Jerat Cicilan Awal: Skema “Tadpole” Mengintai Peminjam Online
Banyak masyarakat yang tergiur dengan kemudahan akses pinjaman daring (pinjol) atau pinjaman online. Namun, di balik kemudahan tersebut, terselip praktik-praktik yang berpotensi menjerat. Salah satu yang tengah menjadi perhatian adalah skema “tadpole”, sebuah pola pembayaran cicilan yang membebankan porsi terbesar di awal masa pinjaman. Skema ini, yang bisa ditemukan baik pada platform pinjol ilegal maupun pinjaman daring (pindar) yang legal, telah menimbulkan kerugian dan tekanan finansial bagi banyak nasabah.
Reno, seorang pria berusia 30 tahun yang meminta identitasnya disamarkan, adalah salah satu korban skema ini. Pengalamannya berawal dari pinjaman online ilegal. Ia mengaku meminjam dana sebesar Rp500.000, namun di minggu-minggu awal, ia harus membayar cicilan sebesar Rp200.000. Sisa pembayaran yang lebih kecil baru dibebankan pada minggu-minggu selanjutnya atau di akhir masa pinjaman.
“Waktu itu minjem Rp500.000, terus di minggu-minggu awal harus bayar 200 (ribu). Nah, sisanya di minggu selanjutnya atau sebulan terakhir barulah kecil, lebih kecil dari minggu-minggu awal,” tuturnya.
Pria berambut ikal ini menceritakan bahwa jumlah maksimal pinjaman yang pernah ia ajukan adalah Rp2 juta. Polanya selalu sama: pembayaran awal yang sangat besar atau pencairan dana yang tidak utuh, serta kewajiban pembayaran yang membengkak dari jumlah yang sebenarnya diterima. Tekanan cicilan awal inilah yang membuat Reno kewalahan. Alih-alih memberikan ruang bernapas, skema ini justru memaksanya mencari dana tambahan hanya untuk sekadar bertahan. “Ujung-ujungnya gali lubang tutup lubang,” ujarnya pasrah.
Pengalaman Reno bukanlah anomali. Cerita serupa datang dari pengguna akun TikTok dengan nama pengguna @HayuOlshop. Dalam sebuah unggahan video, ia membagikan pengalamannya meminjam dana Rp1 juta dari platform pinjaman daring legal. Namun, ia dibebankan cicilan awal sebesar Rp930.000. Komentar dari pengguna lain, @MuhammadRobby01, juga memperkuat fenomena ini, “Tagihan pertamanya 70 persen. Gila!”.
Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana masyarakat yang kurang memahami struktur pinjaman dapat dengan mudah terjerat skema yang tidak adil. Penting untuk dicatat bahwa istilah “pinjol” umumnya merujuk pada layanan peer-to-peer lending ilegal, sementara layanan yang legal disebut sebagai pindar (pinjaman daring).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengidentifikasi skema cicilan yang tidak transparan sebagai salah satu isu krusial yang perlu segera ditangani demi melindungi konsumen. Berbagai langkah pembenahan sedang diarahkan untuk meningkatkan kejelasan biaya dan pola pembayaran.
Fenomena Pinjaman Daring di Indonesia: Pertumbuhan Pesat dan Tantangan Baru
Dalam satu dekade terakhir, layanan pinjaman daring telah menjadi fenomena signifikan dalam sektor keuangan Indonesia. Jumlah penggunanya mengalami peningkatan yang pesat. Per Januari 2025, OJK mencatat bahwa pengguna pinjaman daring di Indonesia telah mencapai 146,5 juta jiwa. Angka ini meningkat 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Laporan Profil Internet Indonesia 2025 dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan dominasi generasi milenial (usia 19-34 tahun) sebagai pengguna terbanyak.
Total penyaluran pinjaman daring per Agustus 2025 mencapai Rp29,08 triliun, sementara total outstanding pinjaman daring tembus Rp90,99 triliun per September 2025. Namun, di balik statistik pertumbuhan yang mengesankan ini, terselip masalah baru yang berkembang, yaitu praktik skema “tadpole”. Skema ini berjalan secara senyap, memanfaatkan celah regulasi dan ketidaktahuan konsumen. Penelusuran lebih lanjut mengungkap bahwa skema tadpole bukan sekadar variasi teknis dalam pembayaran, melainkan berpotensi menjerat peminjam dalam tekanan arus kas yang berat dan meningkatkan risiko gagal bayar.
