Agustinus Adisutjipto, seorang pahlawan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), gugur sebagai korban dari pengkhianatan Belanda yang mengingkari janji.
Keberanian Luar Biasa di Langit Indonesia
Agustinus Adisutjipto, yang akrab disapa Tjip, adalah sosok yang tak kenal takut. Ia tak gentar menerbangkan pesawat tua peninggalan Jepang yang suku cadangnya langka, tanpa panduan radio dan radar, serta melakukan pendaratan di malam hari tanpa penerangan. Risiko mesin pesawat yang sewaktu-waktu bisa mati saat mengudara pun tak mampu menggentarkan hatinya. Semua pengorbanan ini ia lakukan demi Indonesia.
“Nanti kalau aku kembali dari India, Todi dan kamu akan kujemput lagi,” ucap Tjip singkat saat meninggalkan anak istrinya di Salatiga untuk kembali ke Yogyakarta. Kebiasaan Tjip adalah menitipkan keluarganya ke rumah orang tuanya di Salatiga setiap kali ia harus bepergian ke luar negeri. Namun, kali ini takdir berkata lain. Ia tidak memiliki kesempatan untuk memenuhi janjinya. Pesawat-pesawat pemburu Belanda menghadang niatnya, dan tak lama kemudian, ia gugur saat tujuannya sudah di depan mata.
Jejak Keberanian Sejak Dini
Sejak kecil, Tjip memiliki semangat vivere pericoloso atau hidup berbahaya. Saat masih menjadi siswa di Asrama Bruderan Ambarawa, ia pernah menantang seorang siswa yang lebih besar, kekar, dan duduk di kelas yang lebih tinggi. Namun, bagi Tjip, perbedaan fisik dan kelas bukanlah halangan. Ia adalah pribadi yang jujur dan tidak pernah mau bertindak curang. Suatu hari yang cerah, keduanya sepakat untuk pergi ke desa lain untuk mengadu kekuatan, satu lawan satu. Segala persiapan dilakukan diam-diam agar tidak diketahui kepala sekolah yang bisa saja mengeluarkan mereka. Entah bagaimana akhirnya, namun mereka kembali sebagai sahabat karib, dan pamor Tjip di sekolah pun meningkat pesat.
Meninggalkan Mimpi Menjadi Dokter Demi Langit
Tjip menempuh pendidikan dasar di Sekolah Bruderan Muntilan. Setelah lulus dari MULO Ambarawa, ia mengungkapkan keinginannya kepada ayahnya untuk belajar terbang. Ayahnya berkeberatan, menyarankan Tjip untuk masuk AMS terlebih dahulu, dan baru akan memikirkan soal sekolah penerbangan setelah lulus.
Tjip pun masuk AMS B (jurusan Ilmu Pengetahuan Alam) di Semarang. Ironisnya, ia justru unggul dalam mata pelajaran bahasa. Tiga tahun berlalu, dan Tjip tetap pada pendiriannya. Namun, di masa itu, orang yang bukan berkulit putih atau keturunan bangsawan sangat sulit untuk masuk sekolah penerbangan. Ditambah lagi, ayahnya yang seorang pemilik sekolah, memahami betul suka duka profesi penerbang, dan lebih menginginkan Tjip menjadi dokter. Sebagai kakak sulung dari empat adik laki-laki, Tjip diharapkan menjadi teladan yang baik.
Tak ada pilihan lain, ia mendaftar sebagai mahasiswa Geneeskundige Hogeschool di Batavia (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta). Saat itu, asisten fisiologi di perguruan tinggi tersebut adalah Dr. Abdulrachman Saleh, yang kelak juga gugur dalam pesawat yang sama. Tjip rajin mengikuti kuliah, namun hatinya senantiasa melayang ke angkasa. Kegemarannya bermain catur, bahkan hingga larut malam, seringkali membuatnya gagal dalam ujian, baik di ilmu biologi maupun mata kuliah lainnya. Akhirnya, ia tak tahan lagi menahan panggilan hatinya. Diam-diam, Tjip mengikuti tes masuk Luchtvaart Opleid-jug-school (Sekolah Penerbangan) di Kalijati. Ia pun menghadap ayahnya dengan berita, “Aku lulus masuk sekolah penerbang dan sudah keluar dari fakultas kedokteran,” ujarnya saat pulang ke Salatiga.
