Yogyakarta, sebuah kota yang identik dengan kebudayaan dan sejarah, menyimpan kekayaan kuliner yang tak kalah memesona. Di balik hiruk pikuk kafe modern yang kian menjamur, tersimpan jejak-jejak rasa legendaris yang telah teruji oleh waktu. Beberapa di antaranya bahkan masih dikelola oleh generasi ketiga, melestarikan resep otentik yang tak berubah sejak era kemerdekaan. Menjelajahi Yogyakarta tanpa mencicipi warisan kuliner ini tentu akan terasa kurang lengkap.
Berikut adalah 10 rekomendasi kuliner legendaris Yogyakarta yang siap menghadirkan cita rasa autentik dan pengalaman bersantap yang tak terlupakan:
1. Gudeg Yu Djum (Sejak 1950)
Yu Djum, melalui tangan Djuwariah, telah menjadi maestro gudeg gaya kering yang melegenda. Dimulai dari sebuah lapak sederhana di pinggir jalan kawasan Wijilan, ketekunan Yu Djum dalam mempertahankan resep gudeg yang dimasak hingga benar-benar kering (asat) telah menjadikannya standar emas gudeg Yogyakarta. Hingga kini, warung yang berpusat di Jalan Wijilan Nomor 167 ini masih setia melayani pengunjung dari pukul 06.00 hingga 22.00 WIB. Pengunjung dapat menyaksikan langsung proses pengemasan gudeg ke dalam besek atau kendil, dengan pilihan harga mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 300.000, tergantung ukuran dan kemasan yang dipilih.
2. Lupis Mbah Satinem (Sejak 1963)
Nama Mbah Satinem mulai dikenal luas setelah muncul dalam sebuah dokumenter Netflix, namun kiprahnya dalam dunia jajanan pasar telah dimulai sejak era 1960-an. Ia tetap setia meracik lupis, gatot, dan tiwul secara tradisional di pinggir jalan kawasan Diponegoro, mulai pukul 05.30 WIB. Dengan harga mulai Rp 10.000, wisatawan dapat menyaksikan ketelatenan Mbah Satinem dalam memotong lupis menggunakan benang putih. Teknik pemotongan yang unik ini dipertahankan demi menjaga tekstur lupis agar tidak hancur, sebuah warisan cara tradisional yang masih dijaga.
3. Sate Klatak Pak Bari (Sejak 1992)
Meskipun didirikan secara mandiri oleh Pak Bari pada tahun 1992, sate klatak ini adalah warisan dari sang kakek, Mbah Amad, yang telah mempopulerkan sate dengan jeruji besi sejak tahun 1940-an. Berlokasi strategis di dalam Pasar Wonokromo, warung ini buka dari pukul 18.30 hingga 01.00 WIB. Sate klatak yang dibanderol seharga Rp 25.000 ini menawarkan keunikan pada daging kambing muda yang hanya dibumbui dengan garam. Penggunaan jeruji besi sepeda sebagai tusuk sate memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai konduktor panas yang memastikan daging matang merata hingga ke bagian dalam.
4. Oseng-Oseng Mercon Bu Narti (Sejak 1998)
Lahir di tengah badai krisis moneter tahun 1998, Bu Narti mencoba berinovasi dengan mengolah tetelan dan lemak sapi menjadi sebuah hidangan tumisan yang super pedas. Tujuannya sederhana, agar dagangannya tetap laku terjual. Tak disangka, menu inovatif ini justru meledak di pasaran dan menjadi cikal bakal tren kuliner pedas di Yogyakarta. Warung tenda yang berlokasi di Jalan KH Ahmad Dahlan ini buka mulai pukul 16.00 hingga 23.00 WIB, dengan harga Rp 25.000 per porsi. Nama “mercon” sendiri diberikan oleh para pelanggan yang merasakan sensasi pedasnya yang begitu membekas, seolah meledak di dalam mulut.
5. Mangut Lele Mbah Marto (Sejak 1969)
Sejarah Mangut Lele Mbah Marto dimulai dari Mbah Marto yang berjualan lele asap secara keliling (ngider) sejak era 1960-an. Baru kemudian menetap di rumahnya yang kini menjadi ikon kuliner. Keunikan warung ini, meskipun sudah sangat populer, tetap mempertahankan konsep makan di dalam dapur (pawon). Berlokasi di Sewon, Bantul, warung ini buka dari pukul 08.00 hingga 16.30 WIB. Pengunjung dipersilakan mengambil sendiri lele asap dengan kuah santan pedas seharga Rp 25.000, sembari menikmati aroma khas kayu bakar yang masih digunakan hingga kini.
