Gerakan Ayah Mengambil Rapor: Antara Harapan dan Realita di Dunia Pendidikan
Desember 2025 menjadi bulan yang cukup menyita perhatian di dunia pendidikan Indonesia. Munculnya inisiatif “Gerakan Ayah Mengambil Rapor” telah memicu berbagai diskusi dan perdebatan di kalangan orang tua, baik yang memiliki anak di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan dasar dan menengah. Menariknya, gerakan ini ternyata tidak berasal dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), melainkan digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Gerakan ini secara resmi tertuang dalam Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/Kepala BKKBN Nomor 14 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah, yang diterbitkan pada tanggal 1 Desember 2025. Surat edaran tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah melalui Surat Edaran Kepala Daerah. Inti dari gerakan ini adalah imbauan kepada seluruh ayah untuk hadir di sekolah dan mengambil rapor anak mereka pada saat pembagian rapor akhir semester.
Latar Belakang dan Tujuan Mulia Gerakan
Inisiatif Gerakan Ayah Mengambil Rapor (GEMAR) ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap isu fatherless di Indonesia. Fenomena fatherless ini memerlukan perhatian dan penanganan lintas sektor. Penting untuk dipahami bahwa fatherless bukan hanya tentang ketiadaan fisik seorang ayah di sisi anak, tetapi juga mencakup ketiadaan kehadiran emosional ayah bagi anaknya, meskipun mereka tinggal serumah. Situasi ini tentu semakin kompleks bagi anak yang ayahnya tidak tinggal bersama dan tidak menjalin komunikasi intens.
Dampak dari fenomena fatherless ini sangat beragam dan mengkhawatirkan. Permasalahan dan penyimpangan perilaku anak dapat muncul, yang kemudian berimbas pada penurunan motivasi dan semangat belajar siswa. Perilaku agresif pada anak juga dapat meningkat, yang pada akhirnya menurunkan hasil dan prestasi akademik mereka.
Oleh karena itu, gerakan mengambil rapor oleh ayah di sekolah diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk konkret kehadiran dan dukungan ayah dalam proses tumbuh kembang anak secara paripurna. Keterlibatan ayah dalam ranah pendidikan ini juga diharapkan dapat memperkuat komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah, sehingga mempermudah pemantauan proses dan kemajuan belajar anak. Ketika ayah terlibat aktif dalam pendidikan anak dan remaja, diharapkan motivasi dan hasil belajar anak didik dapat meningkat secara signifikan.
Evaluasi Kritis: Sisi Lain dari Gerakan
Meskipun dari sisi latar belakang dan tujuan, gerakan ini patut diapresiasi karena memiliki niat yang baik dalam mengatasi isu fatherless, terdapat beberapa aspek yang perlu dievaluasi secara mendalam dan kritis.
1. Keterbatasan bagi Anak Yatim atau Tanpa Ayah
Salah satu poin krusial yang menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana gerakan ini mengakomodasi anak-anak yang ayahnya telah meninggal dunia. Pada momen pembagian rapor, ketika anak-anak lain didampingi ayah mereka, anak-anak yang kehilangan sosok ayah bisa jadi akan merasakan kesedihan mendalam. Pertanyaan seperti “Ke mana ayahmu?” atau “Mengapa ayahmu tidak datang?” dapat memicu luka emosional, mengubah momentum bahagia pembagian rapor menjadi momen penuh kesedihan.
2. Tantangan bagi Ayah yang Berada Jauh
Gerakan ini juga kurang mempertimbangkan realitas keluarga di mana ayah bekerja di luar kota atau bahkan di luar negeri. Ketiadaan ayah dalam pengambilan rapor karena alasan geografis atau pekerjaan dapat menimbulkan perasaan minder pada anak. Lebih jauh lagi, kondisi ini berpotensi dijadikan bahan perundungan (bully) oleh teman sebaya, yang semakin menambah beban psikologis anak.
3. Pentingnya Fondasi Ketahanan Keluarga
Penulis berpendapat bahwa upaya mengantisipasi fenomena fatherless sejatinya harus dimulai dari akar masalah, yaitu penguatan ketahanan keluarga. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu lebih fokus pada upaya memperkuat harmonisasi hubungan antara ayah, ibu, dan anak-anak di dalam rumah. Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama bagi setiap individu. Tanggung jawab terhadap pembentukan karakter dan perkembangan anak seyogyanya diemban oleh keluarga.
4. Gerakan Tambahan, Bukan Solusi Tunggal
Terlepas dari kekurangan yang ada, Gerakan Ayah Mengambil Rapor ini tidak seharusnya dipandang sebagai satu-satunya solusi untuk mengatasi isu fatherless. Gerakan ini dapat menjadi salah satu dari sekian banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam kehidupan anak.
Menuju Keterlibatan Ayah yang Komprehensif
Gerakan Ayah Mengambil Rapor, dengan segala potensi dan keterbatasannya, membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang peran ayah dalam pendidikan anak. Idealnya, gerakan ini dapat menjadi katalisator untuk mendorong partisipasi ayah yang lebih luas, tidak hanya sebatas hadir di sekolah saat pembagian rapor, tetapi juga dalam aktivitas belajar sehari-hari di rumah, mendukung minat dan bakat anak, serta membangun komunikasi yang sehat dan terbuka.
Penting untuk diingat bahwa keberhasilan gerakan ini sangat bergantung pada bagaimana implementasinya di lapangan, serta bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama mencari solusi untuk mengatasi kendala-kendala yang muncul. Dengan pendekatan yang inklusif dan sensitif terhadap berbagai kondisi keluarga, Gerakan Ayah Mengambil Rapor ini dapat bertransformasi menjadi sebuah inisiatif yang benar-benar memberikan dampak positif bagi tumbuh kembang anak Indonesia.

