Perjuangan Melawan Diskriminasi Ras
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Tjip mendapatkan pangkat Vaandrig II KV Vlieger (Letnan Muda Calon Penerbang Ikatan Pendek). Di sinilah ia mulai mengenal Suryadarma, salah seorang instrukturnya. Akibat diskriminasi ras yang terjadi, dari sepuluh murid bangsa Indonesia, hanya lima yang berhasil lulus hingga tingkat KMB (Klein Militaire Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Pertama). Selanjutnya, hanya dua orang yang berhasil mencapai tingkat akhir: Sambudjo Hurip (almarhum, yang gugur dalam pertempuran melawan Jepang dan merupakan pemain tenis Indonesia terkenal sebelum perang) dan Adisutjipto.
Ketika Perang Dunia II meletus, Tjip ditugaskan di Jawa pada Skuadron Pengintai. Ia terbang dengan pesawat KNIL di atas Tuban saat tentara Jepang mendarat. Rekan-rekannya memilih mengungsi ke Australia, namun Tjip memilih untuk tetap tinggal di Salatiga bersama orang tuanya selama pendudukan Jepang. Awalnya ia tidak bekerja. Beruntung, ia gemar membaca, terutama filsafat, perang, dan catur. Koleksi bukunya yang banyak membuatnya tidak pernah merasa kesepian. Setahun sebelum perang berakhir, ia mulai bekerja sebagai juru tulis di sebuah perusahaan bus Jepang di Salatiga.
Kira-kira di waktu yang sama, Tjip pulang membawa kabar gembira yang tak terduga oleh keluarganya, “Saya akan menikah.” Calon istrinya bernama Rahayu, putri Pak Soerojo dari Salatiga yang ternyata masih memiliki hubungan keluarga dengannya. Pernikahan pun dilangsungkan tak lama kemudian. Kelahiran putra mereka hampir menjadi hadiah ulang tahun bagi Tjip. Putranya lahir pada 3 Juli 1945, di tengah berkecamuknya Perang Dunia, sementara Tjip lahir pada 4 Juli 1916. Sang putra diberi nama F.X. Adisusanto, dengan panggilan Todi.
Merintis Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)
Tjip adalah sosok yang pendiam namun tegas, teliti, bescheiden (tidak menonjolkan diri), dan selalu ramah. Sifat-sifat inilah yang seringkali menarik perhatian orang di sekitarnya. Ketika Indonesia sedang berjuang keras merebut kemerdekaan, seorang pemuda dari Yogyakarta bernama Tarsono Rujito datang sebagai utusan Suryadarma. Tjip diajak untuk membantu menyelesaikan persoalan penerbangan di Yogyakarta. Tanpa ragu, Tjip segera berangkat. Bersama teman-temannya sesama mantan siswa Sekolah Penerbangan Kalijati, ia mulai memperbaiki pesawat terbang rongsokan peninggalan Jepang.
Tanpa suku cadang (spare parts) yang memadai dan impor yang mustahil dilakukan karena blokade Belanda, mereka berimprovisasi. Belacu digunakan sebagai pengganti kain linen, dan larutan hidung sapi sebagai pengganti aseton. Namun, pada 10 Oktober 1945, Tjip berhasil menerbangkan salah satu pesawat dari landasan udara Cibeureum dekat Tasikmalaya menuju Maguwo. Ini adalah prestasi besar, mengingat selama Perang Dunia II ia tidak pernah memegang kemudi pesawat, dan mesin-mesin Jepang sangat asing baginya.
