
Perubahan iklim global terus memicu peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam di Indonesia. Fenomena ini mencakup banjir parah, pasang laut ekstrem, hingga gelombang panas yang membahayakan jutaan jiwa.
Menurut Farah Naz, Direktur Iklim Global di SJ Group, perubahan iklim merupakan tantangan global yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Wilayah pesisir dan perkotaan padat penduduk menjadi yang paling rentan.
“Ketahanan pesisir adalah isu krusial bagi Indonesia. Kita menyaksikan peningkatan curah hujan ekstrem, kenaikan suhu, serta tekanan besar pada kota-kota pesisir. Ini adalah konsekuensi langsung dari perubahan iklim global yang terjadi secara keseluruhan,” ujar Farah.
Ia juga menyoroti dampak negatif dari urbanisasi pesat dan pembangunan yang masif, yang memperparah efek pulau panas perkotaan. Kondisi ini, menurut Farah, menimbulkan stres panas yang signifikan, memengaruhi kesehatan masyarakat, produktivitas, dan kelayakhunian perkotaan.
Transformasi Menuju “Kota Pintar Iklim”
Menghadapi tantangan ini, Farah menekankan perlunya transformasi kota-kota besar seperti Jakarta menuju konsep “kota pintar iklim” (climate-smart city). Konsep ini mengintegrasikan ketahanan iklim dengan peningkatan kualitas hidup penduduk. Kunci utama dari strategi ini adalah pelibatan aktif pemangku kepentingan lokal dalam merumuskan solusi yang relevan dengan konteks Indonesia.
“Solusi yang berhasil di negara lain seperti Singapura belum tentu efektif jika diterapkan di Jakarta. Setiap kota memerlukan peta jalan ketahanan iklim, inovasi, dan investasi yang disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayahnya,” jelas Farah.
Ia menggarisbawahi bahwa ketahanan iklim memiliki dua pilar utama: solusi teknis dan pemanfaatan teknologi. Solusi teknis mencakup langkah-langkah konkret seperti perlindungan pesisir dan manajemen banjir. Sementara itu, pemanfaatan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, sangat penting untuk memantau dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, kesehatan publik, dan infrastruktur perkotaan.
Biaya Kegagalan Jauh Lebih Mahal dari Investasi
Farah juga memberikan peringatan keras mengenai besarnya biaya ekonomi yang harus ditanggung jika pemerintah dan sektor swasta mengabaikan investasi dalam ketahanan iklim. Ia mencontohkan sebuah badai di Amerika Serikat yang hanya berlangsung 10 jam namun menimbulkan kerugian miliaran dolar. Risiko serupa, menurutnya, sangat mungkin terjadi di kota-kota besar Asia, termasuk Jakarta.
“Pertanyaan mendasarnya bukan lagi tentang berapa biaya investasi yang dibutuhkan saat ini, melainkan berapa besar biaya yang harus kita tanggung jika kita memilih untuk tidak bertindak,” tegas Farah.
Dalam konteks sistem peringatan dini dan adaptasi berbasis komunitas, Farah mengidentifikasi beberapa elemen kunci. Ini meliputi:
- Akses Publik terhadap Informasi Bencana: Masyarakat harus memiliki akses mudah dan cepat terhadap informasi terkini mengenai potensi bencana.
- Jaringan Evakuasi yang Memadai: Ketersediaan jalur dan fasilitas evakuasi yang aman dan efisien sangat krusial.
- Infrastruktur Pengelola Air: Pembangunan infrastruktur yang mampu menyerap dan mengelola air hujan secara efektif dapat mengurangi risiko banjir.
- Ketahanan Sistem Pangan: Memastikan ketersediaan pangan yang stabil, bahkan saat terjadi bencana.
- Logistik Darurat: Kesiapan logistik untuk merespons kebutuhan mendesak selama dan setelah bencana.
Lebih lanjut, Farah menambahkan bahwa perencanaan darurat yang efektif memerlukan beberapa komponen penting:
- Pemodelan Risiko Iklim: Analisis data jangka panjang untuk memprediksi dan memahami risiko iklim yang dihadapi.
- Pembelajaran dari Kejadian Sebelumnya: Mengevaluasi dan mengambil pelajaran dari bencana yang telah terjadi untuk perbaikan strategi di masa depan.
- Pemberdayaan Masyarakat: Memberikan edukasi dan pelatihan kepada masyarakat agar mereka memahami peran dan langkah-langkah yang harus diambil saat bencana terjadi.
Transisi Menuju Net Zero dan Manajemen Karbon
Terkait dengan upaya transisi menuju emisi nol bersih (net zero), Farah menekankan pentingnya perencanaan jangka panjang yang terintegrasi. Dalam bukunya yang berjudul “Net Zero City”, ia menguraikan perlunya pendekatan bertahap yang meliputi:
- Asesmen: Melakukan penilaian menyeluruh terhadap kondisi saat ini.
- Perancangan Solusi: Mengembangkan strategi dan solusi yang inovatif.
- Pengujian: Menguji efektivitas solusi yang dirancang.
- Penskalaan: Menerapkan solusi dalam skala yang lebih luas.
Seluruh tahapan ini, menurut Farah, harus didukung oleh model investasi yang kuat dan pemodelan iklim yang akurat.
“Indonesia memerlukan rencana bisnis iklim yang komprehensif di tingkat kota maupun nasional. Peta jalan dekarbonisasi harus selaras dengan model ekonomi agar transisi ini benar-benar efektif dan berkelanjutan,” ujarnya.
Farah juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam hal manajemen karbon. Ia menegaskan perlunya pemetaan iklim yang mencakup seluruh sektor ekonomi. Upaya dekarbonisasi yang hanya dilakukan secara parsial, tanpa pendekatan yang menyeluruh, dinilai tidak akan mencapai hasil yang optimal.
Menurut Farah, keberhasilan transisi menuju masa depan yang tangguh terhadap iklim sangat bergantung pada partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat. Melalui buku “Net Zero City” dan “Mission Zero”, ia mendorong pendekatan keberlanjutan yang partisipatif. Pendekatan ini menggabungkan solusi teknis, praktik ekonomi sirkular, serta edukasi publik yang menjangkau berbagai generasi.
“Kita harus berpikir secara global, namun bertindak secara lokal. Ketahanan iklim hanya dapat tercapai jika semua pihak, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat, secara aktif menjadi bagian dari solusi,” pungkasnya.















