Seorang mantan warga Korea Utara mengungkap pengalaman uniknya mengenai perayaan Natal di negaranya yang sangat tertutup. Il-Yong Ju, nama pembelot tersebut, menceritakan bagaimana keluarganya secara tidak sadar turut merayakan momen yang identik dengan hari raya keagamaan umat Kristiani di seluruh dunia, meskipun tanpa pemahaman yang mendalam mengenai makna di baliknya.
Tradisi Natal yang Tak Disadari di Korea Utara
Bagi sebagian besar dunia, tanggal 25 Desember identik dengan perayaan Natal, hari di mana umat Kristiani memperingati kelahiran Yesus Kristus. Namun, di Korea Utara, tanggal tersebut seringkali diperlakukan seperti hari-hari biasa lainnya. Il-Yong Ju mengungkapkan bahwa di kampung halamannya yang terletak di pedesaan, tradisi yang menyerupai perayaan Natal seringkali dilakukan, namun tanpa diketahui asal-usul serta maknanya.
“Di rumah saya, kami melakukan kegiatan seperti itu, namun kami tidak tahu hari apa itu. Hanya tanggal 25 Desember lainnya. Kakek saya yang menyuruh kami melakukannya,” ujar Il-Yong Ju.
Kegiatan yang dimaksud Il-Yong Ju adalah menghias pohon pinus. Kakeknya kerap mengajaknya pergi ke gunung untuk menebang pohon pinus. Pohon yang berhasil dibawa pulang kemudian dihias dengan bola-bola kapas kecil yang digantungkan pada ranting-rantingnya. Bagi Il-Yong Ju dan keluarganya, kegiatan ini hanyalah sebuah tradisi keluarga yang diperintahkan oleh sang kakek.
“Kakek saya mengajarkan, ‘cucuku, negara lain selain Korea Utara, setiap 25 Desember, mereka membuat pohon seperti ini dan merayakan hari ini’,” ucapnya, menirukan perkataan sang kakek.
Karena ketidaktahuan mengenai asal-usul tradisi tersebut, keluarga Il-Yong Ju memajang pohon hiasan mereka secara terbuka. Para tetangga bahkan memberikan julukan “Yolka” untuk pohon tersebut. Julukan ini merujuk pada pohon yang biasa dipasang untuk menyambut tahun baru di daerah yang menggunakan bahasa Rusia. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh budaya asing yang mungkin masuk secara tidak langsung ke dalam kehidupan masyarakat Korea Utara.
Dampak Penekanan Keagamaan dan Isolasi
Il-Yong Ju menjelaskan bahwa penekanan terhadap praktik keagamaan, termasuk Kristen, di Korea Utara membuat banyak orang tidak menyadari asal-usul sebenarnya dari tradisi yang mereka jalani. Kendati demikian, keluarganya tidak menghadapi konsekuensi apa pun atas kegiatan mereka.
“Itu mungkin saja karena desa saya sangat kecil. Hanya ada 30 rumah tangga yang tinggal di kota saya, dan sangat terisolasi dari kota utama,” jelasnya, mengindikasikan bahwa tingkat pengawasan mungkin lebih longgar di daerah terpencil.
Pengaruh Siaran Radio Ilegal
Selain tradisi pohon hiasan, keluarga Il-Yong Ju juga memiliki kebiasaan lain yang tidak lazim. Mereka kerap bertepuk tangan dan meneriakkan seruan seperti, “belly hem, belly hem, say goodbye, say goodbye”. Ternyata, kebiasaan ini berasal dari siaran radio ilegal yang mereka dengarkan dari Korea Selatan.
“Saya dan keluarga mendengarkan siaran radio asing ilegal di Korea Utara,” katanya.
Il-Yong Ju mengungkapkan bahwa mereka mendengarkan siaran dari FEBC (Far East Broadcasting Company), sebuah stasiun radio Kristen dari Korea Selatan. Siaran ini terdengar sangat jelas di Korea Utara setiap pagi. Melalui siaran inilah, Il-Yong Ju dan keluarganya pertama kali mendengar tentang Injil dan Kekristenan.
Pengalaman mendengarkan siaran radio asing inilah yang kemudian memiliki dampak signifikan dalam kehidupan keluarga Il-Yong Ju. Sang ayah, terinspirasi oleh apa yang didengarnya, akhirnya memutuskan untuk membelot dari Korea Utara. Setelah sang ayah berhasil pindah ke Korea Selatan, ia kemudian mengirimkan perantara. Hal ini memungkinkan Il-Yong Ju, salah satu saudari, dan ibunya untuk melarikan diri pada Oktober 2009.
Kehidupan Baru sebagai Seorang Kristiani
Perjalanan Il-Yong Ju dari Korea Utara menuju kebebasan membawanya pada titik balik kehidupan yang luar biasa. Ia tidak hanya berhasil keluar dari negara yang represif, tetapi juga menemukan keyakinan baru. Pada tahun 2019, Il-Yong Ju bahkan berkesempatan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump. Lebih penting lagi, ia telah menjadi seorang Kristiani yang taat, menemukan makna dan tujuan hidup yang sebelumnya tidak ia ketahui di tanah kelahirannya. Kisahnya menjadi bukti nyata bagaimana informasi dan keyakinan dapat menyebar bahkan di tengah pembatasan yang ketat, dan bagaimana harapan bisa lahir dari situasi yang paling sulit sekalipun.

















