UMP DKI Jakarta: Jurang Antara Gaji Minimum dan Realitas Biaya Hidup yang Kian Melebar
Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta, yang saat ini berada di kisaran Rp 5,3 jutaan per bulan, semakin dipertanyakan relevansinya dengan biaya hidup yang sebenarnya di Ibu Kota. Sebuah survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan fakta mengejutkan: biaya hidup rata-rata rumah tangga di Jakarta dapat mencapai sekitar Rp 14,8 juta per bulan. Angka ini, yang bersumber dari Survei Biaya Hidup (SBH) 2022, mengukur rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga per bulan di Jakarta, mencakup seluruh komponen barang dan jasa, mulai dari makanan hingga perumahan, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan layanan lainnya.
Bagi sebagian besar pekerja, terutama para pekerja muda, penghasilan yang hanya setara UMP tidak lagi cukup untuk merencanakan masa depan. Penghasilan tersebut lebih berfungsi sebagai alat bertahan hidup dari satu tanggal gajian ke tanggal gajian berikutnya. Tekanan biaya hidup yang tinggi membuat keputusan besar dalam hidup, seperti menikah, menabung untuk masa depan, hingga membangun keluarga, terasa semakin sulit dicapai dan semakin jauh dari jangkauan. Kondisi ini secara gamblang menunjukkan adanya jurang pemisah yang lebar antara standar upah minimum yang ditetapkan dan kebutuhan hidup layak bagi rumah tangga di Jakarta.
UMP dan Kesenjangan Biaya Hidup yang Nyata
Perencana keuangan, Rista Zwestika CFP WMI, berpendapat bahwa meskipun secara nominal UMP DKI Jakarta 2025 yang mencapai Rp 5,39 juta per bulan terlihat cukup tinggi, angka tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan hidup yang riil di lapangan.
“Untuk pekerja lajang yang sangat hemat dalam pengeluarannya, mungkin masih bisa ‘bertahan’, namun ini tentu dengan kompromi yang besar,” ujar Rista. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam skenario ideal sekalipun, seorang pekerja dengan gaji Rp 5 juta per bulan hanya memiliki ruang yang sangat terbatas untuk menyisihkan dana tabungan dan dana darurat.
Fenomena umum yang sering ia temui pada klien yang bergaji UMP meliputi gaya hidup dari gaji ke gaji, keharusan bekerja ganda untuk menambah penghasilan, hingga ketergantungan pada pinjaman konsumtif. “Jika pengeluaran bulanan seseorang adalah Rp 5 juta, maka dana darurat idealnya adalah minimal enam kali pengeluaran bulanan untuk individu lajang, sembilan kali untuk yang sudah menikah, dan 12 kali untuk yang sudah menikah dan memiliki anak,” tambahnya.
Realitas Kehidupan Pekerja Bergaji UMP
Putri Lestari, seorang wanita berusia 25 tahun, telah terbiasa dengan rutinitas membuka aplikasi perbankan di akhir setiap bulan. Tujuannya adalah untuk menghitung sisa saldo yang ada sebelum ia harus mengatur pengeluarannya secara ketat hingga tanggal gajian berikutnya. Bekerja sebagai admin media sosial di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Putri menerima gaji sekitar Rp 5,4 juta per bulan, yang berarti gajinya setara dengan UMP Jakarta.
Dengan penghasilan sebesar itu, Putri harus membagi pendapatannya untuk berbagai pos pengeluaran, termasuk biaya kos, makan sehari-hari, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya. Dalam perencanaan keuangannya, hampir tidak ada ruang untuk kesalahan. Satu saja kebutuhan mendadak yang muncul bisa berpotensi membuat keuangannya berantakan.
Dalam kondisi seperti ini, pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat ia bayangkan dalam waktu dekat. “Hidup di Jakarta itu memang butuh ekonomi yang stabil. Sementara dengan kondisi yang saya alami sekarang, saya merasa belum siap. Itulah yang membuat saya memilih untuk fokus pada pekerjaan terlebih dahulu dan belum memikirkan pernikahan,” ungkap Putri.
Bagi Putri, ketakutan untuk menikah bukanlah terkait dengan komitmen emosional, melainkan lebih kepada tanggung jawab finansial yang menyertainya. Menghidupi dirinya sendiri saja sudah terasa berat, apalagi jika ia harus berbagi hidup dengan seorang pasangan, dan kelak, memiliki anak. Sebagian besar gajinya dihabiskan untuk membayar kos sebesar Rp 1,5 juta per bulan, transportasi yang memakan biaya Rp 500.000–Rp 700.000, serta biaya makan dan kebutuhan harian lainnya. Ia masih berusaha untuk menabung, namun jumlahnya tidak signifikan dan tidak konsisten. “Kadang saya berniat untuk menabung, tetapi begitu ada kebutuhan yang tidak terduga, tabungan saya langsung terpakai,” tuturnya. Menjelang tanggal gajian, Putri mengaku harus lebih selektif dalam membeli makanan dan menahan pengeluaran yang tidak penting. Hiburan dan rencana masa depan menjadi hal pertama yang ia korbankan.
