Di kedalaman hutan tropis Kalimantan yang lembap, terdengar alunan melodi merdu yang memecah keheningan pagi. Suara itu bukanlah kicauan burung, melainkan panggilan khas dari owa kalimantan (Hylobates albibarbis), primata lincah yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di pucuk-pucuk pohon. Mereka adalah komponen vital dari ekosistem hutan hujan basah, dengan preferensi khusus terhadap hutan rawa gambut yang menjadi habitat favorit mereka.
Sayangnya, melodi indah sang owa kini terancam meredup. Populasi mereka telah mengalami penurunan drastis selama beberapa dekade terakhir, membawa spesies endemik ini ke jurang kepunahan. Ancaman deforestasi yang masif terus menyempitkan ruang hidup mereka. Inilah kisah tentang primata istimewa yang berjuang untuk bertahan di tengah gempuran modernitas yang menggerus habitat alami mereka.
Ciri Khas Janggut Putih yang Menonjol
Ketika melihat primata ini, hal pertama yang kemungkinan besar akan menarik perhatian Anda adalah “jenggot” putih tebal yang memberikan kontras mencolok dengan wajahnya yang hitam dan bulunya yang berwarna cokelat keabu-abuan. Ciri fisik inilah yang menjadi asal-usul nama ilmiahnya, albibarbis, yang diambil dari bahasa Latin “albus” yang berarti putih dan “barba” yang berarti janggut. Deskripsi yang sangat tepat, bukan?
Meskipun sering disebut sebagai Owa Kelabu, nama owa kalimantan Janggut Putih lebih spesifik merujuk pada spesies ini. Di masa lalu, mereka sempat dianggap sebagai subspesies dari Owa Lincah (Hylobates agilis) yang ditemukan di Sumatra. Namun, penelitian DNA modern telah berhasil membuktikan bahwa mereka adalah spesies yang berbeda dan unik. Oleh karena itu, penting untuk tidak tertukar antara keduanya.
Owa Kalimantan: Primata yang Menganut Monogami

Dalam dunia satwa liar, gaya hidup monogami tidak terlalu umum ditemukan. Namun, owa kalimantan merupakan salah satu pengecualian yang menarik. Mereka hidup dalam kelompok keluarga kecil yang umumnya terdiri dari satu pasangan jantan dan betina dewasa, beserta satu hingga empat anak mereka yang belum mandiri. Ikatan pasangan dalam spesies ini sangat kuat dan berpotensi berlangsung seumur hidup.
Keluarga kecil ini memiliki sifat teritorial yang kuat, mereka akan dengan gigih mempertahankan wilayahnya yang luasnya berkisar antara 30 hingga 47 hektare. Ketika anak-anak mereka mencapai usia dewasa, sekitar empat tahun atau lebih, mereka akan didorong oleh orang tua dengan jenis kelamin yang sama untuk meninggalkan kelompok keluarga dan memulai keluarga baru. Proses ini sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup spesies sambil menjaga keseimbangan sumber daya di wilayah mereka.
Komunikasi Melalui Nyanyian Merdu Setiap Pagi

Salah satu aspek paling magis dari owa kalimantan adalah “konser” pagi mereka yang spektakuler. Setiap fajar menyingsing, pasangan owa akan melantunkan duet merdu yang mampu terdengar hingga jarak dua kilometer. Vokal utama dalam duet ini adalah sang betina, yang akan mengeluarkan “great call”, serangkaian nada melengking yang kompleks. Sang jantan kemudian akan menimpali dengan “coda”, yaitu jawaban singkat yang melengkapi melodi.
Nyanyian ini bukan sekadar pameran kemampuan vokal. Menurut informasi dari New England Primate Conservancy, panggilan duet ini memiliki fungsi ganda yang sangat penting. Pertama, sebagai sarana untuk memperkuat ikatan antara pasangan. Kedua, sebagai deklarasi kepemilikan wilayah kepada kelompok owa lain di sekitarnya, semacam pesan yang jelas bahwa “area ini sudah ada yang punya!”.
Gerakan Lincah Bak Akrobat di Pepohonan

Owa kalimantan adalah primata arboreal, yang berarti mereka menghabiskan hampir seluruh hidupnya di atas pohon dan sangat jarang turun ke permukaan tanah. Untuk berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya, mereka menggunakan teknik gerakan yang dikenal sebagai brachiation. Ini adalah gaya berayun yang mengandalkan lengan yang sangat panjang dan kuat, memberikan kesan seperti akrobat profesional yang sedang beraksi di udara.
Dengan lengan yang panjangnya mencapai 1,5 kali panjang kakinya, mereka mampu melompat antar pohon dengan jarak lebih dari 10 meter dalam sekali ayunan. Kecepatan mereka pun luar biasa, dapat mencapai 55 km/jam. Kemampuan luar biasa ini menjadikan mereka sangat efisien dalam menjelajahi kanopi hutan untuk mencari makanan sekaligus menghindari predator seperti macan dahan, elang, dan ular sanca.
Pola Makan yang Berkontribusi pada Kesehatan Hutan

Sebagai primata frugivora, makanan utama owa kalimantan adalah buah-buahan matang yang kaya akan gula, dengan buah ara sebagai komponen utama yang menyumbang sekitar 25% dari total konsumsi makanan mereka. Namun, ketika buah sulit ditemukan, mereka tidak ragu untuk mengonsumsi daun muda, bunga, atau serangga sebagai sumber makanan alternatif. Gigi taring mereka yang panjang sangat berguna untuk menembus kulit buah yang tebal.
Peran mereka di alam lebih dari sekadar pemakan buah. Berdasarkan informasi dari New England Primate Conservancy, owa kalimantan adalah agen penyebar biji yang sangat efektif. Setelah mengonsumsi buah, bijinya akan dikeluarkan bersama kotoran di lokasi yang jauh dari pohon induk. Proses ini sangat krusial dalam membantu regenerasi hutan secara alami dan menjaga keragaman hayati tumbuhan. Dengan demikian, kesehatan populasi owa berbanding lurus dengan kesehatan hutan itu sendiri.
Status Terancam Punah Akibat Aktivitas Manusia

Ini adalah fakta yang paling menyedihkan. International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah mengklasifikasikan owa kalimantan sebagai spesies yang Terancam Punah (Endangered). Diperkirakan populasinya telah berkurang lebih dari 50% hanya dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, dan tren penurunan ini diprediksi akan terus berlanjut.
Ancaman terbesar datang dari hilangnya habitat. Deforestasi besar-besaran yang dilakukan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit, penebangan liar, aktivitas pertambangan, dan kebakaran hutan menjadi penyebab utama. Hutan Kalimantan yang menjadi rumah mereka terus menghilang dengan laju sekitar 1% setiap tahunnya antara tahun 1973 hingga 2017. Selain itu, perburuan liar untuk perdagangan hewan peliharaan ilegal juga turut memperparah kondisi mereka.
Keberadaan owa kalimantan adalah cerminan langsung dari kondisi hutan kita. Suara nyanyian mereka yang semakin lirih menjadi pengingat bagi kita semua bahwa ada kehidupan berharga yang sangat bergantung pada kelestarian alam. Melindungi mereka berarti secara simultan melindungi seluruh ekosistem hutan Borneo untuk dinikmati oleh generasi yang akan datang.

