Selanjutnya, ia juga berhasil menerbangkan beberapa pesawat yang ditinggalkan Jepang di Maguwo. Pesawat-pesawat tersebut adalah jenis Tjureng yang masih bersayap dua, buatan tahun 1933. Pesawat-pesawat ini kemudian diberi tanda milik RI dan dikenal sebagai pesawat Merah Putih. Warisan ini sangat berharga sebagai pesawat latih di sekolah penerbangan yang dipimpin sendiri oleh Adisutjipto dan dibuka pada Desember 1945. Tak lama kemudian, sekolah tersebut berhasil melahirkan para penerbang angkatan pertama.
Nyali Ekstra Para Penerbang Indonesia
Menjadi penerbang di masa itu berarti harus berani berhadapan dengan maut. Setiap kali terbang, jiwa mereka dipertaruhkan. Pesawat mungkin bisa mengudara, namun kepulangan yang selamat selalu menjadi pertanyaan besar. Risikonya sangat serius. Beberapa penerbang Indonesia gugur karena mesin pesawat yang bermasalah di tengah penerbangan.
Pernah terjadi, seorang penerbang Sekutu yang datang ke Solo untuk menjemput mantan tawanan perang dan tahanan APWI ingin mencoba salah satu pesawat. Pejabat berwenang mengizinkannya. Setelah mendarat, beberapa wartawan sudah menunggu. Wajah penerbang Sekutu itu pucat pasi. Ia berkomentar, “It needs a lot of courage to fly such a machine,” sebuah ucapan yang tak perlu lagi dikomentari.
Beberapa kali Tjip mengalami situasi genting. Salah satunya terjadi saat melakukan cross country flight ke Sumatra pulang-pergi, bersama Suryadarma. Saat terbang di antara Serang (Gorda) – Tasikmalaya, mesin pesawat mulai batuk-batuk di atas pegunungan Banten Selatan. Mereka mencoba kembali ke Gorda, namun suara mesin semakin tidak karuan. Suryadarma mencari tempat untuk pendaratan darurat, dan menyarankan Tjip untuk mendarat sebelum pesawat macet atau meledak. Pesawat terasa semakin mendekati tanah, namun Tjip tetap tenang. Ia terus terbang hingga mencapai pinggiran lapangan Gorda, dan pesawat pun berhasil diselamatkan. Meskipun sudah tua, pesawat itu tak ternilai harganya bagi perjuangan bangsa.
Namun, nasib Tjip tidak selalu beruntung. Pernah ia mengikuti formasi enam pesawat Tjureng menuju Banten dan Sumatera Selatan. Dalam perjalanan pulang melalui Jawa Barat bagian selatan, pesawat yang dikemudikannya mulai bermasalah. Ia terpaksa melakukan pendaratan darurat di senja hari. Pesawatnya menabrak pohon kelapa yang melintang, sehingga terbalik. Tali pengikat penumpang putus, dan rekannya, Tarsono Rujito, menjadi korban.
Risiko para penerbang Indonesia kala itu bukan hanya karena peralatan yang buruk. Musuh selalu mengintai. Persenjataan AURI sangat terbatas, sementara Belanda memiliki radar dan pesawat pemburu. Sesuai pepatah, siapa yang tidak kuat harus cerdik. AURI pun menggunakan berbagai trik untuk mengelabui musuh.
Pendaratan dalam Kegelapan Gulita
Seluruh penerbangan dilakukan pada malam hari atau menjelang pagi, tanpa komunikasi radio. Jadwal keberangkatan dan kedatangan pesawat sangat dirahasiakan. Penumpang baru diberitahu sekitar satu jam sebelumnya melalui kurir. Jika penumpang tidak berada di tempat, mereka akan ditinggalkan. Kelalaian sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Pesawat yang dikemudikan Freeberg hilang karena operator radionya memberikan sinyal yang ditangkap musuh.
