Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan penting ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, pada hari Senin, 8 Desember 2025. Pengesahan ini menandai langkah signifikan dalam upaya reformasi hukum pidana di Indonesia.
Latar Belakang dan Pertimbangan Pengesahan RUU Penyesuaian Pidana
Penyusunan RUU Penyesuaian Pidana didasari oleh serangkaian pertimbangan mendalam yang bertujuan untuk menciptakan sistem hukum pidana yang lebih baik dan relevan. Berikut adalah poin-poin utama yang menjadi landasan penyusunan RUU ini:
Harmonisasi Hukum Pidana: RUU ini bertujuan untuk mengharmonisasikan hukum pidana agar lebih konsisten, adaptif, dan responsif terhadap dinamika sosial yang terus berkembang. Langkah ini diharapkan dapat menghindari disharmoni pengaturan pidana yang sering terjadi antara berbagai UU dan peraturan daerah (perda).
Mandat UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 613 mengamanatkan penyesuaian seluruh ketentuan pidana di luar KUHP dengan sistem kategori pidana denda baru. RUU Penyesuaian Pidana merupakan wujud nyata dari pelaksanaan mandat tersebut.
Penghapusan Pidana Kurungan: Salah satu poin penting dalam RUU ini adalah penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok dalam KUHP nasional. Implikasi dari penghapusan ini adalah seluruh pidana kurungan yang terdapat dalam berbagai UU dan perda harus dikonversi menjadi bentuk pidana lain yang lebih sesuai.
Penyempurnaan Ketentuan KUHP: RUU ini juga bertujuan untuk menyempurnakan beberapa ketentuan dalam KUHP nasional yang dianggap kurang jelas atau mengandung kesalahan redaksi. Selain itu, RUU ini juga berupaya untuk menyelesaikan permasalahan terkait pola perumusan baru yang tidak lagi menggunakan minimum khusus dan pemidanaan kumulatif.
Urgensi Penerapan KUHP Nasional: RUU ini juga mempertimbangkan urgensi penyesuaian berlakunya KUHP nasional pada tanggal 2 Januari 2026. Penyesuaian ini sangat penting untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum, tumpang tindih aturan, dan disparitas pidana yang dapat merugikan masyarakat.
Proses Pengesahan di Rapat Paripurna DPR RI
Setelah mempertimbangkan seluruh aspek yang telah disebutkan di atas, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta persetujuan dari seluruh peserta rapat terkait pengesahan RUU Penyesuaian Pidana menjadi UU.
“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Penyesuaian Pidana. Apakah dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?” tanya Dasco.
Pertanyaan tersebut dijawab dengan serentak oleh para peserta rapat yang menyatakan persetujuan mereka. Palu pun diketuk sebagai tanda bahwa RUU Penyesuaian Pidana telah resmi menjadi UU.
Laporan Komisi III DPR RI
Pengesahan RUU ini juga didasari oleh laporan dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dede Indra Permana Soediro, yang menyatakan bahwa seluruh fraksi di parlemen telah menyetujui pengesahan RUU Penyesuaian Pidana menjadi UU pada pembicaraan tingkat II.
“Dalam rapat kerja tingkat I, seluruh fraksi menyampaikan pandangan dan menyetujui RUU Penyesuaian Pidana untuk dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II,” kata Dede. Hal ini menunjukkan adanya dukungan penuh dari seluruh elemen parlemen terhadap RUU ini.
Fokus Perhatian: Penghapusan Pidana Kurungan
Dari kelima poin pertimbangan yang mendasari penyusunan RUU Penyesuaian Pidana, salah satu yang menjadi sorotan utama fraksi di parlemen adalah penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok dalam KUHP nasional. Penghapusan ini mengharuskan seluruh pidana kurungan yang terdapat dalam berbagai UU dan perda untuk dikonversi menjadi jenis pidana lain yang lebih relevan dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Konversi ini diharapkan dapat memberikan efek jera yang lebih efektif dan menghindari praktik pemenjaraan yang berlebihan.

















