Dinamika Atmosfer Indonesia Menjadi Sangat Aktif: Rangkaian Fenomena Cuaca Ekstrem dalam Sebulan Terakhir
Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, Benua Maritim Indonesia (BMI) telah menyaksikan serangkaian fenomena atmosfer yang luar biasa tidak biasa. Setelah kemunculan Siklon Tropis Senyar yang unik karena terbentuk di lintang rendah dan kanal sempit Selat Malaka, kini Samudra Hindia menjadi lokasi perkembangan Siklon Tropis Bakung. Fenomena ini semakin diperparah dengan adanya dua area tekanan rendah lain yang terpantau: bibit siklon 92S di barat daya Padang, dan 93S di selatan Jawa hingga Bali, serta Nusa Tenggara.
Runtutan kemunculan sistem tropis ini secara gamblang menunjukkan bahwa atmosfer Indonesia saat ini tengah berada dalam fase yang sangat aktif dan mengalami ketidakstabilan atmosferik yang kuat. Secara klimatologis, Indonesia memang terletak di wilayah yang pengaruh gaya Coriolis-nya lemah. Gaya Coriolis ini penting untuk menghasilkan defleksi angin yang memicu pembentukan siklon tropis. Oleh karena itu, Indonesia secara umum bukanlah lokasi yang ideal untuk pembentukan siklon tropis. Namun, kondisi atmosfer pada periode ini membuktikan bahwa sejumlah prasyarat fisika yang mendukung pembentukan sistem cuaca ekstrem bekerja secara simultan dan intens.
Faktor-faktor Pemicu Kondisi Atmosfer Ekstrem
Beberapa faktor kunci berkontribusi pada kondisi atmosfer yang sangat aktif dan labil ini:
- Suhu Muka Laut yang Hangat: Pemanasan muka laut di perairan Indonesia dan Samudra Hindia telah mencapai tingkat yang signifikan. Suhu yang lebih hangat ini meningkatkan laju penguapan, yang pada gilirannya menyebabkan kandungan uap air di atmosfer menjadi sangat tinggi. Suplai uap air ini diperkuat oleh aliran Monsun Asia yang membawa massa udara yang sangat lembap.
- Total Precipitable Water (TPW) yang Tinggi: Tingkat Total Precipitable Water (TPW) di wilayah BMI dilaporkan mencapai 55–60 kg/m². Angka ini jauh melampaui nilai klimatologis normalnya, menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi pertumbuhan konveksi. Atmosfer yang sangat basah ini tercermin dari penurunan nilai Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang persisten. Nilai OLR yang rendah menandakan dominasi awan konvektif tinggi yang bertahan lama, mengindikasikan bahwa atmosfer tidak sempat kembali stabil di antara episode konveksi. Dalam kondisi seperti ini, hujan lebat tidak hanya memiliki intensitas tinggi, tetapi juga cenderung meluas dan berulang (persistent rainfall).
- Aktivitas Gelombang Atmosfer Skala Besar: Pada skala dinamika yang lebih besar, Madden–Julian Oscillation (MJO) dalam fase basahnya sedang aktif dan diperkuat oleh keberadaan gelombang Kelvin serta gelombang equatorial Rossby. Interaksi antara gelombang-gelombang atmosfer ini menciptakan penguatan konveksi secara multi-skala, yang meningkatkan gerakan udara naik dan konvergensi.
- Wind Shear Vertikal yang Rendah: Di perairan selatan Indonesia, kondisi wind shear vertikal (perbedaan kecepatan dan arah angin pada ketinggian yang berbeda, diukur antara 200 hPa dan 850 hPa) relatif rendah. Kondisi wind shear yang rendah ini membuka jendela kesempatan yang kondusif untuk mempertahankan struktur pusaran (vortex) atmosferik yang kuat.
- Peran Krusial Monsun Barat (Asia): Monsun Barat (Asia) memainkan peran yang sangat krusial sebagai faktor regional. Aliran udara lembap yang dibawa oleh Monsun dari Samudra Hindia, ketika berinteraksi dengan topografi kepulauan Indonesia, mengalami proses channeling. Proses channeling ini terjadi ketika aliran udara dipaksa melalui celah-celah laut yang sempit. Mekanisme ini tidak hanya memusatkan aliran udara, tetapi juga meningkatkan konvergensi dan memperkuat rotasi awal sistem cuaca.
Kasus Siklon Senyar dan Konfigurasi Tidak Lazim
Dalam kasus Siklon Tropis Senyar, kombinasi antara monsun yang kuat, ketersediaan uap air yang melimpah, dan dukungan dari gelombang tropis mampu menghasilkan vortisitas absolut pada lapisan 850–700 hPa yang signifikan, yaitu sekitar 4–6 × 10⁻⁵ s⁻¹. Angin yang bertiup mencapai kecepatan 70–80 km/jam dengan tekanan pusat berkisar antara 998–1000 mb. Keberadaan siklon tropis di lintang rendah seperti ini, apalagi di lingkungan yang secara klimatologis dianggap tidak ideal, merupakan kejadian yang patut dicatat.
Fenomena runtutan sistem tropis seperti yang terjadi saat ini sebenarnya pernah tercatat dalam sejarah, meskipun sangat jarang terjadi. Kejadian serupa hampir selalu terkait dengan fase atmosfer yang sangat aktif. Contohnya adalah pada Desember 2007, akhir 2017–awal 2018 (dengan munculnya Siklon Cempaka dan Dahlia), serta awal 2021 (Siklon Seroja).
Namun, yang membuat periode sekarang sangat berbeda adalah kemunculan dua siklon tropis dan dua bibit siklon dalam rentang waktu yang sangat berdekatan, yaitu kurang dari satu bulan. Konfigurasi seperti ini merupakan suatu kejadian yang tidak sering terjadi di wilayah Indonesia.
Perubahan Iklim sebagai Faktor Peningkat Intensitas
Dalam konteks jangka panjang, perubahan iklim turut berperan sebagai faktor yang meningkatkan energi bagi sistem cuaca. Pemanasan laut global dan peningkatan kapasitas atmosfer untuk menampung uap air adalah dua dampak utama perubahan iklim yang relevan. Perubahan iklim tidak secara langsung menciptakan siklon tropis, namun ia memperbesar intensitas dan efisiensi proses atmosferik ketika kondisi dinamis yang mendukung telah terpenuhi.
Dengan demikian, rangkaian kemunculan Siklon Senyar hingga Siklon Bakung bukanlah peristiwa yang terpisah satu sama lain. Fenomena ini merupakan cerminan dari fase atmosfer yang sedang sangat aktif dan berada dalam kondisi yang dinamis. Memahami dinamika atmosfer ini secara ilmiah menjadi sangat penting. Hal ini tidak hanya krusial untuk kepentingan akademis, tetapi juga menjadi dasar yang kuat untuk membangun kewaspadaan dini dan strategi mitigasi risiko hidrometeorologis yang lebih efektif di seluruh wilayah Indonesia.

















