Kebijakan Baru Formula Pengupahan 2026: Ancaman bagi Industri Padat Karya dan Pekerja Sektor Tekstil
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyuarakan keprihatinan mendalam terkait aturan baru formula pengupahan yang akan berlaku mulai tahun depan. Kebijakan ini dipandang sebagai potensi ancaman serius, tidak hanya bagi para pengusaha di sektor padat karya, khususnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT), tetapi juga bagi para pekerjanya sendiri.
Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa, menyoroti bahwa perubahan formulasi pengupahan ini justru akan menciptakan ketidakpastian yang lebih besar dalam dunia usaha. Hal ini, menurutnya, akan memicu keraguan di kalangan investor, baik untuk ekspansi usaha industri yang sudah ada maupun untuk mendatangkan investor baru. “Saya pikir dengan adanya ini [aturan formulasi upah baru 2026] mereka [investor] akan mikir dua kali,” tegas Jemmy dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan di Kantor API Jakarta pada Senin, 22 Desember 2025.
Langkah Mundur yang Meragukan Kepastian Hukum dan Bisnis
Jemmy menilai bahwa kebijakan baru yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 ini merupakan sebuah langkah mundur. Kebijakan ini dikhawatirkan akan semakin meragukan kepastian hukum dan kepastian berusaha di Indonesia. Padahal, menurut Jemmy, beberapa investor asing telah menunjukkan minat untuk menanamkan modal di Indonesia pada tahun mendatang. API mengkhawatirkan perubahan regulasi upah minimum ini justru akan membuat para investor tersebut mengurungkan niatnya dan beralih ke negara lain.
Dampak negatif kebijakan ini tidak berhenti pada terhambatnya ekspansi usaha. Industri TPT yang saat ini masih berjuang untuk bertahan diproyeksikan akan semakin tertekan. Beban upah yang tinggi akibat formula baru ini diperkirakan akan menyulitkan industri tersebut untuk menghasilkan keuntungan yang memadai.
Formula Baru Pengupahan: Kenaikan Alfa yang Signifikan
Sebagai informasi, PP Nomor 49 Tahun 2025 memperkenalkan formula baru dalam penetapan upah minimum. Formula tersebut adalah: inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alfa). Yang menjadi sorotan adalah rentang nilai alfa yang kini berada di angka 0,5 hingga 0,9. Sebelumnya, rentang alfa berkisar antara 0,1 hingga 0,3. Kenaikan nilai alfa yang signifikan ini menjadi kekhawatiran utama karena akan berimplikasi pada kenaikan upah minimum yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Kapasitas Terpasang Industri Menurun Drastis
Direktur Eksekutif API, Danang Girindrawardana, menambahkan bahwa kondisi industri tekstil saat ini memang sedang tidak menguntungkan. Ia mengungkapkan bahwa kapasitas terpasang industri tekstil hanya mencapai 40% pada kuartal ketiga tahun ini. Angka ini jauh menurun jika dibandingkan dengan kuartal I/2023 yang masih dapat bertahan di level 60%.
Penurunan kapasitas ini, lanjut Danang, juga berbanding lurus dengan hilangnya lapangan pekerjaan. “Sejak Covid-19 sampai sekarang industri tekstil kan sudah kehilangan angka kurang lebih 140.000 pekerja di
upstream
[hulu], ini belum dihitung yang di garmen, total 250.000 an,” jelasnya.
Kebijakan Pengupahan yang Sensitif dan Berdampak
Danang menekankan bahwa kebijakan pengupahan merupakan aspek yang sangat sensitif bagi industri padat karya seperti tekstil. Ia mencontohkan kejadian pada akhir tahun 2024, ketika pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 naik sebesar 6,5%. Kenaikan tersebut ternyata memicu penutupan sejumlah pabrik di industri tekstil.
Beberapa pabrik yang terpaksa menghentikan operasinya antara lain:
- Asia Pacific Fibers
- Polychem Indonesia
- Sulindafin
- Rayon Utama Makmur
Meskipun Danang mengakui bahwa penutupan pabrik-pabrik tersebut didasari oleh berbagai faktor, namun kenaikan upah menjadi salah satu pemicunya yang signifikan.
“Saat ini sedang ada proses salah satu rekan kita yang sedang berproses tutup di Jawa Tengah, intinya beberapa industri TPT dan garmen sedang mengalami situasi yang tidak sehat, apalagi dengan pengupahan di atas 6,5%,” pungkasnya. Situasi ini semakin diperparah dengan adanya formula baru yang berpotensi menaikkan upah minimum secara lebih drastis di tahun-tahun mendatang, menimbulkan kekhawatiran akan gelombang penutupan pabrik dan hilangnya lebih banyak lagi lapangan kerja.

















