Kasus perobohan rumah Nenek Elina Widjajanti yang berusia 80 tahun di Surabaya baru-baru ini telah memicu perdebatan sengit mengenai keabsahan transaksi jual beli tanah warisan, terutama ketika tidak melibatkan persetujuan dari seluruh ahli waris. Sengketa ini berakar pada klaim seorang individu bernama Samuel, yang mengaku telah membeli tanah beserta bangunan yang ditempati Nenek Elina sejak tahun 2014. Namun, klaim ini ditentang keras oleh pihak keluarga Nenek Elina yang bersikeras bahwa tidak pernah ada transaksi jual beli yang terjadi.
Samuel menyatakan, “Tempo hari saya sudah beli ke tante Elisa (kakak Elina) tahun 2014. Ada suratnya semua.” Ia juga mengklaim memiliki bukti kepemilikan berupa surat jual beli dan Letter C sebagai dasar klaimnya. “Saya sendiri ada bukti sahnya surat jual beli dan letter C atas rumah ini sejak 2014,” ujarnya saat berbicara dengan Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji.
Namun, keabsahan klaim Samuel dipertanyakan oleh kuasa hukum Nenek Elina. Pihak kuasa hukum menegaskan bahwa tidak pernah ada persetujuan dari seluruh ahli waris terkait transaksi tersebut. Lebih mencengangkan lagi, akta jual beli yang diklaim Samuel justru diterbitkan setelah rumah tersebut dirobohkan. “Dia (Samuel) tidak pernah sama sekali menunjukkan bahwa saya pembeli apa dan sebagainya, tidak. Tetapi 2025 tiba-tiba mengeklaim,” ungkap kuasa hukum Elina, Wellem Mintarja.
Memahami Aturan dan Hukum Jual Beli Tanah di Indonesia
Untuk memahami duduk persoalan ini, penting untuk meninjau kembali aturan hukum yang berlaku di Indonesia terkait peralihan hak atas tanah, khususnya yang berkaitan dengan warisan.
Warisan, Hibah, dan Waktu Peralihan Hak
Menurut situs resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dalam sistem hukum Indonesia, konsep pewarisan baru diakui terjadi setelah seseorang meninggal dunia. Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) secara tegas menyatakan, “Pewarisan hanya terjadi karena kematian.”
Hal serupa juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menjelaskan bahwa harta waris adalah harta peninggalan pewaris setelah dikurangi kewajiban-kewajiban yang ada, seperti biaya pengurusan jenazah dan pelunasan utang.
Jika pemberian harta dilakukan saat pemiliknya masih hidup, maka peralihan hak tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai warisan, melainkan sebagai hibah. Pasal 1666 KUHPerdata mendefinisikan hibah sebagai pemberian cuma-cuma yang bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali. Sementara itu, Pasal 171 huruf g KHI mendefinisikan hibah sebagai pemberian sukarela dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain.
Dalam konteks kasus Nenek Elina, kuasa hukumnya menekankan bahwa baik almarhumah Elisa Irawati semasa hidupnya maupun para ahli waris setelah wafatnya pada tahun 2017, tidak pernah melakukan hibah maupun jual beli atas tanah tersebut kepada Samuel. “Karena kita sama sekali tidak pernah menjual, baik Bu Elisa sama Bu Elina maupun ahli waris lainnya, tidak pernah menjual sama sekali. Ya kita baru kenal (Samuel) ya baru kali itu,” pungkas Wellem Mintarja.
Jual Beli Tanah Warisan Wajib Disetujui Semua Ahli Waris
Hukum perdata Indonesia memberikan ketentuan yang jelas mengenai jual beli tanah warisan. Pasal 1471 KUHPerdata menyatakan, “Jual beli atas barang orang lain adalah batal.” Ketentuan ini secara implisit berarti bahwa penjualan aset warisan yang tidak mendapatkan persetujuan dari seluruh ahli waris adalah tindakan yang tidak sah dan dapat dibatalkan secara hukum.
Tindakan menjual aset warisan tanpa persetujuan seluruh ahli waris tidak hanya berisiko batal, tetapi juga dapat berujung pada gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Lebih jauh lagi, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan sesuai dengan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kejanggalan Akta Jual Beli dan Perubahan Letter C
Dalam kasus yang menimpa Nenek Elina, sejumlah kejanggalan muncul terkait proses administrasi peralihan hak. Salah satu poin krusial adalah terbitnya akta jual beli atas nama Samuel yang justru terjadi setelah peristiwa pengusiran dan pembongkaran rumah.
“Kita menemukan, akta jual-beli itu tertanggal 24 September 2025. Baru. Penjualnya (atas nama) dia (Samuel), pembelinya ya dia (Samuel),” tegas Wellem Mintarja, kuasa hukum Nenek Elina.
Kejanggalan ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa sehari sebelum akta tersebut diterbitkan, pihak Nenek Elina telah melakukan pengecekan ke Kelurahan Lontar. Hasil pengecekan menunjukkan bahwa objek tanah tersebut masih tercatat atas nama Elisa Irawati.
Selain itu, tim kuasa hukum juga menemukan adanya perubahan pada catatan Letter C di kelurahan tanpa melibatkan para ahli waris. “Letter C di desa (kelurahan) kami juga telah menemukan itu sudah tercoret. Pada saat 24 September 2025. Lah, sebelumnya kan atas nama Elisa, seharusnya pencoretan itu mengajak ahli waris untuk ke sana,” jelas Wellem.
Prosedur Peralihan Hak Tanah karena Warisan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur secara rinci mengenai prosedur peralihan hak atas tanah karena pewarisan. Dokumen yang wajib disertakan meliputi sertifikat tanah, surat kematian pewaris, dan bukti sah sebagai ahli waris.
Apabila terdapat lebih dari satu orang ahli waris, maka peralihan hak wajib dilakukan melalui pembentukan akta pembagian waris. Tanpa kelengkapan dokumen-dokumen tersebut, perubahan kepemilikan tanah tidak dapat dibenarkan baik secara administratif maupun hukum.
Langkah Hukum yang Dapat Ditempuh Ahli Waris
Kasus Nenek Elina memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya penyelesaian sengketa tanah warisan secara berjenjang dan sesuai prosedur hukum.
- Musyawarah Keluarga: Langkah awal yang paling ideal adalah mengupayakan musyawarah keluarga untuk mencapai mufakat dan mencegah konflik berkepanjangan.
- Laporan ke Kantor Pertanahan: Jika musyawarah tidak membuahkan hasil, ahli waris dapat mengajukan laporan ke Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan dokumen pendukung yang relevan, seperti surat keterangan ahli waris dan bukti kepemilikan.
- Gugatan Pengadilan: Ahli waris juga memiliki opsi untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam, atau Pengadilan Negeri bagi yang beragama non-Muslim.
- Laporan Pidana: Apabila terdapat indikasi kuat adanya tindak pidana, seperti penipuan atau penggelapan, ahli waris dapat membuat laporan pidana ke pihak kepolisian.
Kasus Nenek Elina saat ini telah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur dan telah naik ke tahap penyidikan. Peristiwa ini menjadi pengingat yang kuat bahwa transaksi jual beli tanah warisan yang tidak melibatkan persetujuan seluruh ahli waris tidak hanya bermasalah secara etika, tetapi juga berpotensi besar untuk dinyatakan batal demi hukum.

















