Lambert Paragaye: Menjaga Tradisi dan Kepala Keluarga dari Lapak Daging Babi di Pasar Youtefa
Pagi di Pasar Youtefa, Distrik Abepura, Kota Jayapura, masih diselimuti kelembapan sisa hujan semalam. Matahari belum sepenuhnya tinggi, namun aktivitas di salah satu pasar terbesar di Papua ini sudah mulai menggeliat. Di tengah lapak-lapak yang baru dibuka, Lambert Paragaye, seorang putra asli Jayawijaya, Papua Pegunungan, memulai hari kerjanya. Bukan sebagai pegawai negeri sipil atau pekerja kantoran, Lambert memilih pasar sebagai medan juangnya untuk menafkahi keluarga dan menjaga harga diri sebagai kepala rumah tangga.
Dengan langkah yang tenang dan terbiasa, Lambert menata potongan-potongan daging babi segar di gantungan besi. Pisau kesayangannya diasah kembali, menandakan dimulainya rutinitas harian yang penuh tantangan namun juga memberikan kepuasan. “Kalau di pasar, kerja capek memang, tapi hasilnya bisa langsung dirasakan,” ujarnya pelan, menggambarkan filosofi hidupnya yang berorientasi pada hasil kerja nyata.
Lonjakan Harga Daging Babi Menjelang Natal
Menjelang perayaan Natal 2025, Lambert dan para pedagang lainnya di Pasar Youtefa menghadapi tantangan yang signifikan. Harga daging babi, yang dikenal sebagai komoditas penting dalam perayaan masyarakat Papua, mengalami lonjakan tajam. Harga per kilogramnya dilaporkan menembus angka Rp200.000. Kenaikan drastis ini, menurut Lambert, disebabkan oleh semakin terbatasnya pasokan babi hidup yang masuk ke Kota Jayapura sejak awal November.
“Sekarang beli satu ekor babi bisa sampai Rp15 juta sampai Rp17 juta. Itu tergantung besar kecilnya. Kalau sudah mahal begini, harga jual pasti ikut naik,” jelas Lambert, menggambarkan betapa besar modal yang harus ia keluarkan untuk satu ekor babi hidup.
Bagi pedagang kecil seperti Lambert, kenaikan harga ini bukan sekadar masalah untung dan rugi semata. Ia harus siap menghadapi keluhan dari para pembeli yang terbebani dengan harga tinggi. Selain itu, ada pula risiko kerugian yang harus ditanggung jika daging yang telah ia beli tidak habis terjual dalam satu hari.
Minat Pembeli Tetap Tinggi Meski Harga Meroket
Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal yang menarik. Meskipun harga daging babi melonjak, minat masyarakat untuk membeli justru tetap tinggi, terutama seiring mendekatnya momen Natal. Lapak Lambert nyaris tidak pernah sepi dari pembeli. “Orang datang beli walaupun mahal. Natal itu momen penting. Daging babi sudah jadi bagian dari tradisi,” ungkapnya, menyoroti makna spiritual dan kultural di balik pembelian daging babi bagi masyarakatnya.
Sepanjang hari, Lambert disibukkan dengan melayani berbagai macam pembeli. Ada yang hanya membeli setengah kilogram untuk kebutuhan keluarga kecil, ada pula yang memesan dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada keluarga besar dan kerabat. Di sela-sela kesibukannya bertransaksi, Lambert tak lupa meluangkan waktu untuk berbincang dengan para pelanggannya. Ia menanyakan kabar kampung halaman, bertukar cerita, atau sekadar melontarkan canda ringan. Bagi Lambert, Pasar Youtefa bukan hanya tempat ia mencari nafkah, tetapi juga merupakan ruang sosial yang penting. Di sinilah ia belajar banyak hal, mulai dari membaca situasi pasar, memahami karakter beragam orang, hingga mempererat tali persaudaraan di antara sesama perantau asal Papua.
Pasar sebagai Peluang Kemandirian dan Kebebasan
Keputusan Lambert untuk berkarier di pasar bukanlah tanpa pertimbangan matang. Ia menyadari bahwa banyak anak muda Papua memiliki cita-cita untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Namun, bagi Lambert, pasar menawarkan sebuah kebebasan dan kemandirian yang sulit ditemukan di pekerjaan formal lainnya.
“Kalau PNS, gaji sebulan sekali. Kalau di pasar, hari ini kerja, hari ini juga dapat uang,” tegasnya, menggarisbawahi keuntungan finansial yang lebih instan dan langsung dirasakan.
Lambert berharap kisahnya dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda Papua lainnya. Ia ingin mendorong mereka untuk berani melihat dan menangkap peluang usaha di luar jalur formal. “Anak Papua jangan hanya pikir jadi PNS. Kita bisa bangun hidup dari usaha sendiri, dari kerja keras,” serunya, menunjukkan semangat kewirausahaan yang kuat.

Menjelang sore, suasana Pasar Youtefa semakin hiruk-pikuk. Suara tawar-menawar bersahutan, aroma daging segar bercampur dengan bau tanah basah yang khas dari pasar tradisional. Lambert, meskipun mulai terlihat kelelahan, tetap berdiri teguh di lapaknya. Di tengah mahalnya harga bahan pokok dan beratnya tantangan ekonomi yang dihadapi, Lambert memilih untuk bertahan dan terus berjuang.
Bagi Lambert, pasar adalah sebuah “sekolah kehidupan” yang tak ternilai harganya. Di sana, ia belajar tentang kejujuran dalam berdagang, kesabaran dalam menghadapi pembeli yang beragam, serta tanggung jawab untuk memastikan keluarganya terpenuhi kebutuhannya.
Saat matahari mulai condong ke barat, timbangan di lapak Lambert kembali bergerak. Potongan-potongan daging terakhir terjual. Lambert menghela napas lega, sebuah tanda kepuasan setelah seharian bekerja keras. Ia kembali membawa pulang hasil jerih payahnya, sebuah bukti nyata dari dedikasi dan semangat juangnya.
Di tengah keramaian dan hiruk-pikuk Pasar Youtefa, kisah Lambert Paragaye menjadi pengingat bahwa jalan menuju kesuksesan tidak selalu harus berakhir di balik meja kantor. Dari lapak sederhana yang menjual daging babi, ia telah berhasil menimbang harapan, menjaga kelangsungan tradisi kuliner masyarakatnya, dan menyambut perayaan Natal dengan cara yang sederhana namun sarat makna.

















