Damkar Cimahi: Ketika Petugas Pemadam Kebakaran Menjadi “Orang Tua” Dadakan untuk Pengambilan Rapor
CIMAHI – Pagi yang mendung di SMK Negeri 1 Cimahi pada Senin, 22 Desember 2025, seolah mencerminkan kegelisahan para siswa yang hendak mengambil rapor semester ganjil. Lorong-lorong sekolah dipadati langkah kaki orang tua yang mendampingi anak-anak mereka. Ada yang berjalan penuh keyakinan, ada pula yang tampak sedikit ragu, seolah rapor adalah sebuah cerminan jujur dari segala usaha dan mungkin kelalaian selama satu semester terakhir.
Di tengah keramaian wajah orang tua tersebut, dua sosok berseragam merah menyala menarik perhatian. Banyak pasang mata tertuju pada kedua pria berseragam pemadam kebakaran (Damkar) Kota Cimahi. Mereka hadir bukan dalam rangka menjalankan tugas pemadaman api atau evakuasi, melainkan untuk sebuah misi yang tak kalah penting: mengurus nilai dan masa depan para siswa.
Biasanya, kehadiran petugas berseragam seperti mereka selalu diiringi suara sirene yang memekakkan telinga. Namun kali ini, yang terdengar hanyalah panggilan nama wali kelas yang dipanggil satu per satu dan desau bisik-bisik warga sekolah. Damkar, sebuah institusi yang identik dengan penanganan kebakaran dan penyelamatan satwa liar, mendadak menjelma menjadi perpanjangan tangan para orang tua. Negara hadir dengan atribut lengkap, helm dan sepatu bot, duduk manis menunggu giliran nama yang mereka wakili untuk dipanggil.
Tugas Damkar kini seolah tak lagi sebatas ranah “hitam-putih” seperti memadamkan api. Cakupan tugas mereka meluas, merambah ke area-area yang sebelumnya mungkin tak terbayangkan: mengambil rapor siswa. Dua petugas Damkar tersebut dengan sabar menanti panggilan dari wali kelas. Kali ini, mereka mengambil peran sebagai “orang tua” dadakan bagi dua siswi kelas XI jurusan Sistem Informasi Jaringan dan Aplikasi (SIJA) SMK Negeri 1 Cimahi.
Inisiatif ini muncul bukan atas dasar paksaan, melainkan atas kesediaan tulus untuk membantu, seolah itu memang merupakan bagian dari sumpah profesi yang tak tertulis. Salah satu siswi yang dibantu adalah Roro Delfina Widiantoro. Orang tuanya berhalangan hadir karena kesibukan yang padat, sementara rapor harus segera diambil. Situasi ini sempat membuat Roro dilanda kebingungan.
“Kebetulan orangtua saya lagi ada kesibukan, saudara yang lain juga sama. Nah saya bingung mau minta tolong siapa, soalnya kan waktu kelas X itu ambil rapor sendiri,” ujar Roro saat ditemui pada hari yang sama.
Kebingungan tersebut kemudian menemukan solusi melalui jalur yang tak terduga. Melalui media sosial, dengan segala keajaibannya, muncul sebuah ide yang terbilang tidak lazim. Roro dan temannya menonton sebuah video yang menampilkan aksi Damkar di daerah lain yang bersedia membantu mengambilkan rapor siswa. Dari layar ponsel itulah, lahir sebuah ide yang awalnya terdengar nekat, namun ternyata memiliki dasar yang kuat.
“Setelah nonton video di TikTok itu, akhirnya saya sama teman cari informasi nomor telepon damkar. Sempat kirim DM juga di Instagramnya, ternyata dibalas,” tutur Roro, menceritakan proses awal permintaannya.
Di era ketika banyak pesan sering kali terabaikan dan layanan publik terkadang terasa berbelit-belit, balasan cepat dari Damkar terasa seperti sebuah oasis di tengah padang pasir. Roro bahkan sempat mempertimbangkan opsi lain, seperti meminta bantuan dari layanan ojek online. Namun, ia akhirnya memilih Damkar bukan karena faktor tarif, melainkan karena responsivitas mereka.
“Alhamdulillah bisa diambilkan sama Damkar, soalnya sebelum minta tolong Damkar itu saya sempat kepikiran mau minta tolong Ojol. Tapi akhirnya memilih ke Damkar saja, soalnya direspons cepat,” jelas Roro.
Respons cepat tersebut kemudian diterjemahkan menjadi tindakan nyata. Komandan regu Damkar Cimahi sigap menerjunkan dua personel yang lengkap dengan seragam dinas. Kedatangan mereka bukan untuk menunjukkan simbol otoritas, melainkan sebagai jawaban konkret atas sebuah permintaan sederhana dari seorang pelajar.
Bagi petugas Damkar Cimahi, peristiwa ini bukanlah kejadian yang pertama kali terjadi. Ghufron, salah satu personel yang bertugas pada hari itu, mengungkapkan bahwa permintaan serupa telah datang silih berganti selama periode pengambilan rapor semester ganjil.
“Kalau enggak salah sebelumnya sudah ada 5 orang, sekarang ditambah 2 orang. Ya selama bisa dibantu, kami pasti membantu,” ujar Ghufron.
Namun, pelayanan istimewa ini tetap memiliki mekanisme tersendiri. Damkar tidak serta-merta bertindak sebagai “jasa titip rapor” instan. Ada proses verifikasi yang dilakukan untuk memastikan keabsahan permintaan.
“Kita pasti hubungi dulu orangtuanya, terus tanya betul atau enggak, mereka tidak bisa hadir ke sekolah. Kita antisipasi kalau permintaan tolong dari anak itu karena anaknya bermasalah atau ada masalah sama orangtuanya. Kalau sudah aman, baru kita bersedia membantu,” jelas Ghufron lebih lanjut.
Pada titik inilah, kisah tentang Damkar yang mengambil rapor siswa menjadi lebih dari sekadar sebuah cerita unik. Ia adalah sebuah potret kecil tentang bagaimana negara, melalui aparaturnya, terkadang bersedia untuk sedikit “merepotkan diri” demi kemanusiaan. Ini adalah kisah tentang aparat yang tidak alergi terhadap hal-hal kecil, dan tentang warga yang mampu menemukan celah-celah kemanusiaan di tengah sistem yang seringkali terasa kaku.
Di lorong sekolah yang ramai itu, kedua petugas Damkar berjalan pergi membawa rapor di tangan. Tidak ada suara sirene yang mengiringi, tidak ada tepuk tangan meriah. Hanya ada senyum kecil dari para siswa dan rasa lega yang terukir di wajah mereka, sebuah bukti nyata bahwa kebaikan dapat hadir dalam bentuk yang paling tak terduga.

















