BATAMPENA.COM – Jaksa penuntut umum (JPU) Desi Sari Dewi menuntut seorang terdakwa pengedar kosmetik tanpa izin edar (ilegal) atas nama Vincent Koh selama dua bulan penjara, denda 5 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan mendapatkan tanggapan dari seorang akademisi hukum atas nama Dr. Parningotan Malau S.T, S.H, M.H.
“Selaku akademisi saya kaget juga atas tuntutan yang diberikan jaksa penuntut umum dalam perkara peredaran atau distribusi kosmetik ilegal. Ini benar-benar menggerakkan nurani dan mengusik roh hukum saya. Saya melihat tuntutan jaksa ini sebagai tuntutan ecek-ecek dan tidak dapat memahami bagaimana jalan pemikiran jaksa penuntut umum sehingga bisa menuntut terdakwa dua bulan penjara, denda 5 juta rupiah, subsider 1 bulan kurungan. Ini benar-benar di luar logika hukum,” kata Parningotan Malau kepada pimpinan redaksi Media Batampena.com atas nama Joni Pandiangan saat ditemui di ruang kerjanya daerah Batam Centre pada hari Selasa (28 Desember 2021).
Parningotan Malau menilai jika nantinya tuntutan JPU (dua bulan penjara, denda 5 juta rupiah, subsider 1 bulan kurungan) dan sekiranya dikabulkan oleh majelis hakim nantinya maka tidak berlebihan juga jika ada yang beranggapan seolah-olah sudah didesain daripada bebas, sehingga dibuatlah bingkai-bingkai yuridis sedikit bahwa penegakan hukum sudah berjalan.
Parningotan Malau mengaku bahwa dirinya tidak mengikuti perkara 637/Pid.Sus/2021/PN Btm dengan terdakwa Vincent Koh, tetapi dilihat dari pemberitaan tentang kosmetik sebagai bagian kesediaan farmasi secara ilegal dapat disimpulkan itu bukan perkara yang baru terjadi di Kota Batam. Batam menjadi sorga bagi para pelaku peredaran barang-barang ilegal, dan predikat ini tidak asing lagi di telinga daerah-daerah lain yang di luar Kota Batam. Kasus distribusi produk kosmetik ilegal hanyalah bagian kecil dari barang-barang ilegal. Saya belum pernah mendengar ada tuntutan dan pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Batam yang berefek jera kepada para pelaku maupun pelaku potensial.
“Melihat situasi daerah Kota Batam yang strategis untuk masuknya barang-barang ilegal seperti kosmetik atau sediaan farmasi dari negara-negara tetangga maka diyakini barang-barang ilegal itu marak di Kota Batam. Para distributor kosmetik ilegal sudah melihat pasar yang baik untuk menjual dan mengedarkan barang-barang ilegal itu dengan pintu masuk dari Kota Batam. Ditambah lagi masuknya barang-barang ilegal ke Kota Batam sangat mudah terlebih melalui jalur laut,” ucap pria penyandang gelar akademik Doktor dari Universitas Sumatera Utara atau USU Medan.

Dia juga menjelaskan faktor-faktor lain yang menjadikan bisinis kosmetik ilegal sangat diminati, diantaranya: ketidakseriusan penegak hukum memberikan sanksi pidana kepada para terdakwa pengedar kosmetik ilegal di Kota Batam. “Dengan demikian hal ini merupakan malapetaka hukum, dimana barang bukti yang banyak dikumpulkan oleh jaksa bisa-bisanya dipidana hanya dua bulan, subsider 1 bulan dan denda 5 juta rupiah. Praktek penegak hukum seperti ini sesungguhnya tidak dapat dimaknai sebagai penegakan hukum, tetapi hukum yang diolah sedemikian rupa sehingga seolah-olah penegakan hukum berjalan. Sebenarnya hukum pidana ini membuat efek jera terhadap para pelaku peredaran kosmetik ilegal. Jaksa harus mempunyai sense of crisis, termaksud majelis hakim ketika memberikan vonis kepada terdakwa,” kata Dosen Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Kota Batam.
