Surya Saputra: Dari Trauma Masa Kecil Hingga Keberanian Melawan Fobia
Nama Surya Saputra sudah tak asing lagi di kancah hiburan Tanah Air. Perjalanannya di industri seni peran dimulai sejak ia tergabung dalam boyband Cool Colors, hingga kini dikenal luas sebagai pemeran Papa Surya dalam sinetron fenomenal “Ikatan Cinta”. Di balik persona publiknya yang karismatik, suami dari Cynthia Lamusu ini ternyata menyimpan kisah masa kecil yang penuh perjuangan dan trauma mendalam.
Luka Masa Lalu: Kehilangan Sosok Ayah dan Dampaknya
Kisah pilu Surya Saputra bermula dari kehilangan sosok ayah kandungnya di usia yang sangat belia, tepatnya saat ia berusia tiga tahun. Kepergian sang ayah meninggalkan luka yang mendalam, membuat Surya kecil merasa kecil dan rentan di hadapan dunia yang luas. Perasaan kehilangan dan ketidakberdayaan inilah yang kemudian memicu gangguan bicara, salah satunya adalah gagap.
Dalam sebuah kesempatan wawancara, Surya Saputra menceritakan pengalamannya. “Dulu ya sempat, sempat waktu kecil agak sedikit gagap,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa momen-momen tersebut terjadi ketika ia merasa tidak memiliki ruang untuk berbicara, atau merasa suaranya tidak didengar. Akibatnya, ia terpaksa berbicara dengan cepat agar pesannya tersampaikan.
Tiga Fobia yang Menghantui: Takut Tinggi, Gelap, dan Sempit
Perjuangan menghadapi trauma dan gangguan bicara di masa kecil tanpa dukungan yang memadai meninggalkan jejak berupa tiga ketakutan besar yang menghantui Surya Saputra: takut ketinggian (acrophobia), takut gelap (nyctophobia), dan takut ruang sempit (claustrophobia). Ia harus mencari solusi atas fobia-fobia ini seorang diri. “Itu enggak ada satu pun yang bantuin. Aku yang harus cari solusinya gimana sendiri,” tuturnya.
Mengatasi Claustrophobia dan Nyctophobia
Untuk mengatasi rasa takut pada kegelapan dan ruang sempit, Surya memiliki metode terapi yang tidak konvensional. Ia nekat mengurung diri di dalam lemari pakaian. “Terapinya masuk ke dalam lemari, rasain sendiri bahwa gelap itu punya saya,” jelasnya. Dengan cara ini, ia berusaha untuk menghadapi dan mengendalikan rasa takutnya secara langsung, membuktikan pada dirinya sendiri bahwa kegelapan dan kesempitan bukanlah ancaman yang tak teratasi.
Aksi Berani Melawan Acrophobia
Pengalaman paling dramatis terjadi ketika Surya Saputra memutuskan untuk melawan rasa takutnya terhadap ketinggian. Alih-alih menggunakan terapi medis, ia memilih cara yang jauh lebih ekstrem: bungee jumping. Momen ini terjadi saat ia berada di Australia. Awalnya, nyalinya sempat menciut saat ia sudah berada di bibir jembatan yang menjulang tinggi. “Udah di atas gitu, ‘Aduh, aduh, bego banget’, udah gitu bayar lagi kan,” kenangnya dengan nada bercampur antara rasa ngeri dan geli.
Namun, sebuah momen krusial mengubah segalanya. Seorang instruktur bungee jumping berkebangsaan asing melontarkan kalimat yang menyinggung harga dirinya sebagai seorang Indonesia. “Hey Indonesian, do you wanna jump or not? You’re wasting my time,” ucap instruktur tersebut dengan nada yang meremehkan.
Mendengar negaranya disebut dengan nada merendahkan, ketakutan yang tadinya menguasai Surya seketika sirna, digantikan oleh gelombang keberanian yang luar biasa. Ia menoleh ke belakang, menegaskan identitasnya sebagai orang Indonesia yang berani, dan tanpa ragu melompat. “Nengok ke belakang, gue Indonesia dan gue berani. Lompat!” tegasnya. Aksi nekat ini menjadi titik balik dalam perjuangannya melawan fobia ketinggian.
Pelajaran Berharga untuk Generasi Mendatang
Pengalaman pahit dan perjuangan melawan trauma masa lalu kini menjadi pelajaran berharga bagi Surya Saputra dalam mendidik kedua anaknya, Tatjana dan Bima. Ia bertekad untuk tidak membiarkan anak-anaknya merasakan kesepian dan ketidakberdayaan yang pernah ia alami. Oleh karena itu, Surya selalu menekankan pentingnya komunikasi terbuka dalam keluarga.
“Aku enggak mau anak-anak ngalamin itu. Aku mau anak-anak tuh bisa ngomong kapan aja sama orang tuanya,” pungkasnya. Komitmennya untuk membangun hubungan yang kuat dan terbuka dengan anak-anaknya adalah bukti nyata bagaimana ia telah mengubah luka masa lalu menjadi kekuatan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.

