Tiga Wajah Skema Tadpole: Cicilan Tak Merata Hingga Dana Tak Utuh
Secara sederhana, skema tadpole adalah metode pembayaran cicilan di mana nominal pembayaran terbesar dibebankan pada periode awal pinjaman, atau yang dikenal sebagai front-loaded installment. Skema ini menetapkan cicilan pertama yang jauh lebih besar dibandingkan cicilan-cicilan berikutnya. Berbeda dengan pola cicilan normal yang nominalnya setara (flat) setiap periode, skema tadpole secara sengaja menekan pengguna di awal masa pinjaman.
Nama “tadpole” sendiri diambil dari analogi bentuk kecebong yang berkepala besar dan berekor kecil, menggambarkan dominasi cicilan awal dalam total beban pembayaran. Namun, skema tadpole tidak tunggal. Setidaknya ada tiga tipe skema tadpole yang kerap diterapkan oleh penyedia jasa pinjaman daring yang kurang bertanggung jawab:
Kredit dengan Nominal Cicilan Tidak Merata dan Interval Pembayaran Tidak Konsisten:
Ini adalah bentuk paling umum dari praktik skema tadpole. Sebagai contoh, untuk pinjaman Rp1.000.000 dengan total pengembalian Rp1.540.000 (termasuk bunga) dalam tenor 180 hari, cicilan pertama yang jatuh tempo pada hari ke-15 bisa mencapai Rp924.000. Jumlah ini saja sudah mencakup lebih dari 60 persen dari total pembayaran. Cicilan berikutnya Rp462.000 dibayarkan pada hari ke-30, lalu cicilan ketiga hanya Rp77.000 pada hari ke-150, diikuti cicilan keempat dengan nominal sama pada hari ke-180. Baik nominal maupun rentang waktu antar cicilan terlihat tidak beraturan, dengan beban besar langsung dibebankan pada pembayaran awal.Nominal Cicilan Merata, Namun Interval Pembayaran Periode Awal Dipercepat:
Tipe kedua ini tampak lebih rapi karena nominal cicilan dibuat merata. Namun, jarak antar cicilan pertama hingga ketiga dipadatkan menjadi hanya 15 hari sekali. Dengan asumsi pinjaman Rp1.000.000 dan total pengembalian Rp1.540.000, peminjam dibebankan cicilan Rp385.000 yang nominalnya sama di setiap periode. Cicilan terakhir baru jatuh tempo di akhir tenor, yaitu hari ke-180. Meskipun terlihat teratur secara kasat mata, masa pakai dana menjadi jauh lebih pendek dari yang diharapkan peminjam.Dana Pinjaman Tidak Dicairkan Secara Penuh (Potongan Biaya di Muka Tinggi):
Pada tipe ketiga ini, dari pengajuan Rp1.000.000, nasabah hanya menerima Rp700.000 karena potongan biaya di muka mencapai 30 persen. Meskipun demikian, nasabah tetap harus mengembalikan Rp1.242.000 dalam tenor 180 hari. Pada tipe ini, nominal cicilan dan interval pembayarannya mungkin dibuat teratur, misalnya setiap 30 hari. Namun, ketidakseimbangan antara dana yang diterima dan kewajiban yang harus dibayar menciptakan beban ekonomi yang jauh lebih berat.
Risiko Skema Tadpole yang Mengintai Konsumen
Hasil pantauan OJK mengidentifikasi beberapa risiko signifikan yang ditimbulkan oleh skema tadpole bagi para peminjam:
- Beban Awal yang Tidak Wajar: Cicilan yang tinggi di awal periode pinjaman memberikan tekanan keuangan berlebihan bagi peminjam, seringkali memaksa mereka untuk mencari pinjaman lain demi memenuhi kewajiban awal.
Pelanggaran Batas Margin Ekonomi: Persentase bunga dan imbal hasil pinjaman secara terselubung dapat melebihi batas yang ditetapkan oleh regulator. OJK telah menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi sebagai berikut:
- Pinjaman Produktif (untuk modal usaha):
- Plafon hingga Rp50 juta:
- Maksimal 0,275% per hari untuk tenor hingga 6 bulan.
- Maksimal 0,1% per hari untuk tenor di atas 6 bulan.
- Plafon di atas Rp50 juta:
- Maksimal 0,1% per hari.