Pendaratan selalu dilakukan di malam hari, di tengah lapangan udara yang gelap gulita. Hanya Suryadarma, sebagai pimpinan tertinggi angkatan udara, yang mengetahui jam kedatangan pesawat. Begitu suara pesawat terdengar, ia segera keluar dengan jipnya untuk menjemput di ujung landasan. Orang lain ditugaskan menjaga awal landasan pacu dengan kendaraan lain. Sorot lampu kedua kendaraan tersebut menjadi satu-satunya penunjuk arah bagi penerbang. Terkadang, hanya Suryadarma sendiri yang menunggu di ujung landasan, mengingat kendaraan bermotor yang berfungsi baik saat itu jarang ditemukan. Pendaratan harus dilakukan langsung, tanpa berputar-putar, untuk menghemat bahan bakar.
Satu-satunya hubungan radio dengan luar negeri dilakukan oleh AURI. Selain untuk komunikasi, mereka juga harus melakukan diplomasi. Hal ini dapat dilakukan hanya dengan berani mendobrak blokade Belanda. Dalam upaya ini, Tjip pernah pergi ke India dan Filipina, mencari instruktur untuk sekolah penerbangannya dan merekrut penerbang asing.
Misi ke India dan Perjuangan Diplomatik
Tjip juga terbang ke India untuk bertemu dengan Jawaharlal Nehru dan Mohammed Ali Jinnah. Kedua pemimpin yang kelak berseteru itu kemudian menghubungkannya dengan seorang konglomerat setempat bernama Patnaik. Pengusaha kaya raya ini bersedia meminjamkan sebuah pesawat DC-3, yang populer dengan sebutan pesawat Dakota.
Menjadi kurir adalah tugas yang sangat sulit dan berbahaya. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Tjip memiliki hubungan yang sangat erat dengan Presiden Sukarno. Ia pernah menerbangkan Bung Sjahrir ke Jakarta untuk melakukan perundingan, kemudian ke India membawa Haji Agus Salim dan sejumlah tokoh lainnya. Sejak 9 April 1946, ia menjabat sebagai Wakil Kepala II Staf Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara dengan pangkat Komodor Muda Udara (Kolonel), dengan Suryadarma sebagai kepala staf. Selain itu, ia juga mendapat tugas khusus mendidik para calon penerbang.
Menjelang akhir Juli 1947, untuk kesekian kalinya, ia berhasil menembus blokade Belanda. Kali ini bersama Dr. Abdulrachman Saleh, menuju India. Sesuai rencana, Tjip dan anak buahnya tidak ikut pulang karena harus menyelesaikan misi khusus di Singapura. Namun, pada 28 Juli, diumumkan melalui pers dan radio Malaya bahwa keesokan harinya sebuah pesawat VT-CL Air yang membawa bantuan obat-obatan akan mendarat di Yogyakarta. Berita tersebut juga menyebutkan adanya persetujuan antara pemerintah Belanda dan Inggris untuk mengamankan misi penerbangan kemanusiaan ini.
Suryadarma mendengar kabar tersebut dari seorang dokter PMI. Ia terkejut, karena tidak merasa pernah diberitahu sama sekali. “Asal Belanda tak menggunakan kesempatan ini,” pikirnya. Firasatnya ternyata benar. Dokter PMI itu juga tidak tahu siapa saja yang akan ikut dalam pesawat tersebut. Sekitar jam yang ditentukan, Suryadarma berangkat menuju Maguwo, sekitar 10 km timur Yogyakarta.
Serangan Brutal Pesawat Belanda
Belum lagi masuk ke landasan, Suryadarma tiba-tiba melihat sebuah pesawat terbang mendekat. “Pilotnya pasti bukan Mas Tjip,” pikirnya lega. “Andaikan dia, pasti terus turun.” Tiba-tiba, dari arah utara, muncul dua pesawat pemburu Mustang milik Belanda. Pesawat Dakota yang tak bersenjata itu langsung diserang, kehilangan ketinggian, dan tampaknya harus melakukan pendaratan darurat.
