Perceraian Raisa dan Hamish Daud: Sebuah Studi Kasus Pengasuhan Bersama Pasca-Pemisahan
Pada tanggal 15 Desember 2025, Pengadilan Agama Jakarta Selatan secara resmi mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh penyanyi ternama Raisa Andriana terhadap suaminya, Hamish Daud. Putusan ini diketok palu tanpa kehadiran pihak tergugat, Hamish Daud, namun bukan berarti prosesnya diwarnai perselisihan. Sebaliknya, perceraian ini justru menjadi sorotan karena adanya kesepakatan pengasuhan anak yang matang, yang dikenal sebagai co-parenting.
Fokus Gugatan: Status Pernikahan
Kuasa hukum Raisa, Putra Lubis, menjelaskan bahwa inti dari gugatan cerai ini semata-mata berfokus pada status pernikahan kedua belah pihak. Berbagai aspek lain yang timbul dari perpisahan, termasuk urusan hak asuh anak dan pembagian aset jika ada, telah berhasil diselesaikan secara privat oleh Raisa dan Hamish sejak awal. Kesepakatan-kesepakatan tersebut telah dicapai melalui komunikasi yang dewasa dan tanpa perlu diuraikan secara rinci dalam dokumen pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak telah berupaya meminimalkan potensi konflik dan lebih mengutamakan penyelesaian yang damai.
Hak Asuh Anak dan Skema Co-Parenting
Meskipun secara hukum hak asuh anak jatuh ke tangan Raisa, praktik pengasuhan sebenarnya akan dijalankan melalui skema co-parenting. Ini berarti Raisa dan Hamish akan tetap berbagi tanggung jawab dalam membesarkan buah hati mereka, meskipun tidak lagi hidup bersama sebagai suami istri.
Putra Lubis menegaskan bahwa skema co-parenting ini telah menjadi kesepakatan bersama sejak awal. “Dari awal sudah disepakati adanya co-parenting,” ungkapnya.
Fleksibilitas menjadi kunci utama dalam implementasi co-parenting ini. Baik Raisa maupun Hamish memiliki akses penuh untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama anak mereka. Tidak ada jadwal pertemuan yang kaku atau pembatasan waktu yang ketat.
“Bebas saja, kapan pun bisa bertemu,” jelas Putra, menekankan betapa terbuka dan mudahnya komunikasi serta akses yang diberikan kepada kedua orang tua.
Kematangan dalam Menghadapi Perpisahan
Skema co-parenting ini dinilai sebagai cerminan kematangan emosional Raisa dan Hamish dalam menghadapi situasi perceraian. Kepentingan utama mereka adalah memastikan bahwa anak tumbuh dalam lingkungan yang stabil dan penuh kasih sayang, meskipun kedua orang tuanya telah berpisah.
Putra Lubis menambahkan bahwa tidak ada konflik yang signifikan terkait pengasuhan anak yang perlu diselesaikan melalui persidangan. Semua berjalan lancar dan tanpa hambatan berarti. Komunikasi yang tetap terjalin baik antara Raisa dan Hamish menjadi fondasi penting bagi keberhasilan praktik co-parenting ini.
Perceraian Bukan Akhir dari Kebersamaan Orang Tua
Kondisi ini membuktikan bahwa perceraian tidak selalu harus identik dengan permusuhan atau konflik berkepanjangan. Dalam kasus Raisa dan Hamish, perpisahan mereka justru menjadi awal dari pola pengasuhan yang sehat dan kolaboratif. Keputusan untuk menerapkan co-parenting diambil demi menjaga stabilitas emosional anak, memastikan kehadiran kedua orang tua tetap terasa dalam setiap tahapan tumbuh kembang buah hati mereka.
Putra Lubis juga menggarisbawahi bahwa kliennya, Raisa, tidak mengajukan permintaan tambahan apa pun di luar kesepakatan yang telah dicapai. Semuanya berjalan dengan tenang dan dewasa.
Proses perceraian Raisa dan Hamish ini sendiri dilaporkan berlangsung relatif singkat, tanpa persidangan yang berlarut-larut. Putusan tersebut diunggah melalui sistem e-court, dan pemberitahuan langsung disampaikan kepada pihak Raisa dan Hamish.
Dengan adanya kesepakatan co-parenting yang solid ini, diharapkan Raisa dan Hamish dapat terus menjadi tim yang kompak sebagai orang tua. Meskipun jalan mereka sebagai pasangan telah berakhir, tanggung jawab mereka sebagai ayah dan ibu akan terus dijalankan bersama demi masa depan terbaik bagi anak mereka.

















