasan kepada warganya.
Lebih lanjut, Gubernur berencana untuk membawa persoalan ini ke forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) Sulawesi Tengah dan bahkan melaporkannya langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
“Saya berani berdiri di sini karena saya tahu presiden berpihak kepada rakyat. Jika beliau melihat langsung kondisi ini, saya yakin beliau akan tergerak. Dan itulah yang akan saya sampaikan,” ungkap Gubernur dengan penuh keyakinan.
Dukungan dari Satgas PKA
Ketua Harian Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria (Satgas PKA) Sulawesi Tengah, Eva Susanti Bande, menyambut baik kehadiran Gubernur. Ia menilai kunjungan tersebut sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam upaya pencegahan eskalasi konflik dan perlindungan terhadap hak-hak para petani.
Satgas PKA pun turut mengajukan permohonan agar seluruh aktivitas pematokan dan tindakan intimidasi di lapangan dihentikan sementara. Penghentian ini diharapkan berlangsung hingga proses pendataan subjek dan objek lahan dapat diselesaikan secara menyeluruh dan adil.
“Kami akan terus mengawal pendampingan hukum dan administrasi agar hak-hak masyarakat Lore Bersaudara dapat dipulihkan sepenuhnya sesuai prinsip keadilan agraria,” pungkas Eva Susanti Bande.
Mengenal Lore Raya: Jantung Budaya dan Sumber Daya Alam Poso
Lore Raya merupakan istilah yang merujuk pada sekumpulan kecamatan yang terletak di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Wilayah ini mencakup Kecamatan Lore Tengah, Lore Timur, Lore Barat, Lore Utara, Lore Selatan, dan Lore Peore. Jarak dari ibu kota Kabupaten Poso ke Lore Raya bervariasi, membutuhkan waktu tempuh antara 4 hingga 7 jam perjalanan. Kecamatan terdekat, Lore Selatan, berjarak sekitar 127 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 4 jam. Sementara itu, Kecamatan Lore Utara yang terjauh berjarak 317 kilometer dan memerlukan waktu tempuh hingga 7 jam. Uniknya, Kecamatan Lore Selatan sebenarnya lebih mudah dijangkau melalui Kabupaten Sigi, dengan jarak sekitar 120-150 kilometer, namun akses jalan yang ekstrem menjadi kendala.
Wilayah Lore Raya merupakan rumah bagi beberapa kelompok masyarakat adat yang kaya akan tradisi dan budaya.
- Suku Napu (To Napu): Mendiami wilayah Lembah Napu, yang meliputi Kecamatan Lore Utara, Lore Timur, dan Lore Peore.
- Suku Besoa/Behoa (To Behoa): Berdomisili di Lembah Besoa, mencakup wilayah Kecamatan Lore Tengah.
- Suku Bada (To Bada): Menetap di Lembah Bada, yang meliputi Kecamatan Lore Selatan dan Lore Barat.
Daerah ini juga sangat terkenal sebagai kawasan Megalitik Lore Lindu. Kawasan ini menyimpan kekayaan arkeologis yang luar biasa, dengan ribuan peninggalan prasejarah yang diperkirakan berusia sekitar 3.000 tahun. Peninggalan tersebut meliputi Kalamba (bejana batu) dan arca batu yang merupakan saksi bisu dari zaman megalitikum. Kekayaan situs megalitik inilah yang menjadikan Sulawesi Tengah dijuluki sebagai “Negeri Seribu Megalit”. Sebagian besar wilayah Lore Raya terintegrasi dalam Taman Nasional Lore Lindu dan telah mendapatkan pengakuan sebagai Cagar Biosfer UNESCO, menunjukkan nilai ekologis dan ilmiahnya yang tinggi.
Potensi Emas dan Kekayaan Mineral: Ladang Emas di Poso
Selain pesona budaya dan alamnya, wilayah Lore Raya juga menjadi magnet bagi para penambang emas. Potensi emas telah terdeteksi di beberapa area, termasuk Lore Utara dan Lore Peore. Lokasi yang paling dikenal luas karena aktivitas tambang rakyatnya adalah wilayah Dongi-dongi di Kecamatan Lore Utara. Meskipun telah berulang kali ditutup sejak tahun 2016, aktivitas penambangan liar di kawasan ini dilaporkan masih terus berlangsung hingga kini, menunjukkan daya tarik ekonominya yang kuat.
Tidak hanya emas, kawasan Lore Raya juga menyimpan potensi mineral pendamping lainnya seperti nikel, besi, dan tembaga dalam berbagai skala. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2025 telah menetapkan Kabupaten Poso, termasuk wilayah Lore, sebagai kawasan Warisan Geologi (Geoheritage). Penetapan ini didasarkan pada kandungan mineral bernilai tinggi seperti Granit dan Batuan Beku. Lebih lanjut, keberadaan kandungan mineral seperti magnesium dan bikarbonat di titik mata air panas di sekitar Lore mengindikasikan potensi energi panas bumi yang signifikan, menambah daftar kekayaan sumber daya alam di wilayah ini.

















