Tragedi Longsor di Tambang Emas Ilegal: Nyawa Terenggut Demi Harapan Semu
Minggu, 28 Desember 2025, menandai akhir dari perjuangan hidup Edi Muhamad (50) dan Sahril (32) sebagai tulang punggung keluarga. Keduanya meregang nyawa akibat tertimbun longsor di kawasan tambang emas ilegal yang berlokasi di Nasalane, Desa Lobu, Kecamatan Moutong, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah. Insiden maut ini terjadi di daerah yang berjarak sekitar 200 kilometer dari pusat Kota Gorontalo, mengubur harapan dan nyawa para penambang dalam hitungan detik.
Suasana pagi yang hening seketika berubah menjadi kepanikan luar biasa. Rekan sesama penambang dan warga sekitar segera bergegas berusaha mengeluarkan para korban dari timbunan material longsor. Dengan peralatan seadanya dan bahkan hanya mengandalkan tangan kosong, para penambang lain berjuang melawan waktu, menggali lumpur pekat untuk menyelamatkan nyawa.
Pukul 10.00 Wita, kesedihan membuncah ketika tubuh kaku Edi Muhamad (50) ditemukan di balik timbunan. Pria asal Boalemo, Gorontalo ini merantau jauh demi mencari nafkah, namun kepulangannya harus diiringi deru sirine ambulans menuju kampung halaman. Pencarian tidak berhenti di situ. Aparat gabungan TNI-Polri segera dikerahkan, bahkan menggunakan ekskavator untuk menyingkirkan material longsor yang begitu berat. Sekitar lima jam kemudian, pada pukul 15.00 Wita, Sahril (32), warga Desa Boloung Olonggata, ditemukan dalam kondisi yang sama.
Tragedi ini tidak hanya merenggut nyawa. Korban lainnya, Karim (36), seorang perantau asal Lombok, harus menanggung rasa sakit akibat patah kaki yang disebabkan oleh hantaman material longsor. Sementara itu, Faidat (25), pemuda setempat, hanya bisa berdiri mematung dalam keadaan trauma. Ia selamat berkat posisinya yang tepat berada di sisi tebing saat tanah ambrol, sebuah garis tipis antara hidup dan mati. Kedua korban yang selamat kini tengah menjalani perawatan intensif di Puskesmas Moutong.
Tragedi Nasalane ini menjadi pengingat pahit akan risiko yang mengintai di balik pertambangan emas tanpa izin. Di lokasi seperti ini, keselamatan seringkali terabaikan demi memenuhi kebutuhan perut. Tanah yang labil akibat galian yang tidak teratur bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja, terutama saat cuaca tidak menentu.
Minimnya Fasilitas dan Penertiban yang Terbatas
Kapolres Parigi Moutong, AKBP Hendrawan AN, menegaskan bahwa longsor di Nasalane, Desa Lobu, Kecamatan Moutong, merupakan bekas area pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang sebelumnya telah ditertibkan oleh aparat kepolisian. Hendrawan menjelaskan bahwa sejak penertiban dilakukan, tidak ada lagi aktivitas pertambangan yang menggunakan alat berat di lokasi tersebut. “Aktivitas yang dilakukan di lokasi hanya berupa penambangan manual menggunakan dulang,” tegas Hendrawan melalui pernyataan resmi Polres Parigi Moutong, Minggu malam.
Berdasarkan keterangan saksi yang dihimpun kepolisian, sebelum kejadian nahas tersebut, para korban sempat berpamitan untuk mengambil pasir yang akan didulang di lokasi yang tidak jauh dari tempat saksi berada. Tak lama kemudian, saat korban berada di bawah tebing bekas galian, tanah dan batu tiba-tiba runtuh dan langsung menimbun mereka. “Longsor terjadi secara mendadak, sehingga korban tidak sempat menyelamatkan diri,” ujar Hendrawan. Setelah kejadian, pencarian awal dilakukan oleh rekan-rekan korban bersama warga sekitar, yang kemudian dilanjutkan oleh aparat gabungan TNI-Polri dengan bantuan alat berat untuk membuka timbunan material longsor.
