Kinerja APBN Hingga Akhir November 2025: Defisit Terkendali di Tengah Dinamika Global
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 30 November 2025 mencatat defisit sebesar Rp 560,3 triliun, setara dengan 2,35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan posisi akhir Oktober 2025. Meskipun demikian, pemerintah menegaskan bahwa kondisi fiskal nasional masih berada dalam batas aman dan terjaga dengan baik, terutama dalam menghadapi ketidakpastian serta dinamika ekonomi global yang terus berkembang.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa tingkat defisit yang tercatat masih jauh di bawah ambang batas maksimal yang telah ditetapkan dalam APBN 2025, yaitu sebesar 2,78 persen dari PDB. Pemerintah berkomitmen untuk memastikan APBN tetap berfungsi secara optimal sebagai instrumen krusial dalam stabilisasi dan perlindungan ekonomi. Upaya ini dilakukan melalui realisasi pendapatan dan belanja negara yang secara strategis diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat, mendukung program-program prioritas nasional, serta memperkuat momentum pemulihan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Defisit APBN 2025: Angka Aman dan Jauh dari Batas Kritis
Para pengamat ekonomi sepakat bahwa defisit APBN sebesar Rp 560,3 triliun masih berada dalam koridor yang aman. Eddy Junarsin, seorang ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), berpendapat bahwa rasio defisit terhadap PDB yang berada di angka 2,35 persen belum menimbulkan risiko serius bagi stabilitas fiskal negara.
“Jika dilihat dari rasionya yang masih 2,35 persen terhadap PDB, itu sebenarnya masih dalam rentang yang aman,” ujar Eddy pada Minggu (21/12/2025).
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam praktik kebijakan makroekonomi, ambang batas defisit yang umum dijadikan acuan adalah 3 persen dari PDB. Dengan demikian, posisi fiskal Indonesia saat ini dinilai masih terkendali dan mampu menghadapi tantangan ekonomi.
Struktur belanja menjadi salah satu faktor utama yang membentuk defisit anggaran ini. Dari total keseluruhan pengeluaran negara, belanja pemerintah pusat menyumbang porsi terbesar, yaitu sekitar 72,69 persen. Sisa anggaran belanja berasal dari transfer ke daerah (TKD). Komposisi ini mengindikasikan bahwa tekanan terhadap defisit lebih banyak berasal dari pengeluaran yang dilakukan di tingkat pemerintah pusat.
Analisis Mendalam: Belanja dan Penerimaan Perlu Sinergi Pembenahan
Lebih jauh, Eddy Junarsin menguraikan bahwa secara fundamental, defisit anggaran dapat disebabkan oleh dua faktor utama: pengeluaran yang cenderung membengkak atau penerimaan negara yang belum mencapai potensi optimalnya. “Kedua sisi ini idealnya harus dibenahi secara bersamaan agar defisit dapat ditekan secara berkelanjutan,” tegasnya.
Strategi Pembenahan Sisi Belanja:
- Peningkatan Efisiensi Anggaran: Eddy menekankan pentingnya peningkatan efisiensi dalam pengelolaan anggaran di setiap kementerian dan lembaga. Fokus utamanya adalah pada pos belanja barang dan belanja modal.
- Keterbatasan Efisiensi: Namun, ia juga mengakui bahwa ruang untuk efisiensi pada belanja pegawai dan bantuan sosial relatif terbatas. Hal ini dikarenakan kedua pos anggaran tersebut memiliki keterkaitan langsung dengan fungsi dasar negara dalam melayani masyarakat serta memberikan perlindungan sosial.
Strategi Pembenahan Sisi Penerimaan:
- Menarik Minat Investor dan Talenta: Dari sisi penerimaan, Eddy menyoroti perlunya pemerintah merumuskan kebijakan yang mampu menjadikan Indonesia lebih atraktif bagi dunia usaha dan talenta berkualitas dari mancanegara.
- Menciptakan Iklim Kondusif: “Pemerintah perlu menciptakan iklim yang kondusif, seperti insentif pajak yang tepat sasaran, kepastian hukum yang kuat, kebebasan berusaha yang terjamin, serta kondisi politik dan budaya yang mendukung,” paparnya.
Menurut Eddy, perbaikan iklim usaha yang berkelanjutan serta peningkatan kepercayaan dari para investor menjadi kunci utama dalam memperkuat basis penerimaan negara. Hal ini juga krusial untuk menjaga keberlanjutan APBN di tengah berbagai tantangan ekonomi global yang senantiasa berubah.

















