Garam Gunung Krayan: Warisan Tradisional dari Dataran Tinggi Nunukan
Di tengah keindahan alam dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, tersembunyi sebuah permata kuliner dan budaya yang unik: Garam Gunung Krayan. Berbeda dengan garam pada umumnya yang berasal dari air laut, garam ini diproduksi secara tradisional dari mata air asin alami yang hanya ditemukan di Desa Long Midang. Proses produksinya yang mengandalkan metode warisan leluhur, tanpa sentuhan mesin modern, menghasilkan garam khas berwarna abu-abu dengan cita rasa istimewa dan nilai budaya yang tinggi. Meskipun produksinya terbatas, Garam Krayan memiliki permintaan yang melampaui batas wilayah, menjadi sumber ekonomi sekaligus identitas bagi masyarakat perbatasan.
Rumah Kayu Tua: Jantung Produksi Garam Krayan
Di Desa Long Midang, sebuah rumah kayu sederhana yang telah berdiri puluhan tahun menjadi pusat dari seluruh proses produksi Garam Gunung Krayan. Bangunan ini bukanlah pabrik modern, melainkan sebuah dapur tradisional yang setia mempertahankan metode pengolahan warisan nenek moyang. Di dalamnya, terdapat dua dapur produksi yang masing-masing terhubung dengan dua sumur tua. Sumur-sumur inilah yang menjadi elemen paling krusial, menyediakan bahan baku utama berupa air asin alami yang hingga kini tidak ditemukan sumber serupa di wilayah sekitarnya.
Suasana di dalam rumah produksi ini jauh dari hiruk pikuk mesin. Yang terdengar hanyalah suara api kayu bakar yang berderak, bunyi tungku dari drum bekas yang memanas, dan gemericik air asin yang perlahan mendidih. Tiga orang pekerja, yang dikenal dengan sebutan Maba Tusuk—istilah lokal untuk pengolah garam tradisional—dengan penuh kesabaran mengaduk air asin di dalam wadah besi berbentuk persegi panjang.
Proses Panjang Penuh Kesabaran: Dari Air Asin Menjadi Kristal
Pembuatan Garam Gunung Krayan menuntut ketelitian dan kesabaran yang luar biasa. Air asin yang berasal dari mata air pegunungan dipanaskan secara bertahap dengan suhu di atas 100 derajat Celsius, dimulai sejak pagi hingga larut malam. Tidak ada jalan pintas dalam proses ini; setiap tetes air harus melalui tiga tahapan pemanasan yang cermat.
Pertama, air dipanaskan hingga mendidih di bagian awal tungku. Kemudian, cairan tersebut dipindahkan ke bagian tengah tungku untuk pemanasan lebih lanjut. Tahap terakhir adalah pemanasan di ujung tungku, di mana kristal-kristal garam perlahan terbentuk dan mengendap. Metode ini telah dipertahankan nyaris tanpa perubahan selama puluhan tahun, menjadi saksi bisu bagaimana tradisi leluhur tetap hidup di tengah arus modernisasi. Tungku sederhana dari drum bekas, kayu bakar yang diambil dari hutan sekitar, dan tenaga manusia menjadi elemen utama dalam setiap prosesnya.
Dalam sehari, rumah produksi ini hanya mampu menghasilkan sekitar 20 hingga 23 kilogram garam. Jumlah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan permintaan pasar yang terus meningkat dari berbagai daerah.
Dua Sumur Tua: Sumber Berkah yang Dipercaya Penuh Keajaiban
Maylova, seorang anggota Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TPPK) Desa Long Midang, menjelaskan bahwa bahan baku Garam Krayan secara eksklusif berasal dari dua sumur tua yang terletak tepat di belakang rumah produksi. Keunikan kedua sumur ini terletak pada rasa airnya yang asin, sebuah anomali jika dibandingkan dengan mata air lain di sekitarnya yang memiliki rasa tawar. Masyarakat setempat secara turun-temurun mengenal kedua sumur ini sebagai sumur jantan dan sumur betina.
“Aneh tapi nyata. Dari dulu cuma dua sumur ini yang asin. Yang lain tawar semua,” ujar Maylova. Bagi warga Krayan, kedua sumur tersebut bukan sekadar sumber air, melainkan sebuah berkah dari leluhur. Airnya dipercaya memiliki nilai spiritual dan kekuatan magis. Sebagian masyarakat meyakini air dari sumur ini dapat membantu menyembuhkan berbagai penyakit, bahkan menjadi perantara doa bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan atau jodoh. Keajaiban lain yang terus diceritakan turun-temurun adalah ketahanan air sumur yang tidak pernah surut, bahkan di tengah musim kemarau panjang yang melanda wilayah tersebut.
Permintaan Tinggi, Kapasitas Produksi Terbatas
Popularitas Garam Gunung Krayan terus meroket seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya produk alami dan tradisional. Namun, ironisnya, peningkatan permintaan ini tidak dapat diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi. Keterbatasan sumber air asin menjadi kendala utama yang tidak dapat diatasi. Meskipun ada keinginan kuat untuk menambah jumlah pekerja dan memperbesar skala produksi, masyarakat tidak berani melanggar batas alam yang telah diwariskan.
“Maunya kami tambah, tapi sumber airnya cuma dua. Dari dulu memang cuma ini yang asin. Ada sejarahnya,” tutur Maylova. Kendati diproduksi dalam jumlah yang terbatas, Garam Gunung Krayan mampu menghasilkan omzet yang menggiurkan. Dalam sebulan, pendapatan dari penjualan garam ini bisa mencapai Rp30 juta hingga Rp40 juta.
Garam Krayan: Simbol Identitas dan Kebanggaan Lokal
Secara fisik, Garam Krayan memiliki ciri khas yang membedakannya dari garam industri. Warnanya tidak putih bersih, melainkan cenderung abu-abu. Teksturnya lebih halus dan lembut, dengan rasa yang tidak terlalu tajam namun kaya. Di kalangan masyarakat lokal, garam ini dipercaya memiliki manfaat kesehatan yang unik. Sayuran yang dimasak menggunakan Garam Krayan diklaim tidak cepat basi, begitu pula dengan daging, ikan, dan sayuran fermentasi yang dapat bertahan lebih lama.
Garam ini dikenal dengan sebutan Garam Tusuk Abu atau Tusuk Abu Longmida dan dijual dengan harga sekitar Rp50.000 per kilogram. Dengan kemasan yang sederhana, produk ini telah berhasil menembus pasar kota-kota besar di Indonesia, bahkan merambah ke pasar internasional, termasuk Malaysia.
Menariknya, pengelolaan Garam Krayan tidak menganut sistem kepemilikan pribadi. Produksi dilakukan secara bergilir antar keluarga di desa, dan seluruh hasil penjualannya menjadi hak Maba Tusuk yang sedang mendapat giliran untuk memproduksi. Sistem bagi hasil yang adil ini memperkuat rasa kebersamaan dan kepemilikan bersama atas warisan berharga ini.
Tradisi yang Terus Menyala dari Perbatasan
Di tengah keterbatasan geografis dan kesunyian wilayah perbatasan, Garam Gunung Krayan berdiri sebagai bukti nyata bahwa kearifan lokal mampu bertahan dan memberikan kehidupan. Asap tipis yang terus mengepul dari tungku tua di Long Midang bukanlah sekadar tanda aktivitas produksi, melainkan simbol harapan, identitas, dan semangat hidup masyarakat Krayan yang tak pernah padam. Garam ini bukan hanya sekadar bumbu dapur, tetapi juga denyut nadi budaya dan ekonomi yang menghidupkan salah satu sudut terluar Indonesia.

