Siklus Tragedi yang Berulang
Insiden penambang emas tertimbun longsor di Kabupaten Parigi Moutong bukanlah kasus yang baru terjadi, melainkan sebuah siklus yang cenderung berulang. Kilauan emas seringkali membuat orang dari berbagai daerah tergiur dan nekat. Banyak penambang terpaksa bekerja di tambang ilegal karena tekanan ekonomi dan harapan untuk mendapatkan pendapatan cepat, meskipun risiko yang dihadapi sangatlah tinggi. Ketidaktersediaan peluang kerja lain dan kemiskinan menjadi faktor pendorong utama yang membuat masyarakat kembali bekerja di lokasi-lokasi berbahaya ini.
Upaya penertiban tambang emas ilegal yang dilakukan oleh aparat seringkali bersifat insidental dan sementara. Misalnya, razia atau pengamanan alat berat hanya bersifat sporadis. Aktivitas pertambangan ilegal biasanya kembali pulih setelah aparat meninggalkan lokasi. Di sisi lain, para penambang memiliki mobilitas tinggi. Ketika satu lubang tambang tidak lagi produktif atau terdeteksi oleh aparat, mereka akan berpindah dan membuka lahan baru di kawasan hutan produksi atau hutan lindung di sekitarnya. Hal ini menyebabkan munculnya titik-titik tambang baru secara cepat.
Berdasarkan data terbaru hingga akhir tahun 2025, jumlah titik pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) diperkirakan berkisar antara tujuh hingga 16 titik utama. Sementara itu, berdasarkan dokumen usulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang beredar, jumlah titik tambang bahkan disebutkan mencapai 53 titik.
Menuju Solusi: Regulasi dan Pemberdayaan Ekonomi

Permasalahan pertambangan emas tanpa izin di Sulawesi Tengah, khususnya di wilayah Parigi Moutong, Buol, dan Kota Palu, tidak dapat diselesaikan hanya dengan upaya penertiban semata. Solusi yang komprehensif harus menyentuh akar permasalahan ekonomi dan regulasi. Transformasi kawasan tambang emas ilegal menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) merupakan kunci untuk memberikan legalitas. Selama status lahan masih ilegal, negara akan kesulitan untuk melakukan intervensi terkait keselamatan kerja dan perlindungan lingkungan.
Pemerintah Daerah memiliki peran krusial dalam mendorong percepatan penetapan WPR ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Setelah WPR ditetapkan, masyarakat lokal dapat mengurus Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Dengan memegang IPR, para penambang diwajibkan memiliki Kepala Teknik Tambang (KTT) yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan para pekerjanya. Selain itu, tokoh adat dan masyarakat desa setempat dapat membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawasi masuknya pihak luar yang membawa alat berat.
Formulasi kemitraan juga menjadi salah satu solusi strategis untuk pertambangan ilegal. Mengingat kebutuhan modal yang besar dalam aktivitas pertambangan, penambang rakyat seringkali terjebak dengan meminjam modal dari rentenir atau pemodal gelap. Pemerintah semestinya dapat memfasilitasi pertemuan antara pemegang Kontrak Karya (KK) atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) skala besar dengan penambang lokal. Hal ini tidak hanya memudahkan akses modal, tetapi juga dapat memberikan edukasi mengenai teknik penggalian yang aman dan legal.
Aparat keamanan juga dituntut untuk menerapkan keadilan bagi seluruh penambang. Penegakan hukum harus difokuskan pada para pemodal yang menyediakan alat berat dan bahan kimia berbahaya, serta para pengepul emas ilegal di tingkat kota. Jika rantai pasok dana ini terputus, aktivitas pertambangan ilegal di lapangan diharapkan akan berhenti dengan sendirinya.
Lebih lanjut, diversifikasi ekonomi bagi masyarakat menjadi solusi jangka panjang yang sangat penting. Kabupaten Parigi Moutong memiliki potensi besar di sektor kakao dan kelautan. Jika pemerintah mampu memberikan jaminan stabilitas harga dan keuntungan yang layak untuk komoditas pertanian dan hasil laut, ketergantungan masyarakat pada “emas instan” yang mengorbankan nyawa akan berkurang secara signifikan.

















