Mengurai Perasaan Bersalah pada Ibu: Sebuah Refleksi Mendalam tentang Peran Pengasuhan
Perasaan bersalah kerap kali menjadi bayangan yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang ibu, terutama ketika dihadapkan pada perasaan bahwa dirinya belum mampu memberikan yang “sempurna” bagi buah hatinya. Fenomena ini, menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga, Farraas Afiefah Muhdiar, merupakan sesuatu yang sangat umum dan wajar terjadi.
“Sebenarnya itu sangat umum dan sangat wajar, karena kalau jadi ibu memang kita sayang dan peduli sama anak. Rasa bersalah itu bentuk dari kepedulian sebenarnya,” jelas Farraas dalam sebuah wawancara mendalam di Jakarta Selatan, pada tanggal 10 Desember 2025. Berbagai aspek dalam peran keibuan, mulai dari pilihan metode pengasuhan, keputusan-keputusan harian yang harus diambil, hingga kecenderungan untuk membandingkan diri dengan ibu lain yang tampil ideal di media sosial, semuanya dapat menjadi pemicu munculnya perasaan “tidak cukup baik”.
Mengapa Rasa Bersalah dalam Pengasuhan Anak Itu Wajar?
1. Rasa Bersalah Berasal dari Ekspektasi yang Ditetapkan
Farraas menyoroti bahwa akar dari perasaan bersalah pada ibu sering kali tertanam dalam ekspektasi yang ada. Ekspektasi ini bisa berasal dari dua sumber utama: dorongan internal dari diri sendiri maupun pengaruh dari lingkungan sekitar. Dalam peran barunya sebagai ibu, banyak perempuan tanpa disadari menetapkan standar yang begitu tinggi untuk diri mereka sendiri. Jauh sebelum sang buah hati lahir, tak sedikit perempuan yang sudah memiliki gambaran ideal tentang sosok ibu yang ingin mereka wujudkan.
“Jadi dari ekspektasi diri sendiri juga tentang performa menjadi ibu, dan pasti semua perempuan kalau ingin jadi ibu atau sebelum anaknya lahir sudah punya bayangan, misalnya aku pengen jadi ibu yang kayak gini,” ujar Farraas. Namun, masalah mulai muncul ketika ekspektasi ideal ini berbenturan keras dengan realitas kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan dan keterbatasan.
2. Pengaruh Media Sosial dan Banjir Informasi Berlebihan
Menurut Farraas, para ibu di era modern ini cenderung lebih rentan mengalami perasaan bersalah dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari derasnya arus informasi yang begitu mudah diakses, terutama melalui platform media sosial.
“Buat ibu-ibu masa kini, kalau aku lihat lebih rentan untuk merasa bersalah karena mungkin yang dibaca juga lebih banyak,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa perbandingan yang dilakukan oleh ibu masa kini jauh lebih kompleks. Jika pada masa lalu perbandingan utama hanya datang dari lingkungan keluarga terdekat, kini sumbernya meluas ke berbagai platform digital yang menyajikan berbagai macam narasi dan citra.
“Kalau zaman dulu ngebandinginnya hanya sama omongan orang tua, kalau sekarang bandingin sama apa yang ada di medsos,” terang Farraas. Kondisi ini secara signifikan membuat para ibu mudah meragukan keputusan yang telah mereka ambil, bahkan ketika sebelumnya mereka merasa sangat yakin dengan pilihan tersebut.
Ketika Ekspektasi Tak Sejalan dengan Realitas Kehidupan
Farraas menegaskan bahwa ekspektasi berlebihan terhadap diri sendiri akan memperburuk kondisi psikologis ibu, terutama ketika jurang pemisah antara ekspektasi tersebut dengan realitas dan sumber daya yang dimiliki menjadi terlalu lebar. “Ekspektasi itu akan berbahaya ketika sangat jauh dari realita atau sumber dayanya,” tegasnya.
Ia memberikan gambaran melalui contoh situasi yang sering dialami oleh banyak ibu: keinginan untuk menjadi ibu yang ideal, yang mampu memenuhi semua kebutuhan anak secara sempurna, namun tidak didukung oleh ketersediaan waktu, tenaga, maupun bantuan yang memadai. “Misalnya aku punya ekspektasi, aku pengen jadi ibu yang standarnya segini, tapi ternyata resources yang dipunya enggak memadai, waktunya enggak ada misalnya,” jelas Farraas. Kesenjangan antara impian dan kenyataan ini bisa menjadi sumber stres yang signifikan.
Minimnya Dukungan Berpotensi Memicu Stres yang Tidak Sehat
Selain keterbatasan waktu dan energi yang menjadi tantangan utama, kurangnya dukungan dari berbagai pihak juga menjadi faktor krusial yang dapat memperparah kondisi psikologis seorang ibu. Farraas menekankan bahwa ibu yang harus menjalani peran pengasuhan seorang diri, tanpa bantuan yang memadai, lebih rentan mengalami stres berlebih yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mentalnya.
Ia menambahkan, sangat penting bagi para ibu untuk mulai menyadari bahwa perasaan bersalah yang muncul tidak serta-merta berarti sebuah kegagalan dalam mengasuh anak. Sebaliknya, kesadaran akan perasaan ini justru bisa menjadi langkah awal yang berharga untuk memahami batasan kemampuan diri dan secara proaktif mencari dukungan yang benar-benar dibutuhkan.
Dengan memahami bahwa rasa bersalah sejatinya adalah manifestasi dari kepedulian yang mendalam, para ibu diharapkan dapat mulai menunjukkan belas kasih yang lebih besar kepada diri mereka sendiri. Perlu diingat, pengasuhan anak bukanlah sebuah perlombaan menuju kesempurnaan yang absolut, melainkan sebuah proses panjang yang kaya akan pembelajaran berkelanjutan, penyesuaian diri yang dinamis, dan penerimaan yang tulus terhadap segala keterbatasan yang ada.

















