Kebakaran di Gedung Sarinah: Kilas Balik Sejarah dan Makna di Balik Nama
Pada Minggu malam, 28 Desember 2025, insiden kebakaran terjadi di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Api dilaporkan melalap sebuah papan reklame yang terpasang di dinding luar sisi selatan gedung. Kejadian ini mungkin mengingatkan kembali pada sejarah panjang dan makna mendalam di balik nama “Sarinah” itu sendiri, sebuah nama yang bukan sekadar identitas perempuan biasa, melainkan sosok yang turut membentuk pemikiran Ir. Soekarno tentang rakyat kecil.
Bagi sebagian orang, mungkin terdengar unik mengapa pusat perbelanjaan yang terletak di salah satu persimpangan tersibuk di ibu kota ini diberi nama “Sarinah”, sebuah nama yang terkesan sederhana. Namun, di balik nama tersebut tersimpan kisah tentang Sarinah, sosok pengasuh sekaligus ibu angkat Soekarno.
Kisah Sarinah bermula dari sebuah rumah sederhana di Mojokerto, tempat pasangan suami-istri Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman menyewa tempat tinggal. Dari rahim Ida Ayu lahirlah seorang anak laki-laki yang kelak dikenal sebagai Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Dalam keluarga kecil Soekemi dan Ida Ayu, Sarinah hadir sebagai asisten rumah tangga. Jika dari garis keturunan ibunya, Soekarno mewarisi darah bangsawan, maka dari Sarinah, ia mendapatkan pelajaran berharga tentang kasih sayang kepada sesama manusia.
Pengaruh Sarinah terhadap pembentukan karakter Soekarno kecil tergambar jelas dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams. Pada bab ketiga yang berjudul “Mojokerto: Kesedihan di Masa Muda”, halaman 35, Soekarno secara gamblang menceritakan hubungan batinnya dengan Sarinah. Sosok Sarinah digambarkan sangat berperan dalam membentuk pribadi Soekarno yang kelak tumbuh menjadi pemimpin yang mencintai rakyat jelata.
Soekarno mengenang Sarinah dengan penuh kasih, “Di samping ibu ada Sarinah, gadis pembantu kami yang membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah tangga bukanlah pelayan menurut pengertian orang Barat. Di Kepulauan kami, kami hidup berdasarkan asas gotong royong kerja sama tolong menolong.”
Keberadaan Sarinah dalam keluarga Soekarno lebih dari sekadar status pekerja. Ia diperlakukan layaknya anggota keluarga. Soekarno menegaskan bahwa Sarinah tinggal bersama mereka, makan bersama, dan tidur di bawah atap yang sama.
“Sarinah adalah bagian dari rumah tangga kami. Tidak kawin. Bagi kami dia seorang anggota keluarga kami. Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami, memakan apa yang kami makan, akan tetapi ia tidak mendapatkan gaji sepeser pun.”
Bung Karno, yang lahir bersamaan dengan meletusnya Gunung Kelud pada tahun 1901, tidak ragu mengakui bahwa Sarinah adalah sosok yang mengajarkan dan mengenalkannya pada konsep cinta kasih. Dari Sarinah, Soekarno kecil belajar tentang pentingnya menghormati orang lain.
“Dialah yang mengajarkanku untuk mengenal cinta kasih. Aku tidak menyinggung pengertian jasmaniahnya bila aku menyebut itu. Sarinah mengajarkanku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata.”
Nasihat Sarinah untuk mencintai ibu, kemudian rakyat jelata, dan sesama manusia pada umumnya, terpatri kuat dalam benak dan batin Soekarno, bahkan sebelum ia menikmati masakan Sarinah yang ia siapkan.
Kekaguman Soekarno terhadap pengasuhnya ini bukanlah tanpa alasan. Ia sendiri mengakui bahwa Sarinah adalah kekuatan terbesar dalam hidupnya di masa muda.
“Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi Sarinah yang ini bukanlah wanita yang biasa. Ia adalah kekuatan yang paling besar dalam hidupku di masa mudaku. Aku tidur dengan dia. Maksudku bukan sebagai suami-istri. Kami berdua tidur di tempat tidur yang kecil. Ketika aku sudah mulai besar karena sudah tidak ada lagi aku mengisi kekosongan ini dengan tidur bersama-sama kakakku soekarmini di tempat tidur itu juga.”

Begitu kuatnya memori dan pengaruh Sarinah dalam perjalanan hidup Soekarno, hingga ia memutuskan untuk mengabadikan nama tersebut pada toko serba ada atau department store pertama di Indonesia. Pembangunan Gedung Sarinah dimulai dengan peletakan batu pertama pada 17 Agustus 1962.
Dalam acara peletakan batu pertama tersebut, Bung Karno menjelaskan visinya mendirikan Sarinah. “Sarinah merupakan ‘sales promotion’ barang-barang dalam negeri, terutama hasil pertanian dan perindustrian rakyat. Bangunannya dirancang dengan bantuan Abel Sorensen dari Denmark dan dibiayai dari rampasan perang Jepang,” ujar Soekarno.
Sarinah didirikan sebagai representasi dari rakyat kecil dan jelata. Cita-cita Soekarno adalah menghidupkan perekonomian rakyat kecil, didasari oleh keberpihakan pada rakyat Indonesia, khususnya masyarakat miskin, agar mereka mampu berdiri secara ekonomi.
“Yang boleh impor hanya 40 persen. Tidak boleh lebih. Sebanyak 60 persen mesti barang kita sendiri. Juallah di situ kerupuk udang, ‘potlot’ bikinan kita sendiri,” tegas Soekarno dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966.
Pernyataan Soekarno ini mencerminkan semangat sosialisme yang populer pada masa itu, sebelum era Orde Baru dimulai pada tahun 1968. Department store pertama di Indonesia ini bahkan terinspirasi dari model serupa di negara-negara sosialis. Soekarno meyakini bahwa tidak ada negara sosialis yang tidak memiliki sistem distribusi yang legal.
“Datanglah ke Peking. Datanglah ke Nanking. Datanglah ke Shanghai. Datanglah ke Moskow. Datanglah ke Budapest. Datanglah ke Praha. Ada,” ujar Soekarno, merujuk pada keberadaan pusat distribusi barang di negara-negara sosialis tersebut.
Namun, perspektif sejarawan dan penulis, Peter Kasenda, menunjukkan adanya pergeseran makna Sarinah di masa kini. Menurutnya, pergantian kekuasaan ke era Orde Baru secara signifikan memengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia, yang semula berorientasi sosialisme beralih menjadi liberalisme.
“Saat Orde Baru berkuasa, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Ini yang menyebabkan arus modal dari luar negeri mengalir deras dan sangat memengaruhi perubahan Sarinah,” jelas Peter Kasenda.
Ia menambahkan bahwa cita-cita Soekarno menjadikan Sarinah sebagai penyalur kebutuhan pokok bagi rakyat menengah ke bawah, kini justru bergeser menjadi tempat yang lebih banyak dikonsumsi oleh orang asing.
Gedung Sarinah, yang didirikan pada 17 Agustus 1962 dan diresmikan pada 15 Agustus 1966, dengan ketinggian 74 meter dan 15 lantai, sempat menyandang predikat sebagai bangunan pencakar langit pertama di Indonesia.
Sebagai pusat perbelanjaan pertama di Indonesia, Sarinah dibangun dengan tujuan menjadi etalase produk dalam negeri. Gedung di Jalan MH Thamrin, Jakarta, ini juga diharapkan menjadi tempat masyarakat berbelanja kebutuhan dengan harga terjangkau. Sayangnya, amanat Presiden Soekarno untuk menjadikan Sarinah sebagai pusat perdagangan dan promosi barang-barang produksi dalam negeri, khususnya hasil pertanian dan perindustrian rakyat, belum sepenuhnya terwujud sesuai harapan.

