- Plafon hingga Rp50 juta:
- Pinjaman Konsumtif (untuk kebutuhan pribadi):
- Maksimal 0,3% per hari untuk tenor hingga 6 bulan.
- Maksimal 0,2% per hari untuk tenor di atas 6 bulan.
- Pinjaman Produktif (untuk modal usaha):
Menurunkan Kepercayaan Masyarakat: Praktik skema tadpole dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap industri pinjaman daring yang ada di Indonesia.
Skema tadpole bukanlah satu-satunya praktik yang berpotensi menyulitkan nasabah. Di negara lain seperti Inggris dan Amerika Serikat, terdapat skema serupa yang disebut balloon payment. Berbeda dengan tadpole yang membebankan cicilan besar di awal, balloon payment justru memberikan cicilan kecil di awal dan porsi besar di akhir masa pinjaman, yang umumnya mencapai 50 persen dari total pinjaman atau cicilan.
Sikap OJK dan Rekomendasi untuk Perlindungan Konsumen
Awalnya, OJK sempat melarang skema tadpole melalui Surat Pengawasan dan Pembinaan OJK Nomor S-305/PL.12/2025. Namun, Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, menjelaskan bahwa pihaknya telah menerapkan batasan terhadap praktik skema pembayaran tadpole oleh pindar sebagai upaya perlindungan konsumen.
Agusman menegaskan bahwa skema tadpole hanya dapat dilakukan sepanjang mematuhi ketentuan batasan manfaat ekonomi yang berlaku, memenuhi aspek transparansi dengan menyampaikan informasi secara lengkap kepada penerima dan pemberi dana, serta memenuhi kualitas pendanaan TWP90 kurang dari 5 persen.
“OJK telah menerapkan langkah mitigasi dengan menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi serta mewajibkan penyelenggara pindar melakukan penilaian kelayakan kredit secara memadai, termasuk memperhatikan repayment capacity, debt to income ratio, dan eksposur pendanaan Penerima Dana di penyelenggara lain. Pengaturan tersebut diharapkan dapat mendorong praktik usaha pindar yang lebih sehat, berkelanjutan, serta sejalan dengan prinsip kehati-hatian dan pelindungan konsumen,” ujar Agusman dalam keterangan tertulisnya.
Direktur Eksekutif Segara Research, Piter Abdullah, berpendapat bahwa skema tadpole membebani nasabah secara tidak proporsional di awal periode cicilan. Ia menilai skema ini dapat meningkatkan tingkat bunga efektif hingga 4-5 kali lipat dibandingkan skema pembayaran normal, yang berpotensi melanggar batas maksimum suku bunga yang ditetapkan OJK.
Piter juga menyoroti bahwa beban pembayaran di awal seringkali diperberat oleh frekuensi cicilan yang lebih sering, sehingga peminjam merasa terbebani dalam waktu singkat. Segara Research merekomendasikan peningkatan edukasi kepada masyarakat serta penyusunan regulasi yang lebih spesifik terkait skema tadpole, dengan menekankan faktor kebermanfaatan bagi nasabah.
Anggota Komisi XI DPR, Puteri Komarudin, juga menyuarakan keprihatinan terhadap skema tadpole dan mendorong OJK untuk melakukan kajian mendalam. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara perlindungan konsumen dan keberlangsungan industri pindar. Puteri juga meminta OJK untuk meninjau kasus gagal bayar yang disebabkan oleh skema tadpole.
Tanpa pondasi transparansi dan perlindungan yang kuat, pinjaman daring berpotensi berubah menjadi sumber masalah sosial-ekonomi, terutama bagi masyarakat rentan yang baru mengenal fintech. Masyarakat dihimbau untuk melaporkan indikasi skema tadpole ke OJK jika menemukan pola pinjaman dengan pencairan tidak utuh, cicilan awal yang memberatkan, dan kewajiban yang membengkak sejak awal, serta melampirkan bukti yang ada.
Pada akhirnya, skema tadpole mencerminkan praktik eksploitasi terhadap peminjam pindar, yang mayoritas berasal dari kelompok underserved dan underbanked dengan literasi keuangan yang minim. Skema ini justru menjauhkan tujuan inklusi keuangan dan memperdalam kerentanan ekonomi kelompok yang paling membutuhkan akses pembiayaan.

