Parningotan Malau juga menegaskan bahwa kosmetik atau sediaan farmasi ilegal merupakan barang-barang yang masuk dalam kategori berbahaya. “Bayangkan bagaimana kalau barang-barang tidak punya izin edar ini digunakan oleh masyarakat? Kalau saya tidak bisa membayangkan ini sebuah barang-barang ilegal yang tidak melalui pantauan BPOM dan tidak ada izin edar namun bisa beredar sembarangan, hal ini berbahaya sekali. Saya tidak melihat apa dasar pertimbangan hukum jaksa menuntut dengan hukuman yang sangat ringan kepada Vincent Koh,” ucap Parningotan Malau.
Parningotan Malau juga memaparkan bahwa Pasal 106 ayat 1 joncto Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana telah dirubah dalam Pasal 60 ayat 4 dan ayat 10 Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang terdakwa dapat diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 1,5 Miliar rupiah.
“Secara eksplisit dikatakan bahwa barang siapa atau setiap orang yang memproduksi, dan atau mengedarkan barang-barang ilegal ini dipidana kurungannya tidak tanggung-tanggung paling lama 15 tahun, denda paling banyak 1,5 miliar rupiah. Saya sama sekali tidak menyangkan apa dasar hukum jaksa menuntut dengan pidana yang ringan ibarat kata hukuman mencuri sebutir pisang,” ujar Parningotan Malau sembari tertawa saat diwawancarai.
Jadi sanksi pidana yang diancam oleh Undang-Undang kesehatan sangat berat terhadap terdakwa pengedar sediaan farmasi ilegal, pidananya tidak main-main, yaitu bersifat komulatif, pidana penjara dan denda.
Parningotan Malau juga menduga bahwa terdakwa peredaran barang-barang gelap termasuk sediaan farmasi ini mustahil hanya orang perseorangan, pasti juga itu melibatkan korporasi. Apalagi dengan banyaknya barang-barang bukti yang berhasil dikumpulkan jaksa penuntut umum. Hal itu membuat saya tidak meyakini perbuatan dilakukan hanya orang perseorangan, artinya pasti ada peran korporasi. Harusnya juga jaksa aktif menyasar dan mencari keterlibatan korporasi untuk diminta pertanggungjawabannya. Hanya problemnya , selama ini baik ditingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan korporasi tidak pernah diminta pertanggungjawaban pidana,” kata Parningotan Malau.
Parningotan Malau juga menegaskan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang juga dapat diminta pertanggungjawabkan. Karena sekarang sejumlah undang-undang khusus, baik perundang-undangan pidana maupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana sudah merumuskan korporasi sebagai subjek hukum. Misalnya dalam Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan lain-lain. Artinya, para penegak hukum harus mencari apakah ada keterlibatan korporasi atas perbuatan pidana, antara lain peredaran atau distribusi barang-barang illegal, termasuk dalam hal ini tindak pidana peredaran kosmetik illegal.
Dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 secara eksplisit merumuskan bahwa korporasi dapat diminta pertanggungjawaban pidana. “Selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat 1. Selain pidana denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum,” ucap Parningotan.
“Kalau pengurus atau perseorangan pidana dendanya maksimal 1,5 miliar rupiah maka korporasi bisa kena sanksi pidana sekitar 4,5 miliar rupiah. Saya merupakan orang yang selalu bersuara perihal penegakan hukum terhadap korporasi sebab dalam undang-undang khusus kita di luar KUHP secara eksplisit mengakui korporasi sebagai subjek hukum. Nantinya juga korporasi juga akan disahkan dalam KUHP sebagai tindak pidana umum. Untuk memotong sebuah tindakan pidana harus dicari semuanya bukan hanya orang perseorangan saja tetapi korporasi juga harus dicari,” ujar Parningotan.
Parningotan menduga jika nanti pidana yang dijatuhkan hanya satu bulan atau dua bulan saja. Ini sama saja mengundang tindak pidana yang sama untuk bertumbuh subur di Kota Batam. “Itu sudah pasti, pertama kenapa diminati? Karena membutuhkan modal yang kecil dengan untung yang besar. Kemudian pidananya ecek-ecek, ini jadi masalah dan menjadi malapetaka hukum,” kata Parningotan.
