
Di tepi Pantai Barat Pangandaran, dua becak motor terparkir rapi, menjadi saksi bisu aktivitas pagi yang masih tenang. Di sampingnya, dua pria paruh baya menikmati kopi hangat, sesekali memandang laut yang masih lengang. Pemandangan pedagang es dan petugas kebersihan yang menyapu pasir adalah hal biasa yang menyambut mereka setiap hari. Salah satu dari mereka adalah Midi, 60 tahun, warga asli Pangandaran yang tinggal di kawasan Wonoharjo. Dengan kaus biru, topi kuning, celana training biru hitam, dan tas pinggang, Midi mungkin terlihat seperti tukang becak biasa yang menunggu penumpang. Namun, di balik kesederhanaan itu, terbentang sebuah kisah perjalanan hidup yang panjang.
Sebelum hari-harinya dihabiskan mengayuh becak, Midi adalah seorang nelayan. Kecintaannya pada laut sudah tumbuh sejak bangku sekolah dasar, tepatnya saat ia duduk di kelas 4 SD. Ia memulai pengalamannya di laut dengan ikut bekerja di kapal orang lain. “Dulu saat SD kelas 4 ikut kapal orang dulu, saya masih ikut kerja sama perahu orang,” kenangnya dengan senyum tipis.

Bertahun-tahun bekerja sebagai awak kapal, Midi gigih mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Usahanya membuahkan hasil, ia akhirnya mampu membeli kapal sendiri. “Alhamdulillah saat ada rezeki, saya bisa beli kapal sendiri,” ujarnya penuh syukur. Namun, kehidupan sering kali tak terduga. Sebuah musibah memaksa Midi harus menjual kapal kesayangannya. Dari situlah, ia memutuskan untuk kembali menekuni profesi yang sudah dikenalnya sejak lama, yaitu menjadi tukang becak. “Ya sudah, saya balik lagi narik becak. Dari dulu sebenarnya sudah biasa narik, tapi tidak tetap. Setelah kejadian itu, ya diterusin saja,” jelasnya.
Bagi Midi, menjadi tukang becak bukan sekadar mencari nafkah, melainkan sebuah cara untuk menikmati setiap harinya. Ia menemukan kebebasan dalam pekerjaannya. “Kerjanya bebas, bisa sambil keliling, bisa nganter turis, dan warga lokal. Narik becak tuh jadi kesenengan saya sendiri, bisa kerja sambil jalan-jalan,” ungkapnya dengan antusias.

Keahliannya dalam mengemudikan becak tidak hanya terbatas di area pantai. Midi kerap diminta mengantar penumpang ke berbagai destinasi wisata yang cukup jauh dari pusat pantai, seperti Pantai Madasari, Batu Hiu, Batu Karas, hingga Green Canyon. Meskipun jaraknya terbilang menantang untuk ukuran becak, Midi tetap melakoninya, asalkan ada kesepakatan tarif yang jelas dengan penumpang sesuai jarak tempuh.
Tarif becak di Pangandaran cukup bervariasi. Untuk warga lokal, tarif perjalanan singkat dimulai dari Rp20.000. Jika hanya berkeliling area pantai atau menuju pasar, tarifnya berkisar antara Rp25.000 hingga Rp30.000. Untuk perjalanan yang lebih jauh, tarifnya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Midi pernah merasakan manisnya pekerjaan ini dengan mendapatkan bayaran tertinggi sebesar Rp650.000 dari turis asing dan Rp500.000 dari wisatawan domestik.
Namun, tidak setiap hari membawa rezeki yang melimpah. Midi pernah mengalami masa-masa sulit, bahkan hingga seminggu penuh tanpa mendapatkan satu pun penumpang. “Ya ada masa-masanya begitu. Sepi, enggak dapat sepeser pun, tapi ya tetap disyukuri aja, yang penting datang selamat, pulang juga selamat, rejeki kan bisa dicari besok lagi,” tuturnya lirih, menunjukkan ketegaran hatinya tanpa keluhan.

