FIM-WP KPK Nabire Gelar Seminar HAKTP untuk Mengangkat Isu Kekerasan terhadap Perempuan di Papua Tengah
Forum Independen Mahasiswa West Papua Komite Pimpinan Kota (FIM-WP KPK) Nabire menggelar seminar dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Kegiatan ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat dan pemerintah tentang kondisi kemanusiaan yang dialami ribuan warga sipil di Papua Tengah akibat konflik bersenjata. Seminar berlangsung dari 25 November 2025 hingga 10 Desember 2025 di Asrama Mahasiswa Intan Jaya, Nabire.
Situasi Darurat Kemanusiaan di Wilayah Konflik
FIM-WP KPK menyoroti situasi pengungsian ribuan warga sipil yang terdampak konflik bersenjata di wilayah Intan Jaya dan Puncak Jaya. Menurut data yang dirilis oleh organisasi tersebut, lebih dari 103.000 warga Papua telah mengungsi sejak 2018 hingga Oktober 2025 akibat kontak tembak antara aparat keamanan dan kelompok separatis.
Perwakilan FIM-WP KPK Nabire, Linda Mote, menegaskan bahwa seminar ini bertujuan untuk menyadarkan negara akan kewajiban konstitusionalnya dalam memenuhi hak dasar masyarakat sipil. Ia berharap agar warga sipil dapat mendapatkan ruang hidup yang damai dan aman, pendidikan yang memadai, serta akses layanan kesehatan yang baik.
Kondisi Lapangan yang Mengkhawatirkan
Narasumber seminar, Melkiana Dendegau, menjelaskan situasi riil di lapangan yang sangat mengkhawatirkan. Menurutnya, warga sipil telah kehilangan hak hidup paling dasar seperti akses pendidikan dan fasilitas kesehatan yang memadai. “Akses pendidikan sangat terbatas, dan fasilitas kesehatan pun tidak memadai,” ujar Melkiana.
Selain itu, banyak perempuan mengalami trauma psikis berkepanjangan karena menyaksikan kekerasan, kehilangan keluarga, dan hidup dalam ketidakpastian di pengungsian. Berdasarkan data FIM-WP KPK, keterbatasan akses kesehatan menyebabkan banyak perempuan mengalami kehamilan berisiko dan anak-anak mengalami gizi buruk.
Anak-Anak Terancam Kehilangan Masa Depan
Anak-anak juga terancam kehilangan masa depan mereka karena tidak dapat mengikuti pendidikan formal secara konsisten. Banyak dari mereka terpaksa meninggalkan sekolah akibat kondisi pengungsian yang tidak stabil. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap generasi penerus bangsa di wilayah tersebut.
Permintaan kepada Pemerintah
FIM-WP KPK meminta pemerintah daerah dan pusat untuk segera menghentikan kekerasan dan menyediakan ruang aman yang layak dan manusiawi bagi para pengungsi. Selain itu, organisasi ini juga menolak kehadiran militer TNI-Polri yang menggunakan fasilitas sipil. Pasukan TNI organik dan non-organik harus segera ditarik dari pemukiman sipil.
Penanganan krisis kemanusiaan harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan semua pihak, dan mendengarkan suara perempuan sebagai kelompok yang paling menderita. Dengan demikian, upaya-upaya yang dilakukan dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sejahtera bagi seluruh masyarakat di Papua Tengah.

















