Masalah Royalti yang Terus Berlanjut
Masalah royalti yang terjadi di kalangan pencipta lagu masih menjadi perhatian serius. Tanda-tanda bahwa masalah ini akan segera berakhir tampaknya masih jauh dari kenyataan. Para pencipta lagu mengeluhkan keabsahan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang dinilai tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Sejumlah nama besar seperti Ari Bias, Ryan Kyoto, Ali Akbar, Obbie Messakh, Eko Saky, dan banyak lagi lainnya berkumpul untuk membahas langkah-langkah konkret dalam merespons situasi ini. Pertemuan tersebut berlangsung di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Sabtu (25/10). Dari pertemuan itu, mereka sepakat untuk melakukan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkum) No. 27 Tahun 2025 ke Mahkamah Agung.
Gugatan akan didaftarkan ke Mahkamah Agung pada Senin (27/10) besok. Dalam gugatan tersebut, para pencipta lagu mempertanyakan keabsahan LMKN, yang pembentukannya dinilai bertentangan dengan UU. Menurut Ali Akbar, salah satu tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut, dasar hukum berdirinya LMKN saat ini tidak ada dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Perbedaan antara LMK dan LMKN
Menurut Ali Akbar, sesuai dengan amanat UU, tidak ada ketentuan untuk membuat lembaga baru bernama LMKN seperti sekarang. Yang ada adalah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), yang diamanatkan untuk menarik dana dan mendistribusikan royalti kepada pemilik hak cipta. Untuk menyatukan LMK-LMK, dibuat semacam forum koordinasi satu pintu.
“Tidak ada LMKN yang dibentuk oleh menteri seperti sekarang. Kalaupun harus dibentuk, LMK yang membentuk, bukan menteri,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa lembaga LMKN yang komisionernya saat ini banyak diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan bukan dari kalangan musisi atau pencipta lagu, proses pembentukannya telah melampaui UU. Selain itu, LMKN yang ada sekarang juga dinilai mengkhianati pemberi kuasa.
Pendapat dari Ari Bias
Hal senada juga diungkapkan oleh Ari Bias. Menurut dia, LMKN yang ada sekarang bukan lagi merepresentasikan para pemilik hak cipta, tapi merepresentasikan pemerintah. Parahnya, ketika terjadi permasalahan dan dituntut pertanggungjawaban, LMKN merasa tidak bertanggung jawab kepada para pemilik hak cipta. Padahal, mereka bertindak melakukan penarikan dan pendistribusian royalti atas dasar mandat dari para pemilik hak cipta.
“Mereka bilang kami tidak bertanggung jawab kepada pencipta, kami bertanggung jawab kepada menteri. Mereka tidak mau menyerahkan laporan pertanggungjawaban kepda pemilik hak cipta. Itu kan aneh,” katanya.
Langkah Konkret untuk Menghadapi Masalah
Para pencipta lagu ini menilai bahwa LMKN tidak lagi menjalankan tugasnya secara profesional dan transparan. Mereka menuntut adanya kejelasan dan pertanggungjawaban dari lembaga tersebut. Gugatan yang akan diajukan ke Mahkamah Agung merupakan langkah penting untuk mencari keadilan dan menjaga hak-hak para pencipta lagu.
Dengan langkah ini, diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih baik bagi seluruh pemangku kepentingan dalam industri musik. Semoga dengan adanya gugatan ini, masalah royalti yang selama ini menjadi sumber ketidakpuasan dapat segera terselesaikan.

