Pernikahan Dipandang Sebagai Beban Tambahan
Kondisi serupa juga dialami oleh Ria, seorang pegawai swasta berusia 27 tahun yang bekerja di Jakarta Pusat. Dengan gaji sekitar Rp 5,6 juta per bulan, yang sedikit di atas UMP, ia tetap merasa bahwa kehidupannya masih jauh dari kata layak. “Setiap bulan gaji terasa habis sebelum waktunya. Gaji UMP dan hidup mandiri dengan uang tersebut saja masih terasa kurang, apalagi jika harus berumah tangga,” ujar Ria.
Tekanan finansial ini secara signifikan memengaruhi pandangannya terhadap hubungan dan pernikahan. “Saya sadar bahwa dari segi usia, saya sebenarnya sudah bisa menikah, namun pernikahan bukanlah soal usia semata, melainkan apakah ada uang yang cukup untuk masa depan atau tidak,” tutur Ria. Saat ini, fokus utamanya adalah bagaimana bertahan hidup dan mengamankan tabungannya, bukan membangun sebuah keluarga. “Ya, sekarang saya fokus pada diri sendiri. Jika gaji saya masih sebatas UMP atau pas-pasan, saya sadar diri saja,” ucapnya.
Dampak Psikologis dari Tekanan Ekonomi
Psikolog Klinis dan Direktur Personal Growth, Ratih Ibrahim, menilai bahwa ketakutan untuk menikah akibat kondisi ekonomi yang tidak stabil adalah respons yang manusiawi. “Ya, tentu saja. Ada ketakutan jika untuk hidup sendiri saja sudah berjuang keras, bagaimana ketika harus bertanggung jawab atas orang lain (pasangan), dan apalagi jika kemudian memiliki anak,” ujar Ratih.
Menurut Ratih, kondisi finansial yang rapuh dapat mengikis kesiapan mental seseorang untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Ketika kebutuhan dasar belum sepenuhnya terpenuhi dan aman, manusia secara alami akan memprioritaskan kelangsungan hidup di atas pembangunan relasi jangka panjang. Ia menegaskan bahwa rasa takut menikah karena faktor ekonomi bukanlah indikasi kegagalan pribadi. “Ya, itu sangat wajar. Dan itu menunjukkan bahwa ia memiliki pertimbangan yang sadar akan konsekuensinya,” kata Ratih.
Meskipun demikian, Ratih mengingatkan bahwa tekanan ekonomi yang berlangsung dalam jangka panjang tetap dapat meninggalkan dampak yang signifikan bagi kesehatan mental generasi muda. “Apakah ada dampak jangka panjang dari tekanan ekonomi terhadap kesehatan mental orang muda? Jelas ada,” ujarnya. Dampaknya bisa berupa kecemasan, frustrasi, hingga keputusasaan. Namun, ia juga menambahkan bahwa sebagian individu justru mampu mengembangkan ketangguhan diri. “Ada yang terpuruk, tetapi ada juga yang justru menjadi tangguh dan tetap tabah. Seberat dan membingungkan apa pun situasinya, mereka tetap bangkit dan melanjutkan hidup, karena memang hanya itu pilihannya. Ada juga yang justru tertantang daya kreativitasnya untuk menciptakan lapangan usaha baru,” jelas Ratih.
Risiko Jangka Panjang bagi Kota Metropolitan
Pengamat ekonomi sekaligus Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman, berpendapat bahwa UMR Jakarta yang berada di kisaran Rp 5 jutaan belum sepenuhnya mencerminkan standar hidup layak di sebuah kota metropolitan.
“UMR lebih berfungsi sebagai batas minimum untuk bertahan hidup, bukan sebagai jaminan untuk hidup layak,” ujar Rizal. Ia menjelaskan bahwa struktur biaya hidup di Jakarta sangat didominasi oleh pengeluaran non-makanan, seperti biaya perumahan dan transportasi, yang sulit untuk dikurangi. Kenaikan sekecil apa pun pada pos pengeluaran ini dapat langsung menggerus sisa pendapatan pekerja. Akibatnya, kenaikan UMR yang sering terjadi justru habis untuk menutupi inflasi biaya hidup, tanpa benar-benar meningkatkan kesejahteraan para pekerja.
Dalam jangka panjang, Rizal memperingatkan bahwa kondisi ini berisiko menurunkan produktivitas tenaga kerja dan memperlebar kesenjangan sosial ekonomi. Jika mayoritas pekerja hidup dalam kondisi yang “cukup tetapi rapuh”, maka fondasi ekonomi kota akan menjadi tidak kokoh. “Dalam jangka panjang, kota berisiko menjadi mahal namun tidak sejahtera, dengan pertumbuhan yang tidak inklusif,” kata Rizal.
Di tengah biaya hidup yang terus merangkak naik dan UMP yang cepat habis, banyak pekerja muda di Jakarta terpaksa menjalani kehidupan dari gaji ke gaji tanpa adanya kepastian masa depan. Dalam situasi seperti ini, pernikahan tidak lagi sekadar urusan hati, melainkan telah berubah menjadi keputusan ekonomi besar yang memiliki risiko terlalu mahal bagi mereka yang masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

















