Demokrasi dan HAM di Indonesia: Tantangan Mendasar yang Perlu Diatasi
Kualitas demokrasi dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia masih menghadapi persoalan mendasar yang memerlukan perhatian serius. Hal ini terungkap dari laporan Indeks HAM 2025 yang dirilis oleh SETARA Institute. Laporan tersebut menyoroti skor terendah pada indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang hanya mencapai angka 1,0 dari skala 1 hingga 7.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Marinus Gea, secara tegas menyatakan keprihatinannya terhadap temuan ini. Menurutnya, skor rendah tersebut merupakan cerminan dari berbagai masalah yang masih menghantui ruang demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.
Akar Masalah Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Marinus Gea merinci beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap rendahnya skor kebebasan berekspresi dan berpendapat:
- Tindakan Represif Aparat: Marinus menyoroti adanya tindakan represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tindakan ini dapat berupa intimidasi, pembatasan, atau bahkan kekerasan terhadap individu atau kelompok yang menggunakan hak mereka untuk bersuara.
- Kekerasan terhadap Jurnalis: Kebebasan pers merupakan pilar penting demokrasi. Namun, data menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 82 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2025, sebuah peningkatan signifikan dari 73 kasus di tahun sebelumnya. Kekerasan ini tidak hanya mengancam keselamatan para pekerja media, tetapi juga menghambat penyampaian informasi yang objektif kepada publik.
- Kriminalisasi melalui UU ITE: Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap kali disalahgunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi kritis. Marinus merujuk pada catatan Amnesty International yang mencatat 710 kasus kriminalisasi ujaran kebencian dan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE sejak tahun 2018 hingga 2025. Hal ini menciptakan iklim ketakutan dan kehati-hatian yang berlebihan di kalangan masyarakat dalam menyampaikan pendapat secara daring.
- Pembatasan Kegiatan Akademik dan Ruang Sipil: Selain isu kebebasan berekspresi secara langsung, Marinus juga mengkhawatirkan adanya pembatasan terhadap kegiatan akademik. Pembatalan kegiatan ilmiah, seminar, hingga intimidasi terhadap akademisi dan seniman turut mempersempit ruang gerak masyarakat sipil untuk berdiskusi, berkreasi, dan menyampaikan gagasan.
Peringatan Keras bagi Pemerintah
Politikus PDIP dari Komisi III DPR RI ini menegaskan bahwa skor rendah yang dicapai dalam Indeks HAM 2025 merupakan sebuah peringatan keras bagi pemerintah. “Kami memandang bahwa skor rendah ini sebagai tanda keras buruknya perlindungan HAM bagi warga,” ujar Marinus Gea.
Ia menekankan bahwa tugas utama pemerintah adalah memastikan bahwa setiap warga negara dapat menjalankan hak-hak fundamentalnya, termasuk hak untuk menyampaikan pendapat, tanpa dibayangi rasa takut. “Kita mau semua warga negara tidak dibayang-bayangi ketakutan saat menjalankan hak asasinya. Skor ini nyaris mentok di angka paling bawah. Lalu apakah kita bisa bilang HAM di Indonesia baik-baik saja? Ini tugas pemerintah menjaga hak warganya, dan hal itu terus kami ingatkan melalui Kementerian HAM,” tegasnya.
Rekomendasi Langkah Konkret untuk Memperkuat Kebebasan Sipil
Menghadapi tantangan ini, Marinus Gea mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah tegas dan terstruktur demi memperkuat kebebasan sipil di Indonesia. Beberapa rekomendasi kunci yang ia sampaikan meliputi:
- Pembenahan Tata Kelola Penggunaan UU ITE: Penting untuk memastikan bahwa UU ITE tidak disalahgunakan sebagai alat untuk membungkam kritik atau perbedaan pendapat. Perlu ada kajian mendalam dan panduan yang jelas mengenai penerapan pasal-pasal dalam UU ITE agar lebih berkeadilan dan tidak menimbulkan efek gentar yang berlebihan.
- Evaluasi Penanganan Aksi Massa: Cara aparat dalam menangani aksi massa juga perlu dievaluasi secara kritis. Tindakan represif atau penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam pembubaran aksi massa dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap negara dan berkontribusi pada skor rendah HAM.
- Menjamin Kebebasan Berekspresi: Negara memiliki kewajiban fundamental untuk menjamin kebebasan berekspresi bagi seluruh warganya. Ini berarti menciptakan lingkungan yang kondusif bagi diskusi publik, menghormati perbedaan pendapat, dan melindungi hak individu untuk menyuarakan pandangan mereka.
“Perlunya negara menjamin kebebasan berekspresi, membenahi penggunaan UU ITE agar tidak jadi alat membungkam kritik, serta mengevaluasi tindakan aparat dalam menangani aksi massa yang dinilai turut menurunkan skor HAM,” pungkas Marinus Gea, menekankan urgensi tindakan kolektif untuk memperbaiki kondisi HAM dan demokrasi di Indonesia.

