6. Bakmi Jawa Pak Pele (Sejak 1983)
Warung Bakmi Jawa Pak Pele dirintis oleh Suhardiman, yang lebih akrab disapa Pak Pele. Awalnya, warung ini hanyalah sebuah tenda kecil yang berdiri di pinggir Alun-alun Utara. Pak Pele membedakan bakminya dengan menggunakan telur bebek dan kaldu ayam kampung sebagai bahan utama. Hingga kini, tempat makan yang buka dari pukul 17.00 hingga 23.00 WIB ini telah menjadi langganan berbagai kalangan, mulai dari pejabat hingga para artis. Satu porsi bakmi seharga Rp 20.000–Rp 30.000 ini tetap dimasak menggunakan anglo (tungku arang) demi menjaga aroma asap yang khas dan cita rasa autentik.
7. Ayam Goreng Mbah Cemplung (Sejak 1973)
Ayam Goreng Mbah Cemplung berawal dari sebuah warung makan sederhana milik keluarga Mbah Cemplung yang terletak di perbukitan Sembungan, Bantul. Keunikan sejarahnya terletak pada pemilihan ayam kampung “liar” yang diolah melalui proses ungkep dua tahap. Proses ini memastikan bumbu meresap sempurna ke dalam setiap serat daging. Warung yang buka dari pukul 08.00 hingga 19.00 WIB ini menawarkan pengalaman makan ayam kampung jumbo dengan harga mulai Rp 35.000. Pengunjung akan merasakan nuansa makan di bangunan rumah Jawa yang tetap orisinal sejak dekade 1970-an.
8. Kopi Joss Lik Man (Sejak 1980)
Lik Man adalah generasi penerus dari Mbah Sislo, yang memulai usaha angkringan di kawasan Stasiun Tugu pada tahun 1960-an. Menu Kopi Joss yang legendaris tercipta secara tidak sengaja ketika seorang pelanggan meminta kopi namun dengan cara yang unik: dicelupkan arang panas untuk menetralisir rasa. Berlokasi di Jalan Wongsodirjan, warung ini buka dari pukul 16.00 hingga 01.00 WIB. Segelas Kopi Joss seharga Rp 5.000 ini bukan sekadar minuman, melainkan telah menjadi ikon budaya nongkrong warga Yogyakarta yang melegenda.
9. Mie Lethek Garuda (Sejak 1940)
Mie Lethek Garuda didirikan oleh Yasir Hadi, seorang imigran asal Yaman, yang memiliki visi untuk menciptakan mie berbahan dasar lokal seperti tapioka dan singkong. Nama “lethek” sendiri merujuk pada warna mie yang kusam, tanpa penggunaan zat pemutih. Hingga saat ini, pabrik mie yang berlokasi di Bantul ini masih mempertahankan penggunaan tenaga sapi untuk menggerakkan mesin penggiling batu. Dibuka dari pukul 10.00 hingga 22.00 WIB dengan harga mulai Rp 15.000, kuliner ini menjadi simbol kemandirian pangan warga Yogyakarta sejak era sebelum kemerdekaan.
10. Es Dawet Mbah Hari (Sejak 1965)
Mbah Hari telah setia mengaduk gentong dawetnya di sudut Pasar Beringharjo sejak tahun 1965. Konsistensi Mbah Hari dalam menggunakan bahan-bahan alami, seperti pewarna dari daun suji dan gula jawa asli, membuat es dawetnya tetap diburu oleh berbagai generasi. Dijual hanya dengan harga Rp 5.000 dan buka dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB, es dawet ini bukan sekadar pelepas dahaga. Ia adalah saksi bisu perkembangan ekonomi pasar tertua di Yogyakarta tersebut.
Saat Anda berencana mengunjungi destinasi kuliner legendaris ini, disarankan untuk membawa uang tunai secukupnya. Sebagian besar gerai tradisional ini belum menyediakan fasilitas pembayaran digital, sehingga transaksi tunai masih menjadi metode pembayaran utama.

















