Perkembangan isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua menjadi sorotan tajam dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) Thomas Aquinas bersama Satu Honai Indonesia. Diskusi yang bertajuk “Mengurai Benang Kusut Problem HAM di Papua” ini diadakan di Margasiswa I, Jakarta Pusat, pada hari Selasa, 10 Desember 2025, bertepatan dengan peringatan Hari HAM Internasional.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber kompeten di bidangnya, termasuk filsuf dan Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ, Direktur Satu Honai Indonesia Hironimus Hilapok, advokat Aliansi Mahasiswa Papua Jakarta Michael Himan, serta Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis Papua PP PMKRI Gerad Kosamah.
Sorotan terhadap Memburuknya Kondisi HAM di Papua
Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis Papua PP PMKRI, Gerad Kosamah, menyampaikan keprihatinannya atas kondisi HAM di Papua yang terus memburuk. PP PMKRI menyoroti persoalan ini sebagai isu krusial yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.
Menurut data yang dihimpun oleh PP PMKRI, lebih dari 100 ribu Orang Asli Papua (OAP) terpaksa mengungsi akibat kekerasan yang diduga melibatkan aparatur negara. Fakta ini menjadi indikator kuat bahwa ruang hidup bagi masyarakat Papua semakin terbatas.
- Diskriminasi
- Intimidasi
- Pembungkaman ruang demokrasi
Masih menjadi persoalan yang menghantui kehidupan sehari-hari masyarakat Papua. Jumlah pengungsi yang mencapai 103.218 jiwa menunjukkan dampak yang sangat signifikan dari konflik dan ketidakadilan yang terjadi.
Kritik terhadap Pemerintah Pusat
Kosamah juga mengkritik kurangnya kepedulian negara terhadap OAP yang terpinggirkan di tanahnya sendiri. Ia menuding pemerintah pusat terlalu fokus pada eksploitasi sumber daya alam Papua, namun mengabaikan nasib masyarakat Papua yang tertindas.
Pandangan Romo Magnis-Suseno tentang Akar Masalah Papua
Romo Magnis-Suseno menegaskan bahwa persoalan Papua adalah persoalan kemanusiaan yang telah berlangsung sejak integrasi wilayah tersebut ke Indonesia. Ia melihat kekerasan sebagai akar dari berbagai masalah yang tak kunjung terselesaikan selama lebih dari enam dekade.
“Papua adalah luka terbuka di dalam negara ini. Impunitas yang terjadi, khususnya di Papua, harus diakhiri,” tegasnya.
Usulan Dialog dan Pengurangan Kehadiran Militer
Romo Magnis-Suseno mengusulkan perlunya perundingan antara Papua dan Jakarta dalam ruang yang netral dan bebas, bahkan bila perlu digelar di luar negeri. Ia juga menekankan pentingnya mengurangi keberadaan militer di Papua untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi penyelesaian masalah.
Peran Gereja dalam Mendukung Perjuangan Rakyat Papua
Romo Magnis juga mengimbau Gereja Katolik dan gereja-gereja lokal di Papua untuk turut mendukung perjuangan rakyat Papua dalam menuntut kesetaraan dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Dukungan ini diharapkan dapat memberikan kekuatan moral dan spiritual bagi masyarakat Papua dalam menghadapi berbagai tantangan.
Pentingnya Mengakhiri Impunitas
Salah satu poin penting yang ditekankan dalam diskusi ini adalah perlunya mengakhiri impunitas yang terjadi di Papua. Impunitas, atau kekebalan hukum, merupakan salah satu faktor utama yang melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan di wilayah tersebut.
Dengan mengakhiri impunitas, diharapkan pelaku pelanggaran HAM dapat diadili secara adil dan transparan, sehingga memberikan efek jera dan mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan.
Upaya Mencari Solusi Komprehensif
Diskusi publik ini merupakan salah satu upaya untuk mencari solusi komprehensif terhadap persoalan HAM di Papua. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, aktivis, mahasiswa, dan tokoh agama, diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi-rekomendasi yang konstruktif dan dapat diimplementasikan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Persoalan HAM di Papua merupakan isu kompleks yang memerlukan penanganan yang serius dan berkelanjutan. Tantangan yang dihadapi sangat besar, namun harapan untuk menciptakan Papua yang lebih adil dan damai tetap ada. Dengan adanya kemauan politik yang kuat, dialog yang inklusif, dan penegakan hukum yang adil, diharapkan persoalan HAM di Papua dapat diselesaikan secara bertahap dan berkelanjutan.

