Parningotan juga menyimpulkan bahwa semoga tidak terjadi deal-deal di jaman Presiden Joko Widodo. Pada jaman ini para penegak hukum seharusnya semakin jujur, professional dan qualified dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum. “Ini merupakan bukan kasus ecek-ecek melainkan ini kasus besar karena menyangkut kesehatan, kalau ini tidak benar-benar ditangani secara serius oleh penegak hukum maka kosmetik ilegal akan menjamur terus,” ujar Parningotan.
Menurut analisa hukum Parningotan bahwa dalam kasus-kasus peredaran barang-barang ilegal, termasuk sediaan farmasi, dalam hal ini peredaran kosmetik ilegal juga masih memungkinkan terdakwa dijerat dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Semua undang-undang ini bisa digunakan oleh penegak hukum untuk menjerat terdakwa, tergantung case-nya. “Baik tuntutan maupun pidana yang dijatuhkan sebaiknya dapat memberikan efek jera baik kepada terdakwa, apalagi Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) masih dikenal sebagai sarang barang-barang ilegal yang tidak mempunyai ijin edar,” kata Parningotan.
Jadi Parningotan berharap kepada jaksa untuk cerdas dalam membuat surat dakwaan dan surat tuntutan dalam perkara-perkara barang-barang ilegal, termasuk sediaan faramasi, dalam hal ini peredaran kosmetik ilegal. Jangan hanya menggunakan undang-undang tentang kesehatan saja. “Memang dari semua undang-undang yang saya sebutkan tadi ancaman hukuman yang paling berat itu adalah Undang-Undang tentang Kesehatan itu,” ucap Parningotan.
Demi tegaknya kode etik Jurnalistik perihal perimbangan berita maka Media Batampena.com berusaha menghubungi jaksa penuntut umum (JPU) Desi Sari Dewi melalui pesan singkat WhatsApp pada hari Selasa (28 Desember 2021) pada pukul 17:03 WIB.
- Apa dasar pertimbangan hukum Ibu sebagai JPU menuntut terdakwa Vincent Koh dalam perkara kosmetik ilegal dengan tuntutan selama dua bulan penjara, denda 5 juta rupiah, subsider 1 bulan kurungan badan?
- Sementara amanat Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 pasal 197 tentang Kesehatan mengatur ancaman maksimal pidana 15 tahun penjara dan denda 1,5 miliar rupiah. Apakah tuntutan yang terkesan ringan itu menjadi indikator bagi penegakan hukum diduga dilakukan secara ecek-ecek atau tidak serius untuk memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan mengedarkan kosmetik ilegal?
Dengan dua pertanyaan itu dikirimkan oleh Batampena.com membuat Desi Sari Dewi langsung memblokir nomor WhatsApp Media Batampena.com tanpa memberikan jawaban sepatah kata.
Batampena.com juga melakukan konfirmasi kepada Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Hendarsyah Yusuf Permana dengan mengirimkan pertanyaan melalui pesan singkat WhatsApp, diantaranya:
- Apa dasar pertimbangan hukum Kejaksaan Negeri Batam menuntut terdakwa Vincent Koh dengan tuntutan 2 bulan penjara, denda 5 juta rupiah, subsider 1 bulan kurungan?
- Bapak, apakah dengan tuntutan yang terkesan ringan dalam perkara kosmetik ilegal menjadi indikator penegakan hukum itu ecek-ecek atau tidak serius?
Sampai dengan berita ini dipublikasikan tidak ada sepatah kata yang dikirimkan Hendarsyah untuk menjawab konfirmasi itu. Hendarsyah hanya membaca beberapa pertanyaan yang dikirimkan oleh Batampena.com dalam melakukan konfirmasi.
Perlu diketahui bahwa Batampena.com belum sempat mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Batam untuk melakukan konfirmasi langsung kepada JPU Desi Sari Dewi dan Kasi Pidsus Hendarsyah Yusuf Permana.
Penulis: JP