Hal yang menarik dari kehidupan para tukang becak di Pangandaran adalah minimnya persaingan yang sering kali diasumsikan orang. Mereka hidup berdampingan dalam sebuah sistem tradisi yang mereka sebut Sekoproyo. “Sekoproyo itu saling bekerja sama. Sistemnya giliran. Siapa yang datang duluan, dia yang narik dulu. Gak ada rebut-rebutan,” jelas Midi, menguraikan prinsip dasar sistem tersebut.
Paguyuban tukang becak ini juga memanfaatkan teknologi modern untuk koordinasi. Mereka memiliki grup WhatsApp untuk saling bertukar informasi jika ada penumpang di suatu lokasi. Tidak ada batasan wilayah atau zona terlarang antarbecak; mereka bebas berpindah pangkalan jika daerahnya sedang sepi penumpang. Intinya adalah saling mendukung agar semua anggota mendapatkan bagian rezeki.
Sistem Sekoproyo ini menjadi bukti nyata bahwa aturan berbasis solidaritas masih hidup dan berfungsi di beberapa komunitas. “Kita saling bantu saja. Biar semuanya bisa pulang bawa uang, walaupun sedikit,” ujar Midi, menegaskan semangat kebersamaan mereka.

Penumpang Midi sangat beragam, mulai dari turis asing, wisatawan domestik, hingga warga lokal yang membutuhkan transportasi untuk keperluan sehari-hari seperti ke pasar. Hari Minggu biasanya menjadi puncak keramaian, sementara hari-hari biasa sering kali terasa sepi. Midi bekerja sesuai dengan kemampuannya, tidak memaksakan diri untuk bekerja dari pagi hingga sore. Paling lambat, ia akan pulang sekitar pukul empat atau lima sore.
Profesi tukang becak di Pangandaran didominasi oleh kaum pria. Meskipun ada beberapa pengayuh muda yang ikut meramaikan, jumlahnya tidak signifikan. Kehadiran perempuan dalam pekerjaan ini sangat jarang terlihat. Profesi ini tidak hanya mengangkut orang, Midi pun pernah mendapatkan pengalaman membawa barang-barang besar seperti kulkas dan lemari, dengan tarif yang tetap dihitung per becak, bukan per orang.
Di tengah ketidakpastian pekerjaan, Midi belum memiliki rencana untuk berhenti menjadi tukang becak. Baginya, profesi ini adalah pekerjaan yang paling sesuai dengan dirinya. Ketika ditanya mengenai niatnya untuk pensiun, Midi menggeleng. “Belum ada kepikiran, narik becak itu kaya dapet rezeki sambil main,” katanya sambil tertawa kecil. Di luar rutinitas mengayuh becak, ia juga mengambil pekerjaan sampingan seperti memperbaiki listrik atau pekerjaan lain yang bisa ia lakukan untuk menambah penghasilan.

Di tengah hiruk pikuk dan gemerlap pariwisata Pantai Pangandaran, becak-becak di sana bergerak dalam ritme yang tenang dan damai. Mereka bukan sekadar alat transportasi belaka, namun menjadi sumber mata pencaharian utama bagi banyak keluarga. Keberadaan sistem Sekoproyo menjadi cerminan bahwa di tengah kerasnya kehidupan, para pengayuh becak memilih untuk berbagi nasib dan rezeki daripada saling bersaing.
Setiap hari, dari pagi hingga menjelang senja, Midi setia menjalankan becak motornya. Ia menyusuri area wisata, mengantarkan penumpang, membawa barang, atau sekadar duduk menunggu ketika keadaan sedang sepi. Penghasilannya memang tidak selalu pasti, namun ia menjalani pekerjaannya dengan ketenangan hati. Tanpa banyak rencana muluk atau impian yang terlalu tinggi, yang terpenting baginya adalah terus bisa bekerja dan membawa pulang rezeki yang cukup untuk keluarganya. Begitulah Midi menjalani hari-harinya di Pangandaran, sebuah perjalanan hidup yang sederhana namun dijalani dengan ikhlas dan semangat yang membara.

















