Duka Mendalam dan Perjuangan Batin Tamara Tyasmara Pasca Kepergian Dante
Kehilangan seorang anak adalah luka yang tak terperikan. Bagi Tamara Tyasmara, duka mendalam atas kepergian putra tercinta, Raden Andante Khalif Pramudityo atau Dante, masih membekas kuat meski proses hukum terkait kematiannya masih bergulir. Di tengah kabar mengenai pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh pihak terpidana, Tamara akhirnya memilih untuk mengungkapkan isi hatinya yang selama ini terpendam.
Saat ditanya mengenai perasaannya, apakah ia telah berdamai dengan keadaan atau masih menyimpan amarah, Tamara memberikan jawaban yang tegas dan menyentuh. “Namanya dendam susah ya buat hilang. Enggak bakal hilang mau sampai kapanpun,” ujarnya dengan nada lirih namun penuh keyakinan. Pernyataan ini mencerminkan betapa beratnya proses penyembuhan emosional yang ia jalani.
Meskipun demikian, Tamara menyadari bahwa kehidupan harus terus berjalan. Ia mengaku terus berusaha menata batinnya sedikit demi sedikit, meski ia sadar luka yang ditinggalkan oleh tragedi tersebut tidak akan pernah benar-benar sirna. “Hidup terus berjalan, aku perlahan berusaha ikhlas,” ungkap perempuan berusia 30 tahun itu. Upayanya untuk menemukan kedamaian batin adalah sebuah perjuangan yang patut diapresiasi.
Mencari Bantuan Profesional untuk Pemulihan Mental
Menyadari pentingnya kesehatan mental dalam menghadapi masa sulit, Tamara tidak ragu untuk mencari bantuan profesional. Ia mengungkapkan bahwa dirinya sempat berkonsultasi dengan psikolog untuk memulihkan kondisi mentalnya setelah kehilangan Dante. “Pernah dong (ke psikolog), pasti. Pasti kan butuh bantuan yang lebih profesional juga buat nyembuhin semuanya. Tapi ya perlahan lah bisa bangkit dari kesedihan ini,” jelasnya. Dukungan dari para ahli terbukti sangat membantunya dalam proses penyembuhan.
Menutup Pintu Komunikasi dengan Keluarga Pelaku
Mengenai hubungannya dengan keluarga Yudha Arfandi, pelaku yang terlibat dalam kasus kematian Dante, Tamara menegaskan bahwa ia tidak membuka ruang komunikasi sedikit pun. Baginya, tidak ada alasan untuk menjalin kontak dengan pihak yang dianggap bertanggung jawab atas hilangnya nyawa sang anak. “Enggak ada pesan-pesan buat keluarga sana. Enggak perlu komunikasi juga sama pihak sana,” ucapnya dengan tegas. Keputusan ini mencerminkan keteguhan Tamara dalam menjaga batasan emosionalnya.
Fokus pada Perjuangan Keadilan untuk Dante
Saat ini, fokus utama Tamara Tyasmara sepenuhnya tertuju pada pengawalan proses hukum demi menegakkan keadilan bagi Dante. Ia memastikan akan hadir langsung dalam sidang PK jika memungkinkan, atau setidaknya diwakili oleh anggota keluarga. “Insya Allah pasti kalau emang ada waktunya pas, datang. Kalau enggak, pasti diwakilin sama keluarga. Yang pasti aku tetap ngawal terus biar update perkembangannya gimana,” kata Tamara. Harapannya sederhana namun mendalam: “Aku cuma berharap keadilan ada untuk Dante.”
Setahun Lebih Trauma: Tidur di Ruang Tamu Demi Menghindari Kenangan
Kisah pilu Tamara Tyasmara menjadi sorotan publik setelah putra kesayangannya, Dante, meninggal dunia pada 27 Januari 2024. Dante menghembuskan napas terakhirnya setelah tenggelam saat berenang di sebuah kolam renang. Tragedi ini terjadi ketika Dante ditemani oleh pacar Tamara Tyasmara saat itu, Yudha Arfandi.

Pada akhirnya, Yudha Arfandi divonis 20 tahun penjara setelah terbukti bersalah dalam kasus kematian Dante. Namun, bagi Tamara, vonis tersebut tidak serta merta mengakhiri luka dan trauma yang ia rasakan. Lebih dari setahun setelah kepergian Dante, Tamara belum sepenuhnya pulih.
Salah satu bukti nyata dari trauma yang dialaminya adalah kebiasaannya tidur di ruang tamu. Ia mengaku belum kuat untuk tidur di kamar yang mungkin menyimpan banyak kenangan bersama Dante. Baru-baru ini, setelah lebih dari setahun, Tamara akhirnya kembali tidur di kamarnya. Pengakuan ini diungkapkannya saat tampil di kanal YouTube Maia Estianty.
“Jadi aku baru balik ke kamar ini baru mungkin tiga minggu ini, aku baru balik tidur di kamar (setelah setahun ini) tadi aku bobok di ruang tamu,” kata Tamara Tyasmara. Perjuangannya untuk kembali menempati kamarnya adalah sebuah langkah kecil namun signifikan dalam proses pemulihan traumanya. Keberaniannya untuk berbagi pengalaman ini diharapkan dapat memberikan kekuatan bagi orang lain yang mengalami kehilangan serupa.

















