Insiden pengibaran bendera bulan bintang oleh sekelompok masyarakat di Lhokseumawe, Aceh, pada Kamis siang, 25 Desember 2025, telah memicu perhatian. Tindakan ini, yang dilakukan di Desa Meunasah Mee, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, akhirnya dibubarkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama dengan aparat kepolisian.
Menurut keterangan dari Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Kolonel Infanteri Teuku Mustafa Kamal, kelompok tersebut mulai berkumpul sekitar pukul 10.10 WIB. Mereka membawa bendera bulan bintang yang dipasang pada kayu. Puncak aksi terjadi sekitar pukul 10.30 WIB, ketika bendera tersebut dikibarkan dan diayun-ayunkan sembari meneriakkan kata ‘merdeka’ kepada pengguna jalan yang melintas.
Menanggapi situasi tersebut, Komandan Resor Militer 011/Lilawangsa, Kolonel Infanteri Ali Imran, segera berkoordinasi dengan Polres Lhokseumawe. Bersama dengan personel dari Korem dan Kodim 0103/Aceh Utara, mereka mendatangi lokasi kejadian. Setibanya di sana sekitar pukul 11.10 WIB, aparat gabungan berupaya mengimbau massa untuk menghentikan aksi dan menyerahkan bendera. Namun, imbauan tersebut tidak diindahkan oleh kelompok tersebut.
Kronologi Pembubaran dan Penangkapan
Situasi kemudian berkembang menjadi pembubaran oleh aparat. Bendera bulan bintang berhasil diamankan. Dalam proses pemeriksaan yang berlangsung, terjadi adu mulut antara petugas dan massa. Puncak ketegangan terjadi ketika petugas menangkap seorang warga yang kedapatan membawa senjata api.
Kolonel Infanteri Teuku Mustafa Kamal merinci temuan saat pemeriksaan. “Dari salah seorang warga ditemukan satu pucuk senjata api jenis Colt M1911 beserta lima butir amunisi, satu magazen, dan satu senjata tajam,” ungkapnya.
Warga yang membawa senjata api tersebut kemudian diamankan ke Markas Korem 011/Lilawangsa sekitar pukul 11.30 WIB. Ia selanjutnya diserahkan kepada pihak kepolisian untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Sementara itu, sisa kelompok massa lainnya secara berangsur membubarkan diri dan kembali ke kediaman masing-masing sekitar pukul 12.10 WIB.
Dasar Hukum Pelarangan Bendera Bulan Bintang
Kolonel Mustafa Kamal menjelaskan bahwa pengibaran bendera bulan bintang dilarang karena dianggap sebagai simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang merupakan gerakan separatis dan menentang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelarangan ini didasarkan pada beberapa landasan hukum yang kuat, antara lain:
- Pasal 106 dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Pasal-pasal ini mengatur tentang tindak pidana makar atau upaya menggulingkan pemerintahan yang sah.
- Pasal 24 huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara: Undang-undang ini secara spesifik mengatur penggunaan lambang negara dan bendera, serta melarang penggunaan simbol yang dapat menimbulkan kesan perlawanan terhadap negara.
- Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007: Peraturan ini lebih lanjut menguraikan ketentuan terkait penggunaan bendera dan lambang negara.
Akar Permasalahan dan Perspektif Perdamaian
Munawar Liza Zainal, yang merupakan anggota tim perunding GAM dalam Perjanjian Helsinki, memberikan perspektif mengenai fenomena ini. Ia menegaskan bahwa GAM tetap berkomitmen penuh terhadap perdamaian yang telah dicapai pada tahun 2005. “Perdamaian itu lahir dari penderitaan panjang dan dijaga hampir dua puluh tahun,” ujar Munawar saat dihubungi pada Ahad, 21 Desember 2025.
Namun, Munawar juga mengingatkan bahwa perdamaian tersebut mengandung sebuah kesepakatan fundamental: negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan melayani rakyat Aceh. Kewajiban ini, menurutnya, seharusnya tercermin dalam empati yang pernah ditunjukkan oleh pemerintah pusat, terutama saat bencana tsunami melanda Aceh pada tahun 2004-2005.
Dalam pandangannya, penanganan banjir besar yang melanda Aceh pada tahun 2025 justru menunjukkan adanya kemunduran dalam sikap negara. Pernyataan awal dari beberapa pejabat pusat yang terkesan meremehkan skala bencana, keterlambatan dalam penyaluran bantuan, serta distribusi bantuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya, telah memicu kekecewaan yang meluas di kalangan masyarakat Aceh. “Aceh tidak meminta konflik, Aceh meminta keadilan dan kehadiran negara,” tegas Munawar.
Oleh karena itu, Munawar berpendapat bahwa menguatnya kembali simbol dan romantisme Aceh merdeka di ruang publik lebih merupakan ekspresi dari luka kolektif dan ingatan sejarah yang mendalam, bukan sebagai indikasi ancaman terhadap perdamaian yang telah terjalin. Hal ini mencerminkan kerinduan masyarakat terhadap rasa keadilan dan pengakuan atas penderitaan yang pernah dialami, serta harapan akan kehadiran negara yang lebih responsif dan peduli terhadap kebutuhan mereka.

















