Sinterklas di Nusantara: Kisah Tradisi yang Pernah Hidup dan Hilang
Di luar perayaan Natal yang kita kenal pada 24-25 Desember, tahukah Anda bahwa masyarakat Indonesia di masa lalu pernah merayakan sebuah tradisi meriah lainnya? Perayaan tersebut adalah Hari Sinterklas, yang jatuh setiap tanggal 5 Desember. Ini bukan sekadar dongeng atau cerita turun-temurun, melainkan sebuah praktik budaya nyata yang pernah hidup dan dirayakan di Indonesia, terutama pada era kolonial hingga awal kemerdekaan negeri ini.
Hari Sinterklas merupakan peninggalan budaya dari Belanda. Selama berabad-abad, masyarakat Belanda merayakan pesta ini sebagai momen penuh kebahagiaan dan pemberian hadiah, khususnya bagi anak-anak. Dalam cerita rakyat Belanda, Sinterklas digambarkan tiba dengan kapal uap bersama asistennya yang dikenal sebagai Zwarte Piet (Piet Hitam). Setibanya di Belanda, Sinterklas akan masuk ke rumah-rumah melalui cerobong asap untuk membagikan hadiah kepada anak-anak yang berbuat baik.
Tradisi yang kaya akan simbolisme ini turut dibawa ke Indonesia seiring dengan penjajahan Belanda atas Nusantara. Di Hindia Belanda, perayaan ini kemudian dijalankan oleh orang-orang Belanda, keturunan Indo-Belanda, serta sebagian umat Kristiani yang ada di sana.
Adaptasi Unik: Sepatu, Rumput, dan Jendela Rumah
Namun, kondisi geografis dan arsitektur rumah di Indonesia tentu saja berbeda dengan di Belanda. Tidak semua rumah memiliki cerobong asap yang menjadi ciri khas Sinterklas. Oleh karena itu, tradisi ini mengalami penyesuaian yang menarik. Anak-anak di Indonesia yang ingin menerima hadiah dari Sinterklas akan menaruh sepatu mereka di bawah jendela rumah. Di dalam sepatu tersebut, mereka akan meletakkan rumput sebagai bekal perjalanan bagi kuda Sinterklas, sebagai tanda agar Sinterklas dapat meletakkan hadiah di sana pada malam hari.
Setiap tanggal 5 Desember, perayaan Hari Sinterklas berlangsung dengan meriah di kalangan komunitas Belanda dan Indo-Belanda. Pesta keluarga, nyanyian riang, bahkan arak-arakan seringkali mewarnai perayaan ini. Menariknya, tradisi ini tidak langsung lenyap begitu saja setelah Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945.
Faktanya, perayaan Hari Sinterklas masih dapat bertahan hingga dekade 1950-an. Tradisi ini menjadi bagian dari rutinitas tahunan yang dinantikan oleh kelompok masyarakat tertentu di Indonesia, menandakan betapa kuatnya tradisi ini tertanam di kalangan mereka.
Kenangan Anak-anak dan Jejak Sejarah
Kesan mendalam tentang Hari Sinterklas tergambar jelas dalam berbagai kesaksian sejarah. Dalam biografi berjudul Tumbal Revolusi yang ditulis oleh Amelia Yani pada tahun 1988, putri dari Jenderal Achmad Yani ini mengenang Hari Sinterklas sebagai momen yang paling dinantikan oleh anak-anak pada masanya.
“Kami percaya Sinterklas akan datang tengah malam dan mengirim banyak hadiah,” tulis Amelia, menggambarkan betapa tradisi ini benar-benar hidup dalam imajinasi dan kebahagiaan anak-anak di Indonesia kala itu.
Kesaksian ini menegaskan bahwa Hari Sinterklas bukan hanya sekadar perayaan orang dewasa, melainkan telah meresap ke dalam dunia anak-anak, menjadi sumber kegembiraan dan impian yang mereka nantikan setiap tahunnya. Namun, kegembiraan yang dirasakan anak-anak ini harus berakhir secara tiba-tiba pada tahun 1957.
Irian Barat, PBB, dan Gelombang Sentimen Anti-Belanda
Perubahan drastis dalam nasib Hari Sinterklas di Indonesia terkait erat dengan memburuknya hubungan antara Indonesia dan Belanda. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam karyanya Sejarah Indonesia Modern (1999) mencatat bahwa ketegangan ini dipicu oleh kegagalan diplomasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait status Irian Barat, yang pada saat itu belum sepenuhnya menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Keputusan PBB yang tidak menguntungkan Indonesia ini memicu kemarahan besar Presiden Soekarno dan memicu gelombang sentimen anti-Belanda yang semakin menguat di dalam negeri. Hanya dua hari setelah PBB mengeluarkan keputusan tersebut, Kabinet Djuanda mulai membahas langkah-langkah balasan yang tegas terhadap Belanda.
Langkah-langkah pemerintah Indonesia pada saat itu meliputi:
- Pencabutan hak pendaratan bagi pesawat maskapai penerbangan Belanda di wilayah Indonesia.
- Pelarangan peredaran surat kabar dan film-film yang berasal dari Belanda.
- Memberikan kesempatan kepada serikat buruh untuk mengambil alih kepemilikan perusahaan-perusahaan yang sebelumnya dimiliki oleh Belanda, yang dimulai pada 3 Desember 1957.
5 Desember 1957: Hari Sinterklas yang Berubah Menjadi “Sinterklas Hitam”
Puncak ketegangan antara kedua negara terjadi pada tanggal 5 Desember 1957. Tanggal ini memiliki makna simbolis yang kuat karena bertepatan dengan Hari Sinterklas, hari yang seharusnya penuh kegembiraan. Namun, pada hari itu, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah melalui Departemen Kehakiman untuk mengusir sekitar 46.000 warga Belanda yang masih menetap di Indonesia.
Tanggal yang biasanya diisi dengan pertukaran hadiah, nyanyian, dan tawa anak-anak, kini berubah menjadi hari yang dipenuhi kepanikan, kesedihan, dan perpisahan yang mendadak. Peristiwa bersejarah ini kemudian dikenang dengan sebutan “Sinterklas Hitam,” sebuah ironi yang mendalam.
Dalam situasi yang semakin menekan dan memburuk ini, banyak warga Belanda yang berada di Indonesia terpaksa bertindak cepat. Mereka berbondong-bondong mencairkan tabungan mereka, membeli tiket pesawat dengan harga yang mungkin melambung tinggi, atau berebut tempat di kapal laut untuk segera meninggalkan Indonesia demi keselamatan dan masa depan mereka.
Punahnya Sebuah Tradisi yang Berharga
Seiring dengan eksodus besar-besaran warga Belanda dari Indonesia, perayaan Hari Sinterklas yang identik dengan kemunculan Sinterklas dan Zwarte Piet, yang dirayakan setiap 5 Desember, perlahan namun pasti mulai menghilang dari lanskap sosial masyarakat Indonesia.
Tanpa komunitas pendukungnya yang kuat dan tanpa adanya generasi baru yang meneruskan tradisi tersebut dalam konteks yang sama, perayaan Hari Sinterklas akhirnya benar-benar punah dan tidak pernah kembali hingga hari ini.
Kini, Hari Sinterklas di Indonesia hanya tinggal menjadi sebuah catatan sejarah, sebuah kisah tentang tradisi yang pernah hidup, pernah dirayakan dengan penuh antusiasme, namun akhirnya hilang ditelan oleh pergolakan politik dan dinamika sejarah nasional yang kompleks.

