Suryadarma segera memacu kendaraannya ke arah selatan, tempat perkiraan pesawat tersebut mendarat. Ternyata, pesawat nahas itu menabrak pohon, patah menjadi dua, dan langsung terbakar. Seluruh badan pesawat hancur, kecuali bagian ekor yang masih agak utuh karena tersangga pematang sawah. Tjip ternyata ikut dalam penerbangan tersebut. Seluruh awak dan penumpang tewas, kecuali Abdulgani, seorang penumpang dari Barisan Tani daerah Comal. Penerbang pesawat adalah seorang Inggris, juru radionya dari Indonesia, juru tekniknya orang India. Penumpang yang tewas termasuk istri pilot, Tjip, Dr. Abdulrachman Saleh, dan Zainal Arifin, wakil perdagangan RI. Pesawat tersebut milik Patnaik, pengusaha besar di India.
Tanggapan masyarakat Yogyakarta sungguh berbeda. Menjelang sore hari itu, Yogyakarta dinyatakan dalam keadaan bahaya udara. Sirene meraung-raung saat sebuah pesawat berputar-putar di udara. Karena pesawat tersebut tidak segera turun melainkan naik kembali, masyarakat mengira itu adalah pesawat musuh yang ingin membuat gara-gara. Saat melihat dua pesawat lain menyergap pesawat yang mencurigakan itu, penduduk bersorak-sorai karena mengira itu pesawat musuh. Namun, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat pesawat terbakar di tengah sawah.
Pengkhianatan Belanda dan Peringatan Abadi
Suasana duka menyelimuti rakyat Indonesia pada umumnya, dan AURI khususnya. Mereka telah kehilangan pahlawan, tulang punggung angkatan udara. Semua ini terjadi akibat serangan udara terhadap pesawat sipil atas perintah langsung Jenderal Spoor, panglima tentara Belanda. Tjip, yang terlalu percaya pada janji-janji Belanda, menjadi korban dari perbuatan biadab tersebut. Tujuan utama Belanda jelas: menakut-nakuti pilot asing agar tidak membantu Indonesia, serta membunuh penerbang pengangkut satu-satunya di Indonesia untuk menghentikan aksi pendobrakan udara dan misi-misi khusus lainnya.
Namun, Belanda lupa akan pepatah, “Satu jatuh sepuluh tumbuh.” Kota Yogyakarta berduka cita. Peti jenazah disemayamkan di Hotel Tugu dengan berjajar. Pada hari pemakaman, di depan hotel dan sepanjang Jalan Malioboro, dipadati ribuan pelayat. Upacara dilakukan menurut empat agama. Tjip adalah penganut Katolik, beberapa korban lain beragama Islam. Pilot Inggris beserta istrinya dimakamkan sesuai tata cara gereja Anglikan, sementara jenazah juru teknik berkebangsaan India dikremasi.
Nyonya Adisutjipto dan keluarga mendengar kabar duka tersebut melalui radio di Salatiga. Akibat Agresi Militer Belanda pertama, hubungan Salatiga – Yogyakarta terputus. Dalam berita radio disebutkan bahwa mereka akan dijemput di Ngablak. Namun, bagaimana cara mereka mencapai desa tersebut? Dari pihak keluarga Tjip, hanya adik bungsunya, yang kebetulan siswa Sekolah Penerbangan dan tinggal di Yogyakarta, yang bisa mengantarkan kakaknya ke peristirahatan terakhir di pemakaman Kuncen, Yogyakarta.
Di lokasi nahas di Desa Ngoto, arah tenggara Yogyakarta, kini berdiri tugu peringatan. Tanggal 29 April selanjutnya diperingati sebagai Hari Berkabung AURI. Sebagai penghormatan atas jasanya, secara anumerta pangkat Tjip dinaikkan menjadi Laksamana Muda Udara. Pada 6 Februari 1961, Nyonya Adisutjipto menerima anugerah Bintang Mahaputra bagi suaminya, dari Presiden Sukarno.

















