Bangkit dari Abu: Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi Pasca-Erupsi Lewotobi Laki-laki
Larantuka, Flores Timur – Di tengah puing-puing kehancuran dan ketidakpastian pasca-erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, semangat juang para penyintas terus membara. Di Hotel Sunrise, Larantuka, pada tanggal 16 Desember 2025, sebuah forum penting diselenggarakan. Lima orang penyintas, yang kini menjadi garda terdepan dalam upaya pemulihan, berbagi kisah inspiratif tentang ketahanan pangan dan kebangkitan ekonomi di tengah situasi yang sulit.
Forum yang dinamai Lokakarya Program Correct ini merupakan inisiatif kolaboratif antara Yayasan Catholic Relief Services (CRS) dan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS). Kedua organisasi kemanusiaan ini telah menunjukkan komitmen mendalam dalam mendampingi lima desa yang paling terdampak oleh bencana. Tujuannya jelas: membantu para penyintas tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga membangun kembali kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Pertanian Cerdas Iklim: Solusi Inovatif untuk Ketahanan Pangan
Salah satu pilar utama dalam upaya pemulihan yang dipaparkan oleh para penyintas adalah penerapan konsep pertanian cerdas iklim. Melalui pengembangan lahan percontohan atau demplot hortikultura, para penyintas diajak untuk menanam berbagai jenis sayuran yang tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi mereka, tetapi juga menjadi sumber pendapatan.
Robertus Kage, Ketua Kelompok Siaga Bencana (KSB) dari Desa Nobo, menceritakan bagaimana demplot yang dikelolanya telah memberikan dampak signifikan. “Ada dua lahan demplot yang kami tanami tanaman hortikultura. Hasilnya sangat memuaskan dan semuanya terserap habis oleh para penghuni Hunian Sementara (Huntara),” ungkap Robertus.
Ia menambahkan bahwa para penyintas di Huntara merasa bosan jika hanya mengonsumsi makanan yang monoton. “Mereka bilang kalau sayurannya hanya satu jenis, mereka bosan. Tapi sekarang, dengan hasil dari demplot ini, mereka bisa menikmati berbagai macam sayuran sesuai selera, tidak hanya terong, tetapi banyak varietas lain. Kami juga menjualnya langsung di pengungsian Huntara,” jelasnya.
Lebih jauh, Robertus menekankan dampak ekonomi yang dirasakan. “Tanpa disadari, sekali panen dan terjual, bisa menghasilkan Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu. Perputaran uang di Huntara menjadi lebih lancar, ekonomi pun semakin hidup,” ujarnya bangga. Pendekatan ini tidak hanya memastikan ketersediaan pangan yang beragam, tetapi juga menciptakan roda perekonomian baru di tengah komunitas pengungsian.
Simpan Pinjam Masyarakat: Jaring Pengaman Ekonomi yang Krusial
Selain pertanian, inovasi lain yang sangat membantu para penyintas adalah kehadiran Sistem Layanan Informasi dan Konsultasi (SLIC) atau yang lebih dikenal sebagai wadah simpan pinjam masyarakat. Mekanisme ini menjadi penyelamat bagi banyak keluarga yang membutuhkan modal tambahan untuk usaha atau kebutuhan mendesak, terutama ketika akses ke lembaga keuangan formal terhambat akibat status bencana.
Linda Namang, Ketua KSB Desa Hokeng Jaya, berbagi pengalamannya yang terbantu oleh SLIC. “Ketahanan keluarga kami sebagai penyintas sangat terbantu dengan adanya SLIC ini,” katanya. Berkat pinjaman dari SLIC, Linda berhasil memulai usaha kue cucur yang kini menjadi penopang hidup keluarganya, terutama untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
“Sangat terbantu, terlebih saat kami harus pindah ke Huntara. Kami perlu memperbaiki fasilitas yang kurang di sana, seperti membeli semen dan biaya transportasi pasir, serta membayar tenaga kerja. Kami tidak bisa meminjam ke koperasi atau bank karena kami masih dalam situasi bencana,” tuturnya. SLIC menjadi solusi cepat dan tepat bagi mereka yang membutuhkan likuiditas untuk mengatasi berbagai kebutuhan pasca-bencana.
Apresiasi Pemerintah dan Harapan ke Depan
Upaya kolaboratif antara CRS, YPPS, dan para penyintas ini tidak luput dari perhatian Pemerintah Kabupaten Flores Timur. Adrianus Lamabelawa, Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan, yang hadir mewakili Bupati Anton Doni Dihen, memberikan apresiasi mendalam atas peran aktif kedua yayasan tersebut.
“Kehadiran, partisipasi, dan dukungan yang sungguh nyata di lima desa binaan kami, yaitu Desa Boru, Hokeng Jaya, Dulipali, Nobo, dan Konga, patut diapresiasi. Ini menunjukkan sinergi yang baik antara pemerintah, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat dalam menghadapi bencana,” ujar Adrianus.
Helmi Hanit, Program Manager PAR IV Correct Program CRS Indonesia, mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sebanyak 13 kelompok simpan pinjam telah terbentuk di kalangan penyintas erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, dengan total dana bergulir sekitar Rp 200 juta. Dana ini telah dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai keperluan, mulai dari pendidikan, modal usaha, hingga peningkatan pendapatan rumah tangga.
“Kami berharap Pemerintah Daerah Flores Timur dapat terus memberikan masukan terkait sinkronisasi program kerja dan prioritas pembangunan di wilayah terdampak bencana, agar upaya pemulihan ini semakin terarah dan efektif,” tambah Helmi.
Kisah para penyintas Gunung Lewotobi Laki-laki ini menjadi bukti nyata bahwa semangat pantang menyerah, inovasi, dan kolaborasi dapat menjadi kekuatan luar biasa dalam menghadapi tantangan terberat sekalipun. Dari abu vulkanik, harapan untuk masa depan yang lebih baik terus tumbuh.
















