Bulgaria kini berada di persimpangan jalan politik yang krusial. Gelombang protes massa yang melanda negara ini telah berhasil menumbangkan pemerintahan Perdana Menteri Rosen Zhelyazkov. Keputusan ini diambil hanya beberapa pekan sebelum Bulgaria dijadwalkan untuk secara resmi mengadopsi mata uang euro pada 1 Januari 2026, sebuah tonggak sejarah penting bagi negara anggota Uni Eropa dan NATO ini.
Pengunduran diri kabinet Zhelyazkov pada Kamis (11/12) mengakhiri masa kekuasaan koalisi yang kian kehilangan popularitas. Namun, langkah ini justru berpotensi membuka lembaran baru ketidakstabilan politik di Bulgaria. Pemerintahan yang dipimpin oleh Zhelyazkov ini baru saja berkuasa sejak Januari 2025, dan sejatinya dipercaya akan memimpin transisi negara menuju penggunaan euro. Namun, gelombang demonstrasi jalanan yang menentang korupsi serta rancangan anggaran baru yang mengusulkan kenaikan pajak, memaksa Zhelyazkov untuk mengajukan pengunduran diri kabinetnya.
Bahkan Presiden Bulgaria, Rumen Radev, yang umumnya memiliki peran seremonial, turut menyerukan agar Zhelyazkov mundur dari jabatannya.
Reaksi Publik dan Kekhawatiran Masa Depan
Suasana di jalanan Sofia, ibu kota Bulgaria, pasca pengumuman pengunduran diri relatif tenang. Kendati demikian, sebagian warga menyuarakan optimisme yang hati-hati, merasa bahwa suara publik akhirnya didengar oleh pemerintah.
Salah seorang warga mengungkapkan, “Sudah saatnya. Terlalu lama tertunda. Pasti ada orang-orang yang cerdas dan masuk akal (di parlemen) yang bisa menghasilkan sesuatu yang bermakna dan mengakhiri penyalahgunaan yang selama ini kita lihat.”
Namun, di balik optimisme tersebut, kekhawatiran akan terulangnya pola pemilihan umum yang berulang masih membayangi. “Ada risiko besar bahwa kita benar-benar akan berakhir dengan rangkaian pemilu lainnya,” ujar Dimitar Markov, Direktur Program Hukum di Center for the Study of Democracy di Sofia.
Bulgaria memang memiliki rekam jejak yang kurang stabil dalam hal politik. Negara ini telah menggelar tujuh pemilihan umum nasional dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Kegagalan pemerintahan sebelumnya dalam mempertahankan stabilitas di parlemen yang terpecah belah menjadi penyebab utama siklus pemilu yang terus berulang ini.
Akar Masalah: Anggaran dan Ketegangan Sosial
Protes-protes ini bermula pada akhir November lalu. Saat itu, pemerintahan Zhelyazkov, yang merupakan koalisi dari tiga partai, mengajukan rancangan anggaran negara. Anggaran tersebut memuat rencana kenaikan iuran jaminan sosial dan pajak untuk mendanai peningkatan belanja negara.
Sebagian dari alokasi belanja tersebut ditujukan untuk sektor kepolisian, layanan keamanan, dan lembaga peradilan. Ironisnya, institusi-institusi ini justru kerap dipandang negatif oleh banyak warga Bulgaria selama bertahun-tahun. Meskipun rencana anggaran tersebut akhirnya ditarik kembali oleh pemerintah, kemarahan publik tidak serta-merta mereda.
Ketegangan semakin memuncak akibat langkah-langkah pemerintah lainnya. Salah satunya adalah dugaan penindasan terhadap kelompok oposisi liberal yang pro-Uni Eropa. Contoh nyata adalah penahanan Wali Kota Varna, Blagomir Kotsev. Ia sempat mendekam di penjara selama beberapa bulan atas tuduhan korupsi, tuduhan yang dengan tegas dibantahnya.
Gelombang Demonstrasi Terbesar Sejak Era Komunis
Aksi unjuk rasa terus membesar dan meluas. Pada Rabu (10/12), puluhan ribu orang turun ke jalan di berbagai kota dan wilayah di seluruh Bulgaria. Tuntutan mereka jelas: pemerintah harus mundur. Reuters mencatat bahwa demonstrasi ini merupakan salah satu yang terbesar sejak runtuhnya rezim komunis pada tahun 1989.
Dimitar Markov menjelaskan, “Ini adalah akumulasi berbagai hal. Ketegangan telah meningkat dari waktu ke waktu, dan anggaran menjadi titik pemicunya.”
Menariknya, para demonstran datang dari berbagai latar belakang. Banyak di antaranya berasal dari kalangan profesional perkotaan yang secara tegas mendukung adopsi euro dan menginginkan Bulgaria semakin terintegrasi dengan arus utama Eropa. Namun, protes ini juga diikuti oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekhawatiran berbeda.
Ada sebagian yang khawatir bahwa masuknya euro akan memicu inflasi. Sementara itu, kelompok lain menentang sikap resmi Bulgaria yang pro-Barat, terutama terkait dengan perang di Ukraina, dan lebih memilih untuk memperbaiki hubungan dengan Moskow.
Vessela Tcherneva, Wakil Direktur European Council on Foreign Relations di Sofia, memberikan pandangannya, “Orang-orang menyadari bahwa kehendak mereka, ketika disuarakan, itu berarti. Siapa pun pemerintahan berikutnya akan lebih sadar dan harus lebih bertanggung jawab.”
Masa Depan yang Penuh Ketidakpastian
Presiden Radev kini dihadapkan pada tugas berat. Ia akan memberikan mandat pembentukan pemerintahan baru kepada partai terbesar di parlemen, GERB. Namun, partai ini diperkirakan akan menghadapi kesulitan besar dalam menggalang dukungan mayoritas di parlemen yang saat ini dihuni oleh sekitar sembilan partai.
Jika upaya GERB menemui jalan buntu, mandat akan diberikan kepada dua partai lain secara bergiliran. Apabila seluruh proses pembentukan pemerintahan baru ini gagal, presiden akan menunjuk sebuah pemerintahan sementara dan memanggil pemilihan umum dini. Skenario ini sangat berpotensi menyeret Bulgaria kembali ke dalam siklus pemilihan umum yang berulang, seperti yang telah terjadi sebelumnya.
Di tengah ketidakpastian politik ini, publik Bulgaria menyuarakan kekhawatiran yang mendalam mengenai transisi ke mata uang euro. Kekhawatiran ini terutama terkait dengan kemungkinan transisi tersebut terjadi tanpa adanya pemerintahan yang stabil dan anggaran yang solid. Hal ini diungkapkan oleh Mario Bikarsi, Analis Senior Eropa di konsultan risiko Verisk Maplecroft.
“Negara memiliki peran penting untuk memastikan tidak ada guncangan besar terhadap sistem. Dengan ketiadaan anggaran dan pemerintahan, risiko terhadap sistem meningkat cukup signifikan,” ujar Bikarsi, menyoroti betapa gentingnya situasi yang dihadapi Bulgaria saat ini.

















