Perasaan yang Terbangun
Hari ini, aku merasa seperti baru saja ditampar oleh kenyataan keras, tiba-tiba, dan tanpa peringatan. Yang aneh adalah, aku menyadari bahwa aku sebenarnya sudah lama tahu kebenaran itu. Ia bukan sesuatu yang benar-benar baru. Ia hanya sesuatu yang selama ini tidak ingin aku lihat. Kenyataan itu datang dalam bentuk percakapan singkat, beberapa kalimat sederhana, namun cukup untuk membuat seluruh ilusi yang kubangun runtuh.
Rasanya seperti tembok yang kukira kokoh ternyata hanya susunan kartu yang roboh dengan satu hembusan. Dan aku bertanya-tanya: kenapa sih, aku tidak pernah siap? Mengapa kebenaran meski jelas-jelas penting selalu terasa seperti pukulan?
Masa Lalu yang Tidak Dilihat
Sepanjang hari aku merenung. Mungkin karena selama ini aku hidup dalam zona nyaman yang kubentuk sendiri. Ada hal-hal yang sebenarnya sudah terlihat tanda-tandanya, tapi aku memilih menyingkirkannya ke sudut yang gelap. Aku memaksa diriku percaya bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa tidak ada yang perlu diubah. Bahwa aku aman. Padahal, jauh dalam hati, aku tahu ada sesuatu yang salah.
Tapi ya, begitu sifat manusia, kan? Kita lebih suka cerita yang membuat kita tenang daripada kenyataan yang membuat kita goyah. Saat kebenaran menamparku hari ini, rasanya seperti sedang dipaksa bercermin. Bukan cermin biasa tapi cermin yang memperlihatkan segala hal yang selama ini kuhindari. Kesalahan yang kubuat, pilihan yang kubiarkan berlarut-larut, harapan yang kubuat terlalu tinggi untuk seseorang atau sesuatu yang bahkan tidak pernah benar-benar menjanjikannya.
Ketakutan akan Kebenaran
Kita sulit menerima kebenaran karena dalam kebenaran ada akuntabilitas. Ada tuntutan untuk berubah. Dan perubahan… selalu menakutkan. Aku menulis ini untuk membongkar rasa yang sesak di dada. Rasanya memalukan mengetikkan pengakuan bahwa aku takut. Takut menyadari bahwa aku salah. Takut menerima bahwa apa yang kupegang erat selama ini ternyata hanya bayangan.
Tapi mungkin, justru inilah langkah awal yang selama ini kuhindari: mengakui kenyataan yang pahit lebih baik daripada memeluk kebohongan yang nyaman. Aku jadi teringat sebuah kalimat: “Kebenaran tak peduli apakah kau siap. Ia datang ketika saatnya tiba.” Dan benar saja kebenaran itu tidak menunggu sampai aku kuat, siap, atau tenang. Ia datang pada waktu yang menurutnya tepat, bukan menurutku.
Pengalaman yang Menyakitkan Namun Memberi Makna
Dan ketika ia datang, ia menampar, bukan menyentuh. Tapi setelah beberapa jam membiarkan diriku larut dalam rasa kecewa, aku perlahan menyadari sesuatu. Tampakan itu memang sakit, tapi juga membangunkanku. Kebenaran, semenyakitkan apa pun, tidak pernah datang untuk menghancurkan. Ia datang untuk memperjelas jalan. Untuk menyadarkan bahwa aku layak mendapatkan sesuatu yang lebih nyata. Sesuatu yang tidak dibangun di atas dugaan atau angan-angan.
Malam ini, aku mencoba berdamai dengan kenyataan itu. Mencoba menyambutnya, meski dengan hati yang masih perih. Mungkin ini awal dari langkah yang lebih jujur. Langkah menuju diri yang tidak lagi bersembunyi di balik cerita yang ingin kudengar. Dan aku berjanji pada diriku: ketika kebenaran kembali datang suatu hari nanti karena itu pasti, aku ingin lebih siap. Atau setidaknya, aku ingin cukup berani untuk tidak lari lagi.
Untuk sekarang, aku menutup diary ini dengan satu napas panjang. Hari ini pahit, tapi aku berharap esok punya rasa yang lebih lembut.

















