Taman Mini Indonesia Indah (TMII) kerap disebut sebagai lambang cinta mendalam Presiden Soeharto untuk mendiang istrinya, Siti Hartinah, atau yang akrab disapa Ibu Tien Soeharto. Hubungan mereka terjalin erat, hanya dipisahkan oleh maut. Ibu Tien meninggal dunia pada tahun 1996, sementara Soeharto menyusul pada tahun 2008.
Kepergian Ibu Tien meninggalkan duka yang mendalam bagi Soeharto. Banyak yang berpendapat bahwa setelah wafatnya sang istri, pamor Soeharto sebagai penguasa Orde Baru pun perlahan memudar. Di tengah kesedihannya, TMII menjadi saksi bisu dan tempat Soeharto menemukan pelipur lara untuk mengenang sosok istrinya.
Proyek megah TMII ini kabarnya diinisiasi oleh Soeharto sendiri, dan pertama kali dibuka untuk umum pada tanggal 20 April 1975. Diduga kuat, rasa cinta yang begitu besar inilah yang mendorong Soeharto untuk tetap melanjutkan pembangunan TMII, bahkan ketika ada keraguan atau pertentangan.
Awal Perasaan Minder: Cinta Bersemi di Antara Perbedaan Kasta
Kisah cinta Soeharto dan Siti Hartinah ternyata tidak serta-merta mulus. Jauh sebelum resmi menikah, Soeharto konon sempat merasa minder ketika dijodohkan dengan Siti Hartinah. Perasaan ini timbul karena perbedaan latar belakang mereka yang cukup signifikan. Soeharto merasa dirinya hanyalah seorang prajurit biasa, berasal dari kalangan rakyat jelata. Di sisi lain, Siti Hartinah datang dari keluarga ningrat yang memiliki ikatan kuat dengan lingkungan Mangkunegaran.
Perjodohan ini berawal dari inisiatif bibi Soeharto yang bernama Prawiro. Beliau memiliki niat untuk menjodohkan keponakannya dengan Siti Hartinah. Namun, pada awalnya, Soeharto masih ragu. Ia merasa karir militernya belum stabil dan khawatir pernikahan akan menghambat perjuangannya.
Sang bibi pun berusaha meyakinkan Soeharto, bahwa pernikahan tidak akan serta-merta memadamkan semangat dan kariernya. Meskipun demikian, keraguan Soeharto masih membayangi, terutama ketika ia menyadari status sosial Siti Hartinah yang berasal dari keluarga bangsawan.
“Tetapi bagaimana bisa? Apa dia akan mau? Apa orang tuanya memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran,” ungkap Soeharto dengan nada ragu.
Namun, keraguan Soeharto segera ditepis oleh Prawiro dengan penuh keyakinan. Prawiro mengaku mengenal baik keluarga Siti Hartinah dan memastikan akan menjodohkan Soeharto dengan putri dari RM Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmati Hatmohoedojo tersebut.
Pernikahan dan Perjalanan Cinta yang Mengukir Sejarah
Singkat cerita, Soeharto dan Siti Hartinah akhirnya melangsungkan pernikahan di Solo pada tanggal 26 Desember 1947. Tanpa jeda bulan madu, Siti Hartinah langsung diajak serta ke Yogyakarta untuk mendampingi Soeharto dalam tugas dinasnya. Perjalanan cinta mereka yang unik ini turut mewarnai lembaran sejarah bangsa Indonesia.
TMII: Monumen Cinta dan Kenangan Abadi
Setelah Siti Hartinah berpulang pada tahun 1996, Soeharto merasakan kehilangan yang luar biasa. Beliau kerap kali terlihat dilanda duka yang mendalam. Demi mengobati rasa rindunya, Soeharto sering meminta untuk diantar ke Taman Mini Indonesia Indah. Di sana, ia bisa duduk, merenung, dan mengenang kehadiran mendiang istrinya tercinta.
Bambang Sutanto, mantan pimpinan TMII, pernah berbagi cerita mengenai momen-momen tersebut. Ia menirukan ucapan Soeharto yang penuh haru, “Walau bicaranya sudah tidak jelas, tapi saya bisa mengerti isi perkataan beliau. Pak Harto bilang, ‘Saya rindu pada Ibu. Dan setiap saya merindukan Ibu, Taman Mini ini yang membuat kerinduan saya terobati’.”
Kisah ini menunjukkan betapa besar cinta Soeharto kepada Ibu Tien, dan bagaimana TMII menjadi lebih dari sekadar sebuah taman rekreasi. TMII berdiri sebagai monumen cinta abadi, pengingat akan sosok wanita yang dicintai Soeharto, dan tempat di mana kenangan mereka terus hidup.

















