Membangun Kekuatan Bangsa Melalui Ujian Kehidupan
Dalam sebuah momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Juli 1965, Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno, pernah mengisahkan tentang sebuah negeri khayalan bernama Kuru Utara. Kisah ini berasal dari kitab Ramayana, yang menggambarkan negeri tersebut sebagai tempat yang terbebas dari ekstremitas. Di sana, suhu udara tidak pernah terlalu panas atau terlalu dingin, rasa tidak pernah terlalu manis atau terlalu pahit. Langit tidak pernah benar-benar gelap gulita, pun tidak pernah begitu terang benderang. Segalanya digambarkan sebagai keadaan yang tenang dan stabil.
Namun, Bung Karno melanjutkan, negeri yang ideal dalam kitab Ramayana tersebut tidak memiliki potensi untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Alasannya sederhana: masyarakatnya tidak pernah mengalami pasang surut kehidupan. Mereka tidak pernah dituntut untuk berjuang karena semua kebutuhan dan kenyamanan telah terpenuhi. Kebahagiaan yang dirasakan tidak pernah berlebihan, begitu pula kesedihan yang dialami tidak pernah terlalu mendalam.
Dengan nada retoris, Bung Karno kemudian mengajukan pertanyaan kepada para jamaah yang hadir dalam majelis tersebut, “Apakah saudara-saudara ingin menjadi bangsa yang seperti itu?” Jawabannya, yang disampaikan sendiri oleh Bung Karno, adalah tegas: “Tidak.”
“Kita tidak ingin menjadi bangsa yang seperti itu,” tegasnya kembali.
Bagi Bung Karno, Indonesia justru bercita-cita menjadi bangsa yang setiap hari ditempa oleh berbagai keadaan. Bahkan, jika sewaktu-waktu mengalami kehancuran total, bangsa ini harus memiliki kemampuan untuk bangkit dan membangun kembali.
Pandangan dan sikap Bung Karno ini mungkin terkesan ekstrem dan tidak mudah diterima oleh sebagian orang. Namun, ia tampaknya memiliki landasan teologi dan filosofi yang mendalam. Bung Karno memandang bahwa kehadiran masalah dan musibah dalam kehidupan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, melainkan justru sangat diperlukan. Hal ini penting untuk membentuk Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar kuat, yang digambarkan dalam peribahasa Jawa: “otot kawat balung wesi, ora tedhas tapak paluning pandhe, ora tedhas sisaning gurinda” – yang berarti sangat kuat, tidak mempan oleh palu pandai besi, dan tidak tergores oleh gerinda.
Sukarno melihat bahwa di dalam setiap masalah atau musibah, terkandung sebuah dialektika perjuangan. Oleh karena itu, ketika masalah atau musibah melanda, Bung Karno senantiasa mengajak rakyatnya untuk tetap optimis. Keyakinannya tertanam kuat pada firman Allah SWT yang berbunyi:
Faa inna ma’al ‘usri yusra
Inna ma’al ‘usri yusra“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Inilah mengapa Bung Karno sangat menekankan pentingnya pemahaman rakyat terhadap dialektika antara kesulitan dan kemudahan ini. Dengan memahami esensi dari pasang surut kehidupan, Indonesia diharapkan dapat bertransformasi menjadi bangsa yang besar dan tangguh.
Refleksi Pasca-Bencana: Meneladani Semangat Bung Karno
Sikap dan pandangan visioner Bung Karno ini dapat kita kaitkan dengan situasi terkini yang dihadapi oleh sebagian wilayah Indonesia, khususnya pasca-bencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Bencana alam ini telah menimbulkan duka yang mendalam, merenggut banyak nyawa, serta meluluhlantakkan harta benda masyarakat.
Mengikuti jejak pemikiran Bung Karno, masyarakat yang terkena musibah ini diajak untuk menghadapi cobaan tersebut dengan ketabahan hati dan mengerahkan segala upaya untuk bangkit dari keterpurukan. Dalam konteks ini, ada dua aspek krusial yang perlu menjadi perhatian utama:
Peningkatan Keimanan dan Ketabahan Diri:
Aspek pertama adalah bagaimana setiap individu dapat memperkuat keyakinan dan keimanan mereka kepada Allah SWT. Peningkatan spiritual ini krusial untuk menumbuhkan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi musibah serta segala bentuk masalah yang mungkin datang silih berganti. Dengan keimanan yang kokoh, seseorang akan lebih mampu melihat hikmah di balik kesulitan dan tidak mudah menyerah.Penguatan Ilmu Pengetahuan dan Penerapannya:
Aspek kedua berfokus pada upaya peningkatan kapasitas intelektual dan penguasaan ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh harus diaplikasikan secara optimal dalam upaya mengantisipasi dan memitigasi berbagai potensi masalah di masa mendatang. Hal ini mencakup pemahaman terhadap ilmu kebencanaan, teknik konstruksi yang tahan bencana, hingga pengembangan sistem peringatan dini yang efektif.
Untuk mewujudkan kedua aspek tersebut secara sinergis, kolaborasi yang erat dan konstruktif antara berbagai elemen bangsa menjadi sangat fundamental. Kerjasama yang baik antara para tokoh agama, akademisi dan ilmuwan, pemerintah, serta seluruh lapisan masyarakat sangatlah diharapkan. Sinergi ini akan menjadi pondasi yang kuat bagi masyarakat, khususnya yang berada di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, agar dapat segera pulih dari dampak bencana dan malapetaka yang baru saja mereka alami. Dengan semangat kebersamaan dan optimisme, bangsa ini akan senantiasa mampu bangkit menghadapi segala tantangan.

















