Dugaan Penolakan Proyek Chromebook Berujung Pencopotan Pejabat di Kemendikbudristek
Sebuah kasus dugaan korupsi terkait pengadaan Chromebook di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengungkap adanya pencopotan dua pejabat eselon II. Tindakan ini disebut-sebut dilakukan oleh mantan Menteri Nadiem Makarim karena dugaan penolakan terhadap proyek pengadaan tersebut. Fakta ini terungkap dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, di mana jaksa penuntut umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap tiga terdakwa.
Ketiga terdakwa yang dimaksud adalah Ibrahim Arief selaku Konsultan Teknologi Kemendikbudristek, Sri Wahyuningsih yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Sekolah Dasar (SD), dan Mulyatsyah yang pernah menjabat sebagai Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Peran Pejabat Eselon II dalam Proyek Pengadaan TIK
Dalam persidangan, terungkap bahwa dua pejabat di bawah Nadiem Makarim, yaitu Khamim dan Poppy Dewi Puspita, yang merupakan pejabat eselon II di Kemendikbudristek, diduga telah menolak proyek pengadaan Chromebook. Peristiwa ini bermula ketika Khamim dan Poppy ditunjuk sebagai Wakil Ketua I dan II dalam Tim Teknis Analisa Kebutuhan Alat Pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk jenjang SD dan SMP pada tahun anggaran 2020. Penunjukan ini dilakukan pada tanggal 27 April 2025.
Selama menjabat sebagai wakil ketua tim teknis TIK, baik Khamim maupun Poppy kerap dilibatkan dalam berbagai proses pengadaan TIK untuk kedua jenjang sekolah tersebut. Namun, masa jabatan mereka sebagai wakil ketua tim teknis TIK tidak berlangsung lama. Belum genap dua bulan menjabat, keduanya dicopot dari posisi mereka oleh Menteri Nadiem Makarim.
Pergantian Jabatan dan Dugaan Perbedaan Pendapat
Setelah pencopotan Khamim dan Poppy, terjadi pergantian jabatan struktural di Kemendikbudristek. Jabatan Khamim yang sebelumnya sebagai Direktur SD pada Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUDasmen) digantikan oleh Sri Wahyuningsih. Sementara itu, jabatan Poppy sebagai Direktur SMP pada Direktorat Jenderal PAUDasmen dialihkan kepada Mulyatsyah. Ironisnya, Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah kini berstatus sebagai terdakwa dalam perkara pengadaan Chromebook ini.
Salah satu alasan yang diungkapkan oleh jaksa penuntut umum terkait pencopotan kedua pejabat tersebut adalah dugaan penolakan terhadap proyek pengadaan Chromebook. Secara spesifik, Poppy Dewi Puspita disebut memiliki perbedaan pandangan terkait proyek TIK tersebut.
Jaksa menjelaskan, “Salah satu alasan Nadiem Anwar Makarim mengganti Pejabat Eselon 2 diantaranya Poppy Dewi Puspitawati karena berbeda pendapat terkait hasil kajian teknis yang tidak sesuai dengan arahan Nadiem Anwar Makarim tidak setuju jika pengadaan merujuk kepada satu produk tertentu.”
Perbedaan pendapat ini diduga menjadi pemicu penggantian Poppy. Ia kemudian digantikan oleh Mulyatsyah, yang sebelumnya telah menandatangani dokumen petunjuk dan teknis pengadaan peralatan TIK. “Sehingga digantikan oleh Mulyatsyah yang sudah menandatangani pengantar Juknis Pengadaan Peralatan TIK SMP Tahun Anggaran 2020 tertanggal 15 Mei 2020,” pungkas jaksa.
Kerugian Negara dan Pihak yang Diuntungkan
Perkara dugaan korupsi pengadaan Chromebook ini menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Jaksa mengungkapkan bahwa total kerugian negara mencapai Rp2,1 triliun. Angka ini terdiri dari dua komponen utama:
- Mark-up Harga Chromebook: Sebesar Rp1,5 triliun.
- Pengadaan CDM (Content Delivery Network) yang Tidak Bermanfaat: Senilai US$44.054.426, atau setara dengan sekitar Rp621 miliar.
Lebih lanjut, jaksa menyampaikan bahwa terdapat 25 pihak yang terdiri dari individu dan perusahaan yang diduga memperkaya diri dalam kasus ini. Salah satu nama yang disebut dalam daftar pihak yang diuntungkan adalah Nadiem Makarim, dengan jumlah yang diduga diterimanya mencapai Rp809 miliar.
Meskipun seharusnya hadir dalam persidangan untuk memberikan keterangan, Nadiem Makarim absen karena alasan sakit. Kehadiran dan keterangan dari mantan menteri ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kronologi dan keputusan-keputusan yang diambil terkait proyek pengadaan Chromebook yang kini berujung pada kasus hukum dengan kerugian negara yang fantastis. Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama yang melibatkan anggaran besar dan teknologi yang krusial bagi dunia pendidikan.

















