Kabar baik bagi para pelaku ekonomi syariah dan sosial di Kota Pelajar! Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) membuka kesempatan bagi individu yang berdedikasi untuk menjadi bagian dari pengurus baru mereka.
Sebuah ajakan menarik beredar di media sosial, menyerukan, “Jadilah motor penggerak wakaf di D.I. Yogyakarta!”
Persyaratan untuk menjadi pengurus pun telah ditetapkan dengan jelas, meliputi:
- Warga Negara Indonesia beragama Islam.
- Memiliki pengalaman yang relevan di bidang wakaf atau ekonomi syariah.
- Diutamakan bagi mereka yang memiliki sertifikat sebagai nadzir (pengelola wakaf).
Namun, di balik semangat mulia untuk berkontribusi dalam pengembangan wakaf, muncul pertanyaan yang wajar dari para calon pelamar, khususnya di kolom komentar media sosial: “Apakah menjadi pengurus BWI Provinsi mendapatkan gaji bulanan?”
Pertanyaan ini sangat relevan, mengingat tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh pengurus BWI cukup besar, mulai dari membina para nadzir hingga mengawasi pengelolaan aset wakaf di seluruh provinsi.
Untuk memberikan kejelasan dan meluruskan ekspektasi, Ketua Tim Zakat dan Wakaf Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) DIY, H. Ujang Sihabudin, memberikan jawaban yang tegas dan transparan.
Konfirmasi Resmi: “Mohon Maaf, Tidak Ada Gaji”
Ketika dikonfirmasi mengenai kompensasi finansial bagi pengurus BWI yang terpilih, H. Ujang Sihabudin menyatakan dengan jelas, “Mohon maaf, BWI pengabdian sosial, tidak ada gaji.”
Pernyataan ini menjadi informasi penting bagi siapa pun yang berminat untuk mendaftar. Perlu dipahami bahwa posisi sebagai pengurus BWI bukanlah lowongan pekerjaan konvensional dengan gaji bulanan, tunjangan keluarga, atau fasilitas lainnya seperti yang lazim ditemukan pada pekerjaan di perusahaan. Ini adalah panggilan jiwa untuk berkontribusi dalam pengembangan wakaf sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat.
Memahami Struktur BWI: Lembaga Independen, Bukan Bagian dari Kantor Dinas
Untuk memahami mengapa pengurus BWI tidak menerima gaji, penting untuk memahami landasan hukum dan struktur organisasi BWI itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, BWI adalah lembaga independen yang bertugas untuk mengembangkan perwakafan secara nasional.
Meskipun BWI menjalin kemitraan yang erat dengan Kementerian Agama, pengurus BWI, terutama di tingkat perwakilan provinsi, bukanlah Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pegawai tetap yang menerima gaji rutin dari negara.
Status mereka lebih tepat digambarkan sebagai pejabat publik non-struktural yang bekerja berdasarkan amanah dan kepercayaan dalam periode waktu tertentu. Mereka dipilih berdasarkan kompetensi dan dedikasi mereka untuk mengembangkan wakaf.
Beberapa penelitian akademis mengenai pengelolaan wakaf di Yogyakarta juga menyoroti realitas ini. Banyak pengurus BWI yang mengakui bahwa mereka harus pandai-pandai mengatur waktu antara tugas-tugas di BWI dengan pekerjaan utama mereka masing-masing, karena posisi di BWI bersifat volunter profesional. Artinya, mereka bekerja secara sukarela namun tetap menjunjung tinggi profesionalisme dalam menjalankan tugas.
Apa yang Didapatkan? Antara “Biaya Operasional” dan Amal Jariyah
Meskipun tidak ada gaji, bukan berarti pengurus BWI harus mengeluarkan uang pribadi untuk menjalankan tugas-tugas mereka. Dalam regulasi mengenai wakaf, terdapat aturan mengenai biaya operasional. Nazhir atau pengelola wakaf berhak menerima sebagian dari hasil pengelolaan wakaf produktif (biasanya maksimal 10%) untuk digunakan sebagai biaya administrasi dan operasional.
Artinya, meskipun tidak ada gaji bulanan, pengurus BWI masih memiliki kemungkinan untuk mendapatkan dukungan finansial untuk:
- Biaya transportasi dan akomodasi saat menjalankan tugas-tugas terkait wakaf, seperti menghadiri rapat, melakukan kunjungan lapangan, atau mengikuti pelatihan.
- Honorarium untuk kegiatan tertentu, seperti menjadi narasumber dalam rapat, memberikan pelatihan, atau melakukan sosialisasi mengenai wakaf. Honorarium ini biasanya berasal dari anggaran program yang telah dialokasikan, bukan merupakan gaji tetap.
- Kesempatan untuk mengembangkan kapasitas diri dan memperluas jaringan di tingkat nasional melalui berbagai kegiatan pelatihan dan seminar yang diselenggarakan oleh BWI.
Namun, yang terpenting, motivasi utama untuk menjadi pengurus BWI tetaplah pengabdian sosial. Wakaf merupakan instrumen ekonomi umat yang memiliki dampak yang abadi. Dengan menjadi pengurus BWI, seseorang memiliki kesempatan untuk menjadi fasilitator amal jariyah yang pahalanya diharapkan terus mengalir seiring dengan manfaat yang dihasilkan oleh wakaf tersebut. Ini adalah kesempatan untuk berkontribusi secara nyata dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan wakaf yang profesional dan transparan.

